Ada Apa Dengan Biomasa? Potensi yang Mulai Tergali

Pagi itu di kota Bogor, sesuai julukannya, hujan masih terus mengguyur bis DAMRI yang kami tumpangi. Beruntungnya, tujuan akhir adalah […]

Pagi itu di kota Bogor, sesuai julukannya, hujan masih terus mengguyur bis DAMRI yang kami tumpangi. Beruntungnya, tujuan akhir adalah IPB ICC, tempat dilaksanakannnya ISIBio 2017, acara tentang biorefineri biomasa yang akan saya ikuti. Curah hujan yang cukup tinggi di Indonesia, serta sinar matahari sepanjang tahun berdampak positif pada melimpahnya sumber biomasa dan merupakan keuntungan geografis Indonesia dibanding negara-negara yang jauh dari equator. Simposium yang digagas salah satunya oleh Pusat Unggulan Iptek (PUI) Biorefineri Terpadu – Puslit Bioteknologi LIPI, memberi wawasan tentang progress riset dibidang ini, karena menampilkan banyak pembicara kompeten dari berbagai lembaga terkait. Dua hari berselang, stadium general di Yogyakarta dengan judul: Biorefinery, the bridge between sustainability and economy, dari Prof. Johan Sanders asal Belanda, semakin menambah khazanah betapa menarik dan banyaknya potensi yang bisa digali dari biorefineri. Catatan berkenaan dengan dua acara inspiratif diatas, akan penulis sajikan lebih lanjut diakhir tulisan ini.

Kembali ke pertanyaan di tulisan saya sebelumnya tentang manakah metode pretreatment paling efektif dalam pemisahan komponen utama biomasa (selulosa, lignin dan hemiselulosa)? Ternyata memang tak ada gading yang tak retak, begitulah kira-kira peribahasa yang cocok menggambarkan berbagai metode yang telah disebutkan dibagian pertama tulisan ini. Masing-masing metode tersebut punya kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri, seperti dijelaskan pada Table 1 berikut [1].

Table 1 Kelebihan dan kekurangan berbagai metode pretreatment biomasa

Saya tak akan menjelaskan lebih detail tentang Table 1 ini, karena selain sudah cukup jelas dari teknologi separasi, segi ke-ekonomisannya pun sedikit disinggung. Akan tetapi ada metode pretreatment yang belum tersebut dalam table tersebut dan cukup diperhitungkan saat ini. Salah satunya adalah ionic liquid pretreatment, yang efektif mengubah selulosa menjadi glukosa tanpa harus memisahkannya dengan lignin atau hemiselulosa, sehingga suhu reaksi yang diperlukan dibawah 100°C. Kelemahan metode ini adalah mahalnya ionic liquid, jadi memerlukan proses recycle yang efisien.

Walaupun masing-masing metode punya kelebihan dan kekurangan, tentu saya akan mencoba menyimpulkan satu metode yang memiliki kelebihan dibanding metode lain. Apabila kita menengok dunia industri, ada suatu industri yang sudah puluhan atau bahkan ratusan tahun bersentuhan dengan pretreatment biomasa ini, jauh sebelum topik biorefineri menjadi perhatian. Iya, jawabannya adalah industri kertas. Pembuatan kertas sudah dimulai dengan memanfaatkan biomasa di China sejak dinasti Han (25-220 A.D.) atau bahkan beberapa tahun sebelumnya [2]. Sedangkan secara modern dan menariknya masih digunakan sampai saat ini adalah metode kraft yang ditemukan oleh Carl F. Dahl tahun 1879 di Jerman [3]. Inilah metode yang populer, tentunya dengan berbagai improvement berkelanjutan. Metode kraft ini memakai bahan kimia berupa campuran sodium hidroksida dan sodium sulfide, chemicals yang cukup murah dan mudah didapat. Metode yang sudah well proven ini tentu dapat dijadikan acuan untuk pretreatment biomasa. Sehingga saya berkesimpulan bahwa alkaline pretreatment sebagai metode yang paling efektif dan applicable saat ini untuk memisahkan selulosa, lignin dan hemiselulosa.

Kembali ke catatan tentang kegiatan biorefineri di paragraf awal, ada hal menarik yang dipresentasikan Dr. Shinji Hama pada ISIBio 2017, beliau menghitung harga produksi bioetanol generasi kedua (berasal dari biomasa) di perusahaannya adalah ¥70/liter atau sekitar Rp. 8400. Tentu hal ini menjadi informasi sangat berguna bagi pemerintah sebagai regulator bioenergi, dalam hal ini khususnya Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Bioetanol yang dicampur bensin sampai 10% (biopremium), tentu akan dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM dan crude oil yang sudah mendekati angka satu juta barel per hari seperti saat ini. Andaipun harga ini dirasa masih cukup mahal, kita dapat belajar kepada Brazil yang sukses memproduksi bioetanol dari tebu (generasi pertama) dan mampu terbebas dari ketergantungan impor minyak dari Timur Tengah. Apabila opsi terakhir yang diambil, tentu pemerintah dapat memanfaatkan sekitar 30 juta hektar lahan kritis untuk penanaman tebu, sehingga kita bisa memproduksi secara bersamaan gula pasir dan bioetanol, seperti yang pernah saya bahas secara lengkap pada tulisan yang lain [4]. Keuntungan lain apabila pabrik-pabrik gula dan bioetanol dibangun, limbah biomasa yang dihasilkan dapat dipergunakan sebagai bahan baku untuk produksi berbagai bahan kimia dan biofuel melalui proses biorefineri. Tentunya dengan berbagai langkah ini, maka diharapkan, pemerintah tidak hanya mampu menambah jumlah lapangan kerja di daerah, tetapi sekaligus juga meningkatkan nilai ekonomis biomasa.

References
  1. Alvira P, Tomás-Pejó E, Ballesteros M, Negro, M.J. (2010). Pretreatment technologies for an efficient bioethanol production process based on enzymatic hydrolysis: A review. Bioresource Technology 101, 4851–4861
  2. Papermaking. (2007). In: Encyclopædia Britannica. Retrieved April 9, 2007, from Encyclopædia Britannica Online.
  3. Biermann, Christopher J. (1993). Essentials of Pulping and Papermaking. San Diego: Academic Press, Inc. ISBN0-12-097360-X.
  4. http://lipi.go.id/berita/single/Ketahanan-Energi-Berbasis-Bioenergi/8972

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *