Krisis ekonomi global sudah terjadi tiga selama kurun waktu abad 20 hingga abad 21, di mana krisis tersebut menyebabkan jatuh bangun kehidupan masyarakat kebanyakan. Sebuah fakta menarik dari krisis hebat yang pernah melanda tersebut adalah kenyataan bahwa kondisi tersebut menjadi berkah bagi petani lada. Ketika krisis ekonomi tahun 1998 melanda dengan hebat, di mana kondisi itu menjadi titik puncak kemakmuran dan kesuksesan petani lada karena harga lada menanjak sangat tinggi.
Hal-hal ini menunjukkan bahwa komoditas lada menjadi penyeimbang kelesuan ekonomi ketika krisis melanda. Sebagaimana kita bersama menyadari betapa konsumtifnya masyarakat Bangka ketika krisis ekonomi 1997 melanda. Hasil penjualan lada yang didapat pada saat itu membuat petani bersedia membayar betapapun harga yang diminta, termasuk membayar di atas harga demi mendapatkan barang yang diminta. Bahkan ada sebuah anekdot yang berkembang untuk menceritakan betapa makmurnya petani lada saat itu. Petani lada membeli apa saja yang mau dibeli meskipun barang tersebut tidak diperlukan. Petani membeli kulkas yang justru tidak bisa dimanfaatkan karena belum tersedia aliran listrik waktu itu, dan tahu untuk apa kulkas tersebut digunakan? Ya untuk dimanfaatkan sebagai lemari baju.
Tak dapat dipungkiri bahwa berdasarkan pengalaman kondisi krisis yang pernah terjadi di masa lalu menunjukkan bisa menjadi titik kilas balik petani lada. Tahun depan, kita kembali akan menghadapi tahun yang diperkirakan akan mengalami krisis siklus sepuluh tahunan. Merosotnya harga lada saat ini semoga tidak menjadi kendala dan ketakutan petani untuk membudidayakan lada secara intensif. Memang tidak dapat dipungkiri sepanjang tahun 2017 ini harga lada menurun sangat drastis dari awal tahun 140-an ribu hingga terjun bebas tinggal 70-an ribu pada bulan terakhir ini.
Ada sebuah anomali kejadian yang sama, dan jika diperhatikan dengan seksama pergerakan harga lada setiap tahunnya. Tahun-tahun sebelumnya pada tahun 2014-2017 harga lada sangat tinggi 5 bulan sebelum panen untuk kemudian perlahan terus menurun ketika menjelang lada siap dijual. Harga lada masih tinggi ketika lada masih di batang dan tempat perendaman, namun ketika setiap dijual harga menurun hingga 50% dibandingkan harga saat lada masih di batangnya. Kondisi berbeda terjadi saat krisis 1998 di mana harga lada masih rendah ketika 5 bulan sebelum panen dan harga terus menanjak menjelang panen dan berada di puncak harga ketika lada siap di jual.
Kita menyadari betapa sangat harap-harap cemas pekebun lada saat ini menantikan pergerakan harga lada. Pemerintah daerah harus sigap untuk menyiapkan instrumen yang mampu mendukung petani agar tidak merugi jika siklus sepuluh tahun tersebut tidak terjadi. Paket instrumen Resi Gudang yang selama ini digaungkan harus sesegera mungkin diluncurkan dan disosialisasikan. Pemerintah daerah harus menyadari bahwa sangat sulit meyakinkan pekebun untuk terlibat aktif dalam sebuah program. Apalagi program tersebut melibatkan sistem perbankan. Kekhawatiran-kekhawatiran akan pinjaman yang diberikan perbankan dengan menjaminkan lada hanya menjerumuskan petani pada praktik kewajiban membayar bunga pinjaman tersebut.
Kita menyadari tidak ada makan siang gratis bagi perbankan dengan sistem resi gudang tersebut. Pemerintah daerah harus menjamin bahwa pinjaman modal dari perbankan tidak merugikan petani dengan instrumen bunga yang ditetapkan. Karena sejatinya kita tidak bisa memperkirakan kapan harga lada akan menguntungkan untuk dijual. Selain itu, rasa-rasanya sangat mustahil jika pinjaman tersebut diberikan tanpa ada instrumen bunga. Apalagi hingga saat ini belum ada tindak lanjut beberapa ketertarikan impor lada Bangka oleh negara-negara yang disebutkan, Uzbekiztan, dan lain-lain. Wacana kantor dagang di London pun hingga saat ini masih menjadi teka-teki yang sulit ditebak wujud nyatanya. Keberpihakan kepada pekebun lada menjadi sebuah kewajiban besar bagi pemerintah daerah. Pemerintah daerah tidak boleh lagi silaf mata mengabaikan, karena komoditas ini menjadi denyut utama perekonomian lokal.
Kita bersama juga pekebun lada harus sadar diri untuk terus berinovasi menekan biaya produksi ditengah harap cemas menanti kerja keras pemerintah daerah menderek naik harga lada yang menguntungkan. Kita harus mulai mempraktikan prinsip-prinsip budidaya yang ramah dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia karena selain berkontribusi biaya produksi yang tinggi juga tidak ramah lingkungan. Lantas bagaimana? Kita harus mulai kembali ke pupuk organik seperti kotoran hewan dan sejenisnya. Memang tidak mudah mendapatkannya, dan ini menjadi tugas utama pemerintah daerah untuk kembali mengenalkan pupuk organik. Dan, pekebun selama ini bukan tidak mau menggunakan pupuk organik, tetapi sangat sulit mendapatkannya. Dan implikasi akhirnya, praktik-praktik ini akan memudahkan kinerja pemerintah daerah memasarkan lada yang diproduksi karena memenuhi syarat-syarat yang diminta buyer di luar negeri sana, yang terkenal sangat ketat dan menekan kimiawi.
Pada akhirnya, kita hanya ingin mengingatkan bahwa harga lada yang rendah tidak akan menyurutkan dan membuat kapok masyarakat untuk terus berkebun lada. Dan rasa-rasanya pekebun lada kita bukan tipikal pekebun yang cengeng, karena masih bisa bertahan hingga saat ini meskipun acap kali tidak diprioritaskan dalam arah pembangunan daerah. Pekebun-pekebun hanya mencoba sedikit menyampaikan kondisi menahun (asam garam) harga lada yang dihadapi karena merasa memiliki pemimpin yang peduli, bukan untuk cengeng seperti anak jaman now yang kesentil micin.