
Tulisan Ir. HARTONO AS, MM dalam majalah Jalan Rel No. 1 Tahun Ke-1 tanggal 28 September 2001.
Disadur dengan mengubah dan menambah kata / kalimat tanpa mengurangi maksud tulisan.
Pendahuluan
Setiap jenis kendaraan yang bergerak pasti memiliki rem termasuk kereta api yang terdiri dari lokomotif dan rangkaiannya (kereta / gerbong). Masing-masing jenis kendaraan tersebut memiliki karakteristik pengereman tersendiri, dan masing-masing karakteristik pengereman tentunya memiliki jarak pengereman (stoping distance) yang berlainan pula.
Jarak pengereman kereta api adalah jarak yang dibutuhkan mulai saat masinis menarik tuas (handle) rem dengan kondisi pelayanan pengereman penuh (full brake) sampai dengan kereta api benar-benar berhenti.
Yang dimaksud dengan pengereman penuh (full brake) pada rangkaian kereta api yang dilengkapi peralatan pengereman udara tekan (Westinghouse) adalah menurunkan tekanan udara pada pipa utama sebesar 1,4 – 1,6 kg/cm2 (1,4 – 1,6 atm) melalui tuas pengereman yang dilakukan masinis di lokomotif yang menyebabkan tekanan maksimum pada silinder pengereman kereta / gerbong mencapai 3,8 kg/cm2 (3,8 atm) pada masing-masing kereta / gerbong.
Jarak pengereman (L) dihitung dalam meter (m) sangat penting pengaruhnya pada kereta api sebagai bahan acuan bagi masinis kapan saatnya harus menarik tuas rem dan memulai pengereman untuk dapat berhenti pada waktu dan tempat yang ditentukan harus berhenti.
Dalam keadaan normal dimana kereta api yang berjalan dalam kecepatan penuh dan masinis menyadari bahwa kereta apinya harus berhenti di depan suatu sinyal karena tertahan oleh semboyan 7 (sinyal tidak boleh dilalui) maka masinis harus memperkirakan jarak pengereman dimana harus mulai menarik tuas rem sampai dengan kereta api harus dapat berhenti di muka sinyal tersebut.
Dalam pemeriksaan atau penyidikan kecelakaan kereta api, jarak pengereman dapat mengungkap penyebab suatu kecelakaan kereta api misalnya tabrakan kereta api frontal di jalan bebas, suatu kereta api menabrak kereta api lain dari belakang di jalan bebas, suatu kereta api menabrak kereta api lain di emplasemen stasiun atau suatu kereta api menabrak kendaraan jalan raya yang mogok di jalan perlintasan.
Analisis lapangan dan analisis terhadap kondisi teknis pengereman kereta api tersebut dapat mengungkap penyebab kecelakaan yaitu apakah disebabkan faktor teknis (technical error) atau faktor kesalahan operator (human error). Di lapangan dapat dihitung jarak yang tersedia untuk melakukan pengereman mulai dari lokasi tabrakan sampai dengan lokasi dimana masinis sudah dapat melihat benda / kereta api lain yang menghalangi kereta apinya yang dihitung dalam asumsi kecepatan penuh.
Analisis terhadap kondisi teknis pengereman kereta api dimaksudkan untuk mendapatkan data apakah kereta api tersebut memiliki peralatan pengereman yang seharusnya menurut syarat-syarat teknis pengereman yang ditetapkan atau tetap dioperasikan dalam kondisi menyimpang dari peraturan teknis pengereman yang ditetapkan.
Dari kondisi tersebut maka dapat diketahui apakah penyebab tersebut akibat masinis terlambat melayani tuas pengereman, jarak yang tidak mencukupi atau faktor teknis peralatan yang di bawah standar yang ditentukan. Kondisi lain yang dapat diasumsikan adalah jika “masinis tertidur” apakah peralatan “dedman pedal” atau “automatic emergency brake” dapat bekerja baik dalam situasi kecepatan penuh untuk melakukan pengereman penuh mulai dari lokasi dimana diasumsikan masinis mulai tertidur.
Pelayanan peralatan pengereman kereta api dapat bekerja dengan 3 cara yaitu dilayani oleh masinis dari lokomotif, dilayani secara otomatis oleh sistem pengamanan di lokomotif melalui peralatan yang disebut “dead-man pedal” atau “automatic emergency brake” serta oleh awak kereta api dalam rangkaian dengan menarik tuas “emergency brake” yang tersedia pada setiap kereta / gerbong.
Faktor Yang Berpengaruh Pada Jarak Pengereman
- Kecepatan Kereta Api (Semakin tinggi kecepatan kereta api maka semakin panjang jarak pengereman)
- Kemiringan / lereng (gradient) jalan rel. (Kemiringan jalan rel berpengaruh terhadap jarak pengereman dengan 2 kemungkinan yaitu menambah jarak pengereman jika lereng menurun atau mengurangi jarak pengereman jika lereng menanjak)
- Prosentase Gaya Pengereman
- Jenis kereta api (kereta penumpang/barang)
- Jenis rem (blok komposit/blok besi cor)
Prosentase gaya pengereman adalah besaran gaya pengereman yang bekerja dibandingkan dengan berat kereta api yang akan dilakukan pengereman dikalikan dengan 100%. Semakin kecil besaran gaya pengereman maka akan semakin panjang jarak pengereman. Kasus besaran gaya pengereman tidak dapat mencapai angka 100% dipengaruhi oleh jumlah kereta / gerbong yang tidak bekerja atau tidak dilayani dalam suatu rangkaian kereta api.
Perhitungan Jarak Pengereman
Faktor-faktor tersebut di atas kemudian dibuat rumus untuk menghitung jarak pengereman dengan berbagai besaran faktor yang mempengaruhinya. Terdapat beberapa rumus fisika untuk menghitung jarak pengereman yaitu Pedelucq dan Minden.
Mengingat bahwa kereta api di Indonesia menggunakan sistem pengereman udara tekan dari Knorr, maka rumus yang dapat dipakai adalah rumus Minden, yaitu :

Tabel Nilai ψ | ||
Kecepatan (V) – km/jam | Rem Posisi (R atau P) | Rem Posisi (G) |
40
50 60 70 80 90 | 0,84
0,90 0,94 0,96 0,99 1,00 | 0,85
0,92 0,97 1,00 1,06 1,06 |
100 | 1,00 | – |
Rem Posisi
R/P | Jumlah Gandar | n ≤ 24 | 24 < n ≤ 48 | 48 < n ≤ 60 | 60 < n ≤ 80 | 80 < n < 100 |
C1 | 1,10 | 1,05 | 1,0 | 0,97 | 0,92 | |
Rem Posisi
G | Jumlah Gandar | n ≤ 40 | 40 < n ≤ 80 | 80 < n ≤ 100 | 100 < n ≤ 120 | 120 < n ≤ 150 |
C1 | 1,12 | 1,06 | 1,0 | 0,95 | 0,9 |
Tabel Nilai Ci | |||||||
Kecepatan (V) km/jam | 40 | 50 | 60 | 70 | 80 | 90 | 100 |
Rem Posisi R/P | 0,77 | 0,81 | 0,84 | 0,87 | 0,89 | 0.90 | 0,90 |
Rem Posisi G | 0,66 | 0,68 | 0,70 | 0,72 | 0,74 | 0,75 | – |

Uji coba pengereman harus dilakukan melalui uji coba stasioner dan uji coba operasional. Uji coba stasioner dilakukan dengan maksud untuk mengetahui tekanan udara pada pipa utama, reservoir dan silender rem serta mengetahui waktu pengereman yang dibutuhkan sewaktu melakukan pengereman dan pelepasan. Uji coba operasional dilakukan dengan maksud mengetahui jarak pengereman pada berbagai kecepatan.
Uji coba yang pernah dilakukan pada rangkaian kereta api penumpang dengan jumlah rangkaian sebanyak 8 – 10 kereta menggunakan bogie NT.11 / K5 dan dihitung dengan rumus Minden menghasilkan tabel :
Kecepatan awal (V) km/jam | Jarak pengereman (L) meter | |
Perhitungan | Uji coba | |
60
70 80 90 100 | 249
332 420 527 650 | 332
415 650 745 910 |
Uji coba operasional yang pernah dilakukan menggunakan rangkaian kereta api dengan seluruh kondisi pengereman tiap-tiap kereta keadaan baik dan sesuai teknik persyaratan pengereman yang ditetapkan. Seluruh rangkaian menggunakan blok rem dengan bahan dari besi cor.
Tabel di atas membuktikan bahwa jarak pengereman hasil percobaan operasional lebih panjang / jauh dari perhitungan teori dengan rumus Minden. Penyebabnya kemungkinan besar adalah penggunaan bahan pembuatan blok rem yang berbeda dengan standar bahan blok rem yang dipakai di Eropa. Rumus Minden didasarkan atas kondisi yang berlaku di Eropa.
Blok Rem Komposit
Sejak KA Babaranjang di Sumatra Selatan dioperasikan dan frekuensi perjalanannya meningkat tajam sesuai kebutuhan pasar maka kemudian diperkenalkan dan digunakan bahan pembuatan blok rem komposit untuk menggantikan bahan pembuatan blok rem besi cor.
Keunggulan blok rem komposit adalah memiliki koefisien gesek yang lebih baik dan usia keausan yang lebih lama sehingga waktu penggantiannya menjadi lebih panjang. Hal ini menimbulakn keuntungan pada penghematan tenaga kerja dan pengadaan blok rem dengan rentang waktu yang bertambah panjang.
Blok rem komposit di Jawa telah digunakan untuk kereta api Argo Bromo Anggrek, kereta api Argo Gede dan beberapa set KRL di Jabodetabek. Keunggulan lain adalah membuat jarak pengereman menjadi lebih pendek dan tidak menimbulkan suara bising saat terjadi pengereman.
Uji coba operasional pengereman pada kereta api Argo Bromo Anggrek dengan menggunakan blok rem komposit menghasilkan tabel sebagai berikut :
Kecepatan awal (V) km/jam | Jarak pengereman (L) meter | |
Perhitungan | Uji coba | |
60
70 80 90 100 | 249
332 420 527 650 | 210
295 385 463 600 |
Tabel di atas membuktikan bahwa jarak pengereman hasil percobaan operasional pengereman menggunakan blok rem komposit berhasil mendekati atau lebih pendek dibandingkan percobaan operasional menggunakan blok rem dengan bahan besi cor.
Kesimpulan
Jarak sinyal muka ke sinyal utama pada lintas jalan datar adalah 500 meter. Dalam hal kereta api berjalan dengan kecepatan penuh dan terpaksa harus tertahan di sinyal masuk, maka potensi melanggar sinyal masuk utama sangat besar jika masinis mulai melakukan pengereman pada saat melalui sinyal muka tersebut.
Jika kereta api menggunakan blok rem dari bahan besi cor maka masinis harus mulai melakukan pengereman ketika melihat kedudukan / aspek sinyal muka yang menunjukkan kedudukan / aspek sinyal utama yang terkait dengan sinyal muka tersebut menunjukkan indikasi tidak aman. Artinya masinis harus mulai melakukan pengereman sebelum melalui sinyal muka tersebut atau mulai melakukan pengereman untuk mengurangi kecepatan pada saat melihat kedudukan / aspek sinyal muka tersebut. Jika masinis mulai melakukan pengereman pada saat atau setelah melalui sinyal muka maka sudah dapat dipastikan bahwa kereta api akan melanggar sinyal masuk utama atau kereta api akan benar-benar berhenti setelah melalui sinyal masuk utama yang berkedudukan / aspek tidak aman.
Dalam hal kasus tabrakan kereta api dengan kendaraan lain di jalan perlintasan, dalam hal kereta api berjalan dengan kecepatan penuh maka situasi di perlintasan tersebut harus sudah dapat terlihat oleh masinis sedikitnya pada jarak 1000 meter. Jika jarak terlihat tersebut tidak tercapai maka setiap benda yang merintangi perjalanan kereta api tersebut di perlintasan dipastikan akan tertabrak kereta api. Kecelakaan juga pasti akan terjadi jika jarak pandang masinis mencukupi tetapi secara tiba-tiba melintas kendaraan di perlintasan pada saat jarak kereta api dengan perlintasan tersebut lebih kecil dari jarak pengereman.
Hal yang sama juga dapat terjadi pada kasus kecelakaan suatu kereta api menabrak kereta api lain dari belakang jika jarak pandang masinis terhalang oleh lengkung jalan sehingga jarak pengereman terjauh tidak dapat dicapai. Dalam kasus ini biasanya masinis telah melanggar sinyal sebelumnya yang seharusnya tidak boleh dilalui.
Jika kereta api menggunakan blok rem komposit maka masinis boleh melakukan pengereman pada saat / menjelang melalui sinyal muka tersebut untuk kecepatan dibawah 90 km/jam. Tetapi untuk kecepatan penuh di atas 90 km/jam maka masinis harus mulai melakukan pengereman sebelum melalui sinyal muka tersebut.
Jarak pengerman kereta api ini seharusnya diketahui bukan oleh masinis atau pegawai yang berkecimpung dalam perkeretaapian tetapi oleh pengguna jalan raya yang sering melalui pintu perlintasan kereta api terutama perlintasan yang tidak dijaga.
Jika semua pegawai kereta api mengetahui hal ini maka kemungkinan besar kecelakaan-kecelakaan kereta api yang selama ini terjadi (selain anjlogan) dapat dihindari atau setidaknya mengurangi resiko dan jumlah kecelakaan kereta api dengan melakukan antispasi pencegahan lebih dini.
Sumber: https://sites.google.com/a/semboyan35.com/kakominfo/home/art001