Dalam beberapa tahun terakhir, multiverse atau konsep alam semesta berganda telah menjadi topik yang hangat dalam dunia riset fisika.
Topik multiverse juga sering diangkat dalam film-film layar lebar, di mana tokoