“Didalam penyelenggaraan masyarakat yang adil dan makmur, makin hari makin terasa perlunya bantuan daripada ilmu pengetahuan” Sukarno – Sidang Penutupan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional Pertama (1958)
Sukarno, Presiden pertama republik ini begitu kuat menggaris bawahi tentang peran penting dari ilmu pengetahuan. Keyakinan ini terbukti sukses, sayangnya bukan bagi bangsa Indonesia. Jepang dan Korea Selatan (Korsel) adalah bukti negara yang mampu menterjemahkan komitmen kebangsaan dari pimpinannya (layaknya Sukarno) untuk meletakkan ilmu pengetahuan sebagai dasar pembangunan negara.
Kedua negara menjadikan ilmu pengetahuan, dan juga teknologi – inovasi sebagai sebagai fondasi dalam memutuskan arah dan tujuan. Kaum cerdik pandai yang tersebar di pusat-pusat penelitian dan perguruan tinggi dilibatkan secara aktif oleh negara untuk menjawab tantangan mendasar dan diminta secara khusus untuk berkontribusi menjawab isu-isu strategis sebagai akibat lahirnya pemikiran dan teknologi baru. Bahkan pucuk pimpinan Jepang, getol mengajak para ilmuwan untuk bertukar pikiran dan secara rutin dilaksanakan setiap bulan.
Namun, kita harus sadar juga, baik Jepang ataupun Korsel telah memiliki tingkat literasi ilmu pengetahuan yang tinggi pada tahun 1945. Sehingga ketika hancur oleh Perang Dunia II, mereka mampu bangkit dan menjadi pusat kemajuan ilmu pengetahuan saat ini. Zuhal (2008) dalam bukunya Kekuatan Daya Saing Indonesia: Mempersiapkan Masyarakat Berbasis Pengetahuan, menegaskan bahwa keberhasilan tersebut tidak dapat dilepaskan dari infrastruktur ilmu pengetahuan yang dimiliki, seperti: tenaga kerja terdidik,tersedianya prasarana penelitian dan pengembangan, para pendidik dan peneliti yang bersemangat ilmiah, adanya komitmen bangsa yang ingin berproduksi (bukan konsumsi saja), dan tentunya dukungan modal yang memadai.
Prasyarat semacam inipun telah dikemukakan Bung Karno dihadapan ratusan peserta Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional Pertama (1958). Secara tegas disampaikan, pembangunan memerlukan tiga hal yaitu, “investment di lapangan material, investment human skill, dan mental invenstment”. Konsep mental investment Bung karno menjadi sangat relevan untuk saat ini, dimana mengandung pengertian bahwa perlunya menanamkan “isi dada, isi jiwa, isi semangat, isi pengetahuan dengan outlook kemasyarakatan, dengan outlook masyarakat,..semua untuk semua”. Hal ini menunjukkan bahwa Bung Karno sangat mengingkan ilmu pengetahuan ber-outlook baru, yaitu ilmu pengetahuan yang tahu dirinya mengabdi kepada pembangunan, sejak perencanaan hingga penyelenggaraan pembangunan.
Persepsi Masyarakat terhadap Iptek
Pada tahun 2014, Pusat Penelitian Perkembangan Iptek – LIPI melakukan survei untuk mengukur tingkat ketertarikan, cara pandang, dan pemahaman masyarakat terhadap iptek. Survei yang dilakukan di 10 kota di Indonesia (Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Makasar, Batam, Denpasar, Balikpapan, Yogyakarta, dan Ambon) menunjukkan hasil bahwa tiga besar definisi iptek yang didefinisikan oleh masyarakat adalah iptek sebagai penemuan besar di bidang iptek yaitu sebesar 76%; iptek berkaitan dengan perbaikan kehidupan manusia (62%); dan iptek merupakan alat untuk melakukan perubahan (46%). Hal ini mengindikasi bahwa masyarakat Indonesia memandang iptek sebagai sesuatu yang memiliki dampak besar dan memberikan perubahan. Hasil survei ini juga memperlihatkan isu iptek yang paling banyak dipahami oleh masyarakat terkait dengan media sosial, sampah organik dan anorganik dan imunisasi. Hal ini semakin menguatkan bahwa persepsi masyarakat terhadap iptek baru sebatas penggunaan media sosial, sehingga apabila sudah menggunakan media sosial maka seseorang dipandang telah memahami iptek itu sendiri.
Survei ini juga mengemukakan bahwa sebagai besar masyarakat memperoleh sumber informasi yang paling banyak digunakan mengenai berita terkini dan iptek adalah melalui internet, televisi, dan koran. Dari ketiga sumber tersebut televisi merupakan jenis sumber informasi yang paling banyak digunakan untuk mendapatkan berita terkini. Sedangkan internet menjadi sumber informasi utama yang digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai berita iptek.
Survei yang dilakukan untuk kedua kali setelah tahun 2008 memperlihatkan masyarakat Indonesia semakin memiliki pemahaman bahwa pendidikan sebagai bidang yang paling diminati terkait dengan iptek, disusul bidang kesehatan dan pangan. Tiga sektor ini begitu mendapat perhatian tertinggi di sejumlah kota besar, metropolitan, dan megapolitan. Kondisi ini menjadi sinyal bahwa masyarakat di perkotaan memandang pendidikan sebagai penting dalam kehidupan. Hal ini relevan dengan data yang tersedia, dimana bidang iptek yang dipandang paling berperan dalam 25 tahun ke depan menurut masyarakat adalah pendidikan (59%), informasi dan teknologi (57%), kesehatan (44%), ekonomi dan bisnis (34%), serta pangan (30%).
Disisi lain, masyarakat mempunyai harapan yang tinggi terhadap iptek. Data survei menyebutkan lebih dari 80% masyarakat berharap iptek dapat memberikan harapan baru untuk generasi mendatang; dapat menemukan sumber energi yang dapat diperbaharui; dan dapat membuat membuat pekerjaan manusia menjadi lebih menarik. Sementara itu, 15% masyarakat masih berpandangan negatif terhadap iptek, karena menganggap tidak perlu mengetahui tentang iptek.
Kontribusi Ilmu pengetahuan dalam menjawab tantangan bangsa
Dalam sebuah diskusi kecil dengan LT Handoko (salah seorang peneliti unggul di LIPI) terungkap, pada tataran filosofis, tidak ada perbedaan pendapat atas pentingnya ilmu pengetahuan untuk mencapai tujuan dan solusi berbagai permasalahan bangsa. Tetapi pada tataran perumusan dan pelaksanaan kebijakan banyak model pendekatan yang berbeda, dan bahkan (seolah-olah) bertolak belakang satu sama lain. Berkaca pada sejarah ilmu pengetahuan Indonesia, hal ini memunculkan kontradiksi antara ekspektasi publik yang berlebihan terhadap ilmu pengetahuan dan komunitasnya, serta dilain sisi rendahnya dukungan pemangku kepentingan akibat kekurangnampakan/ketidakpastian capaian ilmu pengetahuan dalam jangka pendek yang sebenarnya merupakan karakteristik alami aktifitas ilmu pengetahuan.
LT Handoko (2015) menambahkan bahwa munculnya dualisme dan kegamangan diantara para pelaku dan pemegang kebijakan tanah air sebagai konsekuensi dari tuntutan global untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi, serta sebaliknya tuntutan publik (dan politis) lokal akan capaian jangka pendek yang ‘terlihat’. Di negara maju dan pemain utama ilmu pengetahuan dunia, dikotomi semacam ini juga masih menjadi persoalan meski tidak sebesar di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Berkaca dari sejarah dan pengalaman negara-negara lain, seyogyanya kontribusi ilmu pengetahuan difokuskan sebagai motor utama ‘peningkatan daya saing bangsa’. Peningkatan daya saing sebagai efek peningkatan kompetensi dan kapasitas bangsa khususnya terkait SDM (sumber daya manusia), serta efek turunan dalam bentuk industri baru hasil ekonomi kreatif berbasis iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Sayangnya, kerancuan pemahaman di negara seperti Indonesia seringkali mendorong pemegang kebijakan memilih jalan pintas dengan mereduksi aktifitas ilmu pengetahuan sebagai semata untuk penguatan industri dan ekonomi tanpa melihat ‘proses’ yang harus dilalui.
Kurangnya perhatian, atau kerancuan pemahaman ini sebagai akibat dari capaian aktifitas riset yang pada banyak kasus tidak selalu berkorelasi langsung dengan target jangka pendek. Bahkan ada sebagian pemahaman bahwa capaian ilmu pengetahuan dikonotasikan sebagai pemuas kepentingan personil pelaksana, dan tidak berkontribusi pada penciptaan dan penguatan daya saing bangsa dalam jangka panjang. Dikotomi semacam ini tidak perlu terjadi bila regulasi dan manajemen riset diimplementasikan secara konsisten sesuai kaidah dan norma global. Kaidah, standar dan indikator riset bersifat universal, dan karenanya inkonsistensi pelaksanaan akan menimbulkan distorsi di berbagai aspek implementasinya. Sebagai contoh, penerapan kaidah dan norma ilmiah universal untuk indikator keluaran aktifitas riset yang tidak kunjung diterapkan memicu aneka regulasi yang tidak perlu dan sebaliknya berpotensi men-demotivasi praktik riset yang baik. Sebaliknya seringkali memicu beragam penyimpangan etika di kalangan pelaku aktifitas riset.
Dilain pihak, jamak terjadi tekanan publik dan manajemen puncak yang sedemikian besar untuk menghasilkan produk hilir berbasis iptek tanpa ada upaya untuk melihat sumber permasalahan yang sebenarnya berada jauh di hilir, yaitu rendahnya kompetensi dan kapasitas SDM pelaku riset. Ditambah dengan fakta potensi generasi muda (pra-mahasiswa) Indonesia yang mampu bersaing di kancah kompetisi ilmiah global, tetapi prestasi serupa tidak berlanjut di dunia riset yang sebenarnya, mencerminkan adanya masalah fundamental di level perguruan tinggi (PT) dan institusi penelitian non-PT Indonesia. Ilustrasi akan pentingnya ‘menjaga proses’ menuju hasil akhir bisa ditunjukkan dengan ‘Hukum 10%’ seperti diatas, yaitu bahwa untuk menghasilkan 1 produk yang ‘laku keras’ bahkan diperlukan 10.000 invensi sebelumnya!
Janji Presiden Jokowi
Keinginan yang kuat dari Jokowi untuk berpihak kepada ilmu pengetahuan bermula dari komitmen dalam Nawacita, lalu berlanjut pada sebuah sebuah diskusi terbuka September 2014 di gedung LIPI Jakarta, dimana dengan gamblang ia menyatakan “penelitian adalah sebuah hal yang penting bagi kemajuan Indonesia”. Dan berjanji akan membuat bidang penelitian Indonesia menjadi lebih baik dalam pemerintahannya pada masa mendatang. Guna memperkuat riset tersebut, maka ia mengusahakan melipat gandakan anggaran pemerintah untuk kebutuhan riset.
Tidak hanya disitu, April 2015 di Puspiptek Serpong pada National Innovation Forum, kembali Presiden Jokowi menjanjikan penambahan dana riset. Ide penambahan anggaran bukan tanpa sebab, menurut Jokowi agar dalam jangka panjang hasil riset dapat berwujud dalam sebuah produk yang ekonomis dan dapat digunakan maka penting untuk memperbesar dana riset, khususnya untuk sektor vital.
Komitmen untuk berpihak pada ilmu pengetahuan juga disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani, Maret 2015 “Pemerintah berkomitmen menaikkan anggaran penelitian dan pengembangan inovasi. Hal ini menjadi suatu kesempatan untuk meningkatkan performa dan produktivitas karya riset, sehingga implikasi teknologi bagi masyarakat pada lima tahun ke depan harus dapat diandalkan”. Selain komitmen anggaran, Menko PMK pada Agustus 2015 juga menekankan perlunya Revolusi Mental dalam bidang Riset, Iptek dan Dikti, agar riset yang dilakukan berorientasi pada kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kehidupan masyarakat.
Bahkan Menko PMK mencanangkan untuk membangun kemandirian ekonomi Indonesia melalui pembangunan riset dan iptek, yang akan berwujud dalam Rencana Induk Pembangunan dan Pengembangan Iptek Nasional untuk jangka menengah dan panjang. Dokumen ini merupakan penjelasan dan pembagian peran – tugas dari lembaga pendidikan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan serta dunia usaha dan industri, fokus bidang riset dan ilmu pengetahuan teknologi, proyeksi capaian yang diinginkan, dan kebutuhan anggaran serta kebutuhan sumberdaya manusianya.
Keinginan tulus, komitmen, janji dan mimpi untuk menempatkan ilmu pengetahuan menjadi dasar dalam pembangunan negara sejak periode Sukarno kembali bergema awal Oktober 2015. Tatkala hajatan empat tahunan bertajuk Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) XI digelar. Enam ratusan ilmuwan, peneliti, akademisi dan para pemangku kepentingan duduk bersama untuk saling mencurahkan pikiran bagi pemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia. Menko PMK kembali menyemangati para ilmuwan untuk mampu menghadirkan solusi bagi bangsa dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi, dan ia meyakinkan bahwa pemerintah mendorong optimalisasi riset dengan strategi menggabungkan urusan riset ke pendidikan tinggi. Pilihan tersebut, selain demi optimalisasi penggunaan dana, juga untuk memacu perkembangan sektor tersebut.
Namun, ketidak hadiran sosok pimpinan negeri ini, yang dinantikan ratusan ilmuwan pada KIPNAS XI lalu untuk menggelorakan semangat dan komitmen, sekaligus penuntas dahaga dan angin surga bagi kalangan ilmuwan Indonesia belum terwujud. Semoga komitmen dan tindak nyata keberpihakan terhadap pemajuan ilmu pengetahuan segera hadir dari Presiden Jokowi.***
*Catatan: ini merupakan tulisan versi lengkap dari artikel dengan judul yang sama “Negara dan Ilmu Pengetahuan: Menilik budaya penelitian dan berbagai kendala yang dihadapi peneliti di tanah air.” dimuat Majalah Esquire Indonesia, edisi Februari 2016, dan telah dipublikasi blog sivitas LIPI.