Mengubah Cahaya Inframerah Menjadi Cahaya Tampak

Pelangi merupakan salah satu fenomena yang lumrah di masyarakat Secara umum fenomena ini terjadi ketika sinar matahari dibiaskan saat melewati […]

eksperimen optik

Pelangi merupakan salah satu fenomena yang lumrah di masyarakat Secara umum fenomena ini terjadi ketika sinar matahari dibiaskan saat melewati tetesan air yang berada di atmosfer bumi. Sinar matahari yang dibiaskan tak lain merupakan cahaya putih yang mana merupakan gabungan dari tujuh warna dasar. Hasil pembiasan cahaya putih tersebut menghasilkan warna-warna yang biasa disebut dengan pelangi. Adapun susunan warna pelangi dikenal dengan nama spectrum.

Namun sebenarnya, spectrum cahaya tidak hanya terbentuk dari warna yang bisa dilihat dengan mata saja. Terdapat warna-warna yang tidak terlihat walaupun dapat terdeteksi dengan perangkat tertentu yang dikenal dengan invisible light, seperti sinar-x, ultraviolet, infrared, ataupun sinar gamma. Meskipun tidak dapat dilihat dengan mata, invisible light tersebut memiliki kegunaan masing-masing, seperti sinar-x untuk memeriksa tulang patah, infrared untuk mengubah saluran televisi melalui remote, dan masih banyak kegunaan lainnya.

Fisikawan menggambarkan cahaya sebagai sesuatu yang disebut dengan radiasi elektromagnetik atau gelombang elektromagnetik. Cahaya pada tiap-tiap warna memiliki jumlah energi yang berbeda-beda. Energi-energi tersebut diangkut dalam bentuk gelombang, dan dengan panjang gelombang tertentu[1]. Semakin pendek panjang gelombangnya maka energi yang dibawa akan semakin banyak, dapat dilihat pada Fig.2

Berkaitan dengan radiasi elektromagnetik, pada penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan Columbia University dan peneliti dari Harvard, telah berhasil mengembangkan proses kimia untuk menyerap cahaya infrared dan memancarkan kembali dalam bentuk visible energy. Hal tersebut memungkinkan radiasi elektromagnetik yang tidak berbahaya untuk menembus jaringan hidup seperti kulit, darah, dan bahan lainnya tanpa kerusakan yang disebabkan paparan cahaya berintensitas tinggi[2].

Sebenarnya penelitian tersebut dilakukan dalam upaya mengembangkan katalis photoredox, yaitu suatu katalis yang memungkinkan untuk mencapai transformasi sintetik, polimerisasi, dan modifikasi permukaan yang dapat dikatakan “menantang”. Katalis photoredox bergantung pada sifat umum dari keadaan terksitasi agar lebih mudah direduksi serta lebiih mudah teroksidasi dari keadaan dasarnya (ground state). Fotokatalis sendiri dapat berfungsi sebagai donor maupun akseptor electron untuk dibuat ulang dalam suatu siklus katalitik. Selain itu, fotokatalis menjalani dua langkah transfer electron yang berbeda (fig.3). Kedua proses transfer electron tersebut dihubungkan dengan oleh substrat atau zat antara rekasi yang dikatalisasi.

Dalam reaksi pada katalis photoredox memerlukan rangsangan berupa sinar ultraviolet atau cahaya tampak. Namun, penggunaan cahaya tampak (visible light) memiliki hambatan-hambatan secara intrinsik. Sebagai contoh, cahaya tampak yang digunakan dalam penyinaran media reaksi memiliki tingkat penetrasi yang sangat rendah dan dapat bermasalah dalam reaksi skala besar, selain itu reaktan juga dapat bersaing dengan fotokatalis dalam penyerapan cahaya tersebut, sehingga, membatasi ruang lingkup reaksi[2].

Masalah-masalah tersebut dapat diatasi dengan menggunakan pendekatan cahaya infrared yang memiliki tingkat penetrasi lebih tinggi. Oleh karena itu, Tim yang meliputi Luis M. Campos, professor kimia Columbia University, dan Daniel M. Congreve dari Rowland Institute di Harvard mendemonstrasikan berbagai transformasi photoredox di bawah radiasi infrared dengan memanfaatkan proses fotofisika dari upconversion fusion triplet.

Upconversion fusion triplet merupakan mekanisme di mana dua buah foton berenergi rendah dikonversi menjadi foton berenergi lebih tinggi. Proses Upconversion fusion triplet ini melibatkan dua spesies, yaitu annihilator dan sensitizer. Di mana sensitizer berfungsi menyerap foton berenergi rendah yang menghasilkan sensitizer terkesitasi singlet, 1[Sen]. Kemudian sensitizer tersebut meluruh dan menjadi sensitizer triplet, 3[Sen]. Energi tersebut kemudian ditranser ke annihilator dan membentuk 3[An]. Dua molekul 3[An] dapat mengalammi triplet fusion, dan menghasilkan foton berenergi tinggi melalui peluruhan fluorescence.

Pada dasarnya Upconversion fusion triplet (konversi fusi triplet) melibatkan rantai proses yang pada dasrnya menggabungkan dua foton infrared menjadi satu foto visible light. Sebagian besar teknologi hanya menangkap cahya tampak (visible light), artinya spectrum lain akan menjadi sia-sia. Namun, koversi fusi triplet dapat menguba infrared berenergi rendah menjadi cahaya tampak yang dapat diserap oleh perangkat optoelectronik, seperti halnya sel surya. Selain itu cahaya tampak juga dapat dipantulkan oleh berbagai permukaan, sedangkan infrared memiliki panjang gelombang yang lebih panjang hanya mampu menembus bahan padat[3].

Dengan teknologi ini, cahaya infrared dapat disempurnakan ke panjang gelombang yang diperlukan. Teknologi ini juga lebih memungkin untuk melewati berbagai medium seperti kertas, cetakan plastik, darah, maupun jaringan. Selain itu teknologi ini juga dapat berdampak luas, seperti terapi cahaya infrared yang dapat berperan dalam mengobati penyakit-penyakit tertentu, atau pun pengobatan pada gangguan otak, saraf, dan tulang-tulang yang rusak.

Reference:

[1] The Electromagnetic Spectrum, CESAR’s Booklet diakses melalui http://cesar.esa.int/upload/201711/electromagnetic_spectrum_booklet_wboxes.pdf

[2] Ravetz, B. D., Pun, A. B., Churchill, E. M., Congreve, D. N., Rovis, T., & Campos, L. M. (2019). Photoredox catalysis using infrared light via triplet fusion upconversion. Nature.doi:10.1038/s41586-018-0835-2

[3] Kang, Ji-Hwan. (2017). Triplet Fusion Photon Upconversion Systems: Towards Low Treshold Applications. Dissertation Georgia Institute of Technology

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top