Oleh: Nadhilah Gitarani
Gunung Papandayan terletak di Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Ekosistem hutan Gunung Papandayan termasuk ke dalam hutan pegunungan, yang berada pada ketinggian antara 1200-3350 m di atas permukaan air laut [1]. Pada tahun 2012, hutan gunung Papandayan mengalami kebakaran yang diperkirakan mencapai 100 hektar. Kebakaran yang terjadi diketahui akibat masyarakat yang membuka lahan dengan cara membakar hutan. Kebakaran hutan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap berkurangnya jumlah flora dan fauna, rusaknya tanah, menurunnya kesuburan tanah, dan hilangnya mikroorganisme dekomposer [2]. Selain itu, kebakaran hutan memberikan dampak pada komunitas fauna yang hidup di habitat hutan tersebut, salah satunya adalah arthropoda.
Arthropoda merupakan kelompok hewan invertebrata dengan ciri khas berupa tubuh yang beruas-ruas. Arthropoda memiliki peranan penting dalam perbaikan kesuburan tanah dan dekomposisi bahan organik untuk penyedia unsur hara tanah. Beberapa jenis arthropoda memiliki peranan penting sebagai bioindikator ekosistem hutan, dekomposer, polinator, parasitoid, dan predator [3]. Mengingat peranan penting arthropoda dalam suatu ekosistem, maka pada bulan November 2017 beberapa mahasiswa Biologi dari Institut Teknologi Bandung telah melakukan analisis tentang keanekaragaman arthropoda di hutan pasca kebakaran Gunung Papandayan.
Pada penelitiannya dilakukan pengambilan sampel arthropoda menggunkan metode pitfall trap, pan trap, dan light trap. Pengambilan sampel dengan menggunakan pitfall trap digunakan untuk mendapatkan arthropoda tanah. Perangkap yang digunakan berupa gelas plastik yang ditanam pada tanah hingga bagian pinggir gelas sejajar dengan permukaan tanah. Wadah tersebut berisi air detergent sebagai killing agent. Pencuplikan arthropoda aerial khususnya yang bersifat diurnal dilakukan dengan menggunakan pan trap. Pan trap terdiri dari wadah penampung berupa mangkuk plastik berwarna kuning, biru, merah, dan putih yang berisi air detergent. Penggunaan berbagai macam warna ini bertujuan untuk menangkap arthropoda dari berbagai macam ordo yang bervariasi, karena setiap ordo memiliki preferensi terhadap warna yang berbeda-beda. Sedangkan untuk arthropoda aerial yang bersifat nokturnal dilakukan dengan menggunakan light trap yang terdiri dari lampu (sumber cahaya), dan wadah penampung berupa baskom yang berisi air detergent. Light trap dipasang pada pohon dengan menggunakan tali yang diikatkan pada batang pohon. Waktu penjebakan dilakukan selama 24 jam. Kemudian arthropoda yang tercuplik dimasukkan ke dalam plastik bening dan ditambahkan dengan alkohol 70% untuk selanjutnya diidentifikasi di laboratorium [4].
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, didapatkan indeks keanekaragaman arthropoda yang tinggi pada hutan pasca kebakaran Gunung Papandayan. Tingginya keanekaragaman jenis ini dapat dijelaskan oleh hipotesis intermediate disturbance. Hipotesis tersebut mengungkapkan bahwa ekosistem yang mengalami gangguan dari lingkungan dengan tingkat gangguan sedang/menengah (intermediate) akan mengalami peningkatan keanekaragaman organisme di dalam ekosistem tersebut. Dalam hal ini, gangguan yang terjadi berupa kebakaran. Namun kebakaran yang terjadi di Gunung Papandayan ini berupa crown fire atau kebakaran yang terjadi hanya di bagian atas hutan sehingga tidak mengganggu kondisi lantai hutan. Kondisi tersebut memungkinkan terjadinya proses suksesi sekunder. Pada suksesi sekunder, gangguan lingkungan yang ada tidak sampai merusak tanah yang merupakan substrat kehidupan beberapa organisme. Adanya fenomena ini memungkinkan spesies untuk berkolonisasi dan meningkatkan keanekaragaman jenis, salah satunya arthropoda [4].
Arthropoda yang ditemukan memiliki kelimpahan paling banyak berasal dari keluarga Dolichopodidae, yaitu sebanyak 30 individu. Dolichopodidae berasal dari ordo Diptera dan merupakan salah satu kelompok arthropoda yang memiliki kemampuan recovery cukup cepat dari lingkungan yang terganggu misalnya oleh api. Keberadaan Diptera yang melimpah ini dibutuhkan untuk pemulihan hutan pasca kebakaran sehingga dapat kembali menjadi seperti hutan alaminya dahulu. Selain itu, peran Diptera sebagai dekomposer akan membantu mengubah banyaknya materi organik tanah yang ada di hutan pasca kebakaran menjadi materi-materi anorganik yang dapat menyuburkan tanah sehingga memungkinkan untuk munculnya spesies lain untuk dapat tumbuh di area tersebut [4]. Keanekaragaman komunitas arthropoda yang tinggi pada hutan pasca kebakaran Gunung Papandayan ini menunjukkan bahwa kawasan tersebut mengalami disturbansi moderat dan menjadi lingkungan yang baik untuk spesies dapat berkembang menuju kondisi kestabilan.
Daftar Pustaka
[1] Steenis, C. G. G. J. Van, Steenis-Kruseman, M. J. van. 1950. Flora Malesiana. Indonesia. Departemen Pertanian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kebun Raya Indonesia
[2] Sabarno, M. Y. 2011. Savana Baluran- Berkarya untuk Hutan Lestari. Balai Taman Nasional Baluran, Situbondo.
[3] Paoletti, M. G. 1999. Using Bioindicators Based on Biodiversity to Asses Landscape Sustainability. Journal Agriculture, Ecosystem and Environment Vol 74:1-18.
[4] Pranyoto, S., Nugraha, A., Humaira, A.A., Septianingrum, S., Firdausi, S.N., Gitarani, N., Sunaryo, P.H., Akbar, Z.A. 2017. Analisis Keanekaragaman Arthropoda Pada Hutan Alami Dan Hutan Pasca Kebakaran Tahun 2012 Di Kawasan Gunung Papandayan. Penelitian Proyek Ekologi 2017 Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati – Institut Teknologi Bandung.