Oleh: Grace Mulyani Winata
Gangguan jiwa atau mental illness merupakan permasalahan kesehatan dimana penderitanya mengalami gangguan berpikir, perasaan, atau perilaku maupun ketiganya dalam jangka waktu yang panjang dan mengarah menjadi sesuatu yang tidak normal. Dengan keadaan seperti ini, ada kemungkinan penderita akan kehilangan kemampuan bersosialisasi serta meningkatkan angka kematian. Penyebab gangguan jiwa dapat berasal dari faktor sosial seperti lingkungan pekerjaan, kehilangan orang terdekat, trauma di masa lalu, maupun faktor genetis.
Gangguan jiwa juga dapat menyebabkan gejala fisik, seperti sakit kepala, nyeri punggung, atau sakit perut. Kondisi seperti ini membuat gangguan jiwa memiliki kesamaan gejala dengan penyakit lainnya sehingga dapat menyebabkan kesalahan diagnosis yang berujung pada kesalahan pengobatan. Sejauh ini, diagnosis gangguan jiwa hanya dilakukan melalui analisis kondisi psikis pasien.
Pada tahun 2017, ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, Eka Viora, menyatakan ada sekitar 9 juta dari 250 juta orang Indonesia mengalami gangguan jiwa. Angka kejadian gangguan jiwa global juga meningkat 18% dalam satu dekade terakhir. Pengobatan gangguan jiwa dilakukan dengan psikoterapi maupun obat-obatan. Sayangnya, pengobatan dengan obat-obatan memiliki efek samping tersendiri bagi penderitanya bahkan terkadang obat-obatan tersebut harus berganti terus menerus dengan dosis yang lebih tinggi karena kondisi penderita. Hal ini sering kali membuat penderita enggan melanjutkan pengobatannya.
Dengan kondisi seperti ini, penelitian tentang kondisi biologis, atau yang dikenal dengan marka biologis, penderita gangguan jiwa harus dilakukan agar didapatkan diagnosis dan pengobatan yang lebih pasti. Pengecekan marka biologis dapat dilakukan dengan pendekatan bioinformatika dan metabolomik. Metabolomik merupakan ilmu yang mempelajari proses kimia yang terlibat di dalam metabolisme sehingga menghasilkan jejak unik kimia. Hasil analisis metabolomik dapat digunakan sebagai marka biologis suatu penyakit termasuk gangguan jiwa[1].
Penelitian terbaru adalah penggunaan metabolomik dalam diagnosis skizofrenia. Hasil penelitian dengan menggunakan sampel darah ini menunjukkan adanya perbedaan metabolit pada pasien penderita skizofrenia dengan orang normal. Beberapa metabolit seperti pantotenat, mannitol, asam p-aminobenzoat (PABA), glisin, guanin, dan asam gamma-aminobutirat (GABA) terlihat lebih banyak pada hasil analisis metabolit dari darah pasien. Sedangkan metabolit seperti asam amino L-glutamin dan L-treonin, adenosine hasil glikolisis, basa nukleotida adenin, isomer asam mesakonat yang berperan dalam sintesis vitamin B12 lebih rendah pada pasien penderita skizofrenia. Dengan mengetahui metabolit-metabolit tersebut, dapat ditemukan obat-obatan dengan target yang lebih spesifik pada metabolit tertentu[2].
Gambar 1. Analisis metabolit dengan sampel darah pasien penderita skizofrenia dan kontrol[2]
Tak hanya dari hasil metabolomik, biomarker juga dapat diperoleh dari mikrobiota pada penderita gangguan jiwa seperti skizofrenia. Pada tenggorokan pasien skizofrenia ditemukan lebih banyak filum Firmicutes sedangkan pada orang normal ditemukan lebih banyak filum Bacteroidetes dan Actinobacteria. Tak hanya itu, pada pasien penderita skizofrenia juga didapati lebih banyak bakteriofage, virus yang menginfeksi bakteri, seperti Lactobacillus phage phi-adh. Sedangkan pada pasien yang sedang mengkonsumsi valproate, obat penstabil suasana hati, ditemukan bakteriofage yang lebih sedikit daripada pasien yang tidak mengkonsumsi valproate. Dengan adanya penemuan ini, diharapkan adanya penemuan obat yang mempengaruhi mikrobiota pada pasien skizofrenia dengan toksisitas lebih rendah daripada valproate[3].
Gambar 2. Perbedaan profil mikrobiota pada pasien penderita skizofrenia dan kontrol[3]
Konsumsi antibiotik pada pasien penderita bipolar dengan mania akut ditemukan lebih banyak daripada penderita bipolar tanpa mania akut. Konsumsi antibiotik ini menyebabkan perubahan pada mikrobiota di dalam usus sehingga mempengaruhi metabolisme pasien. Dengan demikian, resep antibioik pada pasien penderita gangguan jiwa harus lebih diperhatikan karena dapat memperparah kondisi pasien[3].
Dengan adanya berbagai penemuan ini, diharapkan dunia medis dapat menemukan pengobatan yang lebih tepat untuk pasien penderita gangguan jiwa. Tak hanya itu, biomarka yang ada juga dapat membantu para praktisi kesehatan dalam mendiagnosis pasien.
Referensi
[1] Davison J, O’Gorman A, Brennan L, Cotter DR. 2018. A systematic review of metabolite biomarkers of schizophrenia. Schizophrenia Research, DOI: 10.1016/j.schres.2017.09.021
[2]Tasic L, Pontes JGM, Carvalho MS, Cruz G, Mas CD, Sethi S, Pedrini M, Rizzo LB, Graiff MZ, Asevedo E, Lacerda ALT, Bressan RA, Poppi RJ, Brietzke E, Hayashi MAF. 2017. Metabolomics and lipidomics analyses by 1H nuclearmagnetic resonance of schizophrenia patient serum reveal potential peripheral biomarkers for diagnosis. J. Schres., DOI: 10.1016/j.schres.2016.12.024
[3] Dickerson F, Severance E, Yolken R. 2017. The microbiome, immunity, and schizophrenia and bipolar disorder. Brain, Behavior, Immunity and the Microbiome, DOI: 10.1016/j.bbi.2016.12.010