Mikroba merupakan makhluk kecil yang memberikan banyak manfaat untuk manusia. Sebagian besar makanan dan obat diciptakan dengan bantuan makhluk-makhluk mungil ini. Oleh karena itu, banyak ilmuwan yang tertarik untuk meneliti dan memanfaatkan mikroba dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu penelitian yang sedang hangat dibicarakan saat ini adalah Microbial Exopolysaccharide (EPS), yang merupakan hasil sekresi (proses pengeluaran zat oleh kelenjar) dari mikroba itu sendiri.
Istilah Exopolysaccharide (EPS) pertama kali diperkenalkan oleh Shuterland (1972), digunakan untuk menggambarkan polimer karbohidrat berkadar molekul tinggi yang diproduksi oleh banyak bakteri laut. Istilah Exopolysaccharide atau substansi polimer ekstraseluler banyak digunakan untuk bahan polisakarida (senyawa yang terdiri atas ratusan atau bahkan ribuan satuan monosakarida (senyawa karbohidrat dalam bentuk gula yang paling sederhana) per molekul) yang berada di luar dinding sel atau membran sel mikroba. Selain itu, EPS dapat diterapkan pada polimer dengan komposisi yang sangat beragam serta dapat diterapkan pada polimer dengan jenis fisik yang berbeda (Shuterland, 1997).
Klasifikasi Microbial Exopolysaccharide (EPS)
Exopolysaccharide (EPS) yang diproduksi oleh mikroba sangat besar dan memiliki sifat yang beragam. Sehingga, berdasarkan ukuran dan sifatnya Exopolysaccharide dapat dikelompokkan menjadi empat kelas utama, yaitu (1) polisakarida lendir dan mikrokapsul, (2) polyanhidrida anorganik (seperti polifosfat),(3) poliester, dan (4) poliamida (Nwodo, 2012).
Berdasarkan pada komposisi monomer, EPS dapat dikelompokkan lagi menjadi dua kelompok yaitu homopolisakarida (terdiri dari monomer tunggal yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik, ikatan kovalen yang terbentuk antara molekul karbohidrat dan molekul lain) dan heteropolisakarida (terdiri dari lebih dari dua unit monomer yang bergabung dengan ikatan glikosidik), dimana keduanya juga mengandung sejumlah gugus organik yang berbeda seperti asam organik, asam amino, dan konstituen anorganik seperti fosfat dan sulfat (Nanjani, 2012).
Mikroba Penghasil Microbial Exopolysaccharide (EPS)
Sebagian besar mikroba penghasil EPS tersebar luas di alam bebas. Mikroba penghasil EPS sebagian besar tinggal di habitat dengan rasio karbon/nitrogen yang tinggi seperti di air selokan industri gula, air selokan industri kertas, air selokan industri makanan serta industri pengolahan air limbah. Bakteri asam laktat (LAB) merupakan mikroba yang terkenal sebagai produsen EPS belakangan ini. Selain itu, ada juga bakteri-bakteri lain yang dapat memproduksi EPS seperti Lactobacillus Bulgaricus, Lactobacillus helveticus, Lactobacillus brevi, Lactococcus lactis, Leuconostoc mesenteroides, Streptococcus spp., Pseudomonas spp., Acetobacter spp., Aureobasidium spp., Sinorhizobium spp., Escherichia spp., Acetobacter spp., Bacillus spp., dan mikroba lainnya (Singha, 2012).
Mikroorganisme penghasil EPS juga bisa berupa mikroorganisme termofilik (mikroba yang dapat hidup pada suhu ekstrim) yang berasal dari sumber air panas laut, baik yang dalam maupun yang dangkal, dan sumber air panas darat seperti Archaeoglobus fulgidu, Thermococcus litoralis, Bacillus thermantarcticus, Geobacillus thermodenitrificans, Bacillus licheniformis, Thermotoga maritima, Methanococcus jannaschii, Geobacillus tepidamans V264, dan bakteri termofilik lainnya (Singha, 2012).
Banyak Archaea halofilik (Archaea yang dapat hidup dalam kandungan garam yang tinggi)Â juga dapat berperan sebagai produsen EPS seperti Haloferax, Haloarcula, Halococcus, Natronococcus dan Halobacterium. Bakteri penghasil EPS halofilik yang paling umum ditemukan adalah dari genus Halomonas, seperti H. maura, H. eurihalina, H. ventosae dan H. anticariensis (Singha, 2012).
Produksi Microbial Exopolysaccharide (EPS)
Proses Produksi Microbial Exopolysaccharide dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satu cara yang paling sering digunakan adalah dengan metode Fermentasi. Pada proses fermentasi ini, proses pertumbuhan EPS terlihat mengikuti diagram pertumbuhan mikroba, dimana pertumbuhan EPS akan maksimum pada fase stasioner, dan akan mengalami penurunan pada fase death (Pham, 2000).
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang produksi Microbial Exopolysaccharide, alangkah lebih baik jika kita mengenal terlebih dahulu tentang diagram pertumbuhan mikroba. Diagram pertumbuhan mikroba merupakan diagram yang paling banyak digunakan Ilmuwan biokimia atau bioteknologi, dimana dalam diagram ini dapat ditunjukkan fase-fase pertumbuhan dari mikroba. Ada 4 fase pertumbuhan mikroba pada diagram pertumbuhan mikroba ini, yang pertama adalah fase lag, yang merupakan fase persiapan dari mikroba untuk tumbuh. Yang kedua ada fase eksponensial, fase dimana mikroba mengalami pertumbuhan secara eksponensial. Yang ketiga adalah fase stasioner, fase dimana pertumbuhan mikroba terhenti dan konstan. dan Yang terakhir, fase death dimana pertumbuhan mikroba mengalami penurunan (Dutta, 2008).
Berdasarkan hasil percobaan dari Pham (2000), diketahui pada suhu 37 ° C dan pH 6,0 (keadaan ideal), EPS akan meningkat secara terus menerus hingga mencapai titik maksimumnya pada jam ke-30. Pertumbuhan EPS dapat dilihat pada grafik. Dari grafik terlihat pada saat maksimum, EPS yang dihasilkan adalah sebesar 500 mg/L dengan massa awal gula (untuk sumber nutrisi mikroba) sebesar 20 g/L. Ini berarti bahwa jumlah EPS yang diproduksi dalam proses Fermentasi selama 30 jam adalah sebesar 2,5 % dari bahan awalnya (Pham, 2000).
Peranan Microbial Exopolysaccharide (EPS) dalam kehidupan sehari-hari
Microbial Exopolysaccharide (EPS) memiliki banyak peranan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam industri makanan, EPS dari Streptococcus thermophilus memiliki peranan untuk memberikan kontribusi positif terhadap rasa dan tekstur dari produk susu fermentasi (termasuk yogurt) (Broadbent, 2003). Contoh lain adalah dalam pembuatan biskuit, EPS dari Lactobacillus helveticus memiliki peranan untuk meningkatkan umur simpan dari biskuit tersebut (Hussein, 2010). EPS juga dapat digunakan sebagai perekat, pengikat dan stabilisator dalam pasta makanan, untuk menempelkan kacang pada kue, untuk melindungi buah-buahan seperti apel (untuk meningkatkan daya simpannya) (Leathers, 2003), juga sebagai pengental, stabilizer, pengemulsi (zat yang dapat mempertahankan lemak sehingga tidak terurai dalam air) atau zat pengikat pada icing, selai, jeli, kue kering, keju, saus, makanan hewan peliharaan, saus salad, dan lain-lain (Torres, 2010).
Dalam industri farmasi, EPS (jenis pullulan) dapat digunakan sebagai perekat dan dapat digunakan dalam komposisi penyembuhan luka (Leathers, 2003). EPS jenis kitosan dapat digunakan dalam formulasi farmasi sebagai agen pengendali pelepasan dalam sediaan oral. EPS jenis kitosan juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan polimer  pembawa obat (Hamman, 2010). EPS jenis xanthan, dextran tersulfasi dan curdlan sulfat, dapat digunakan sebagai agen antivirus dan antikanker. EPS jenis Fucopol dipandang sebagai produk yang berpotensi untuk digunakan dalam obat antitumor, anti-inflamasi dan penambah kekebalan tubuh (Freitas, 2011). EPS dari jamur secara tradisional telah digunakan untuk pencegahan dan pengobatan banyak gangguan seperti penyakit menular, kanker dan berbagai penyakit autoimun. EPS dari mikroalgae berfungsi sebagai agen antivirus, makanan kesehatan, nutraceuticals, antioksidan, agen antilipidemik, agen antiglikemik, molekul anti-inflamasi, imunomodulator dan mereka juga dapat digunakan sebagai pelumas untuk sendi tulang, digunakan dalam tetes mata sebagai pelumas dan bahkan agen antitrombotik (Raposo, 2013).
Dalam kosmetik dan produk kebersihan, EPS banyak digunakan dalam krim dan lotion sebagai pelembab. EPS dari jamur Grifola frondosa digunakan dalam krim dan lotion perlindungan tabir surya (Bae, 2004). EPS jenis pullulan memiliki manfaat penting dalam krim kosmetik, lotion, dan sampo (Leathers, 2003). EPS jenis Xanthan berfungsi sebagai basis yang baik untuk shampo (Morris, 2009). EPS juga digunakan dalam hidrogel pada kain perawatan kulit, di mana mereka ditanamkan dalam kain. Hidrogel ini digunakan untuk mengikat tekstil untuk memberi efek pelembab, memutihkan, mencerahkan, dan bahkan anti-penuaan pada kulit manusia (Hilor, 2012).
Masih banyak kegunaan lain dari EPS dalam bidang lingkungan, pengolahan minyak, agrikultur, dan sebagainya.
Di Indonesia, EPS masih belum mendapat perhatian. Padahal, ada banyak tempat yang potensial di Indonesia untuk memproduksi EPS tersebut. Sehingga dengan adanya artikel ini, diharapkan EPS mendapatkan perhatian lebih untuk kemajuan perindustrian di Indonesia. Bagaimana apakah Sahabat Warstek tidak tertarik untuk meneliti EPS?
Referensi :
[1] Bae, J.T., Sim, G.S., Lee, D.H., Lee, B.C., Pyo, H.B., Choe, T.B. and Yun J.W. (2005). Production of exopolysaccharides from mycelial culture of Grifola frondosa and its inhibitory effect on matrix metalloproteinase–1 expression in UV–irradiated human dermal fibroblast. FEMS Microbiology Letters, 251(2): 347–354.
[2] Broadbent, J.R., McMahon, D.J., Welker, D.L., Oberg C.J. and Moineau, S. (2003). Biochemistry, genetics, and applications of exopolysaccharide production in Streptococcus thermophilus: A review. Journal of Dairy Science, 86(2): 407–423.
[3] Dutta, Rajiv. (2008). Fundamentals of Biochemical Engineering. New Delhi : Ane Book India
[4] Freitas, F., Alves, V.D. and Reis, M.A.M. (2011). Advances in bacterial exopolysaccharides: From production to biotechnological applications. Trend in Biotechnology, 29(8): 388–398.
[5] Hamman J.H. (2010). Chitosan based polyelectrolyte complexes as potential carrier materials in drug delivery systems. Marine Drugs, 8: 1305–1322.
[6] Hussein, A.S, Ibrahim, G.S., Asker, M.M.S. and Mahmoud, M.G. (2010). Exopolysaccharide from Lactobacillus helveticus: Identification of chemical structure and effect on biscuit quality. Czech Journal of Food Science, 28(10): 225–232.
[7] Leathers, T.D. (2003). Biotechnological production and applications of pullulan. Appl Microbiol Biotechnology, 62: 468–473.
[8] Morris, G. and Harding, S. (2009). Polysaccharides, microbial. Applied microbiology: Industrial, pp. 482–494.
[9] Nanjani, S.G. and Soni, H.P. (2012). Diversity and EPS production potential of halotolerant bacteria from veraval and dwarka. IOSR Journal of Pharmacy and Biological Sciences, 2(2): 20–25.
[10] Nwodo, U.U., Green, E. and Okoh, A.I. (2012). Bacterial exopolysaccharides: Functionality and prospects. International Journal of Molecular Sciences, 13: 14002–14015.
[11] Pham, P.L.,Â
, , , and[12] Raposo, M.F.D.J., de Morais, R.M.S.C. and Bernardo de Morais, A.M.M. (2013). Bioactivity and applications of sulphated polysaccharides from marine microalgae. Marine Drugs, 11(1): 233–252.
[13] Singha, T.K. (2012). Microbial extracellular polymeric substances: Production, isolation and applications. IOSR Journal of Pharmacy, 2(2): 276–281.
[14] Sutherland I.W. (1997). Microbial exopolysaccharides–structural subtleties and their consequences. Pure and Applied Chemistry, 69(9): 1911–1917.
[15] Torres, C.A.V., Freitas, F., Reis, M.A.M., Sousa, I.D. and Alves, V.D. (2010). Characterization of a novel fucose–containing bacterial exopolysaccharide. International Conference on Food Innovation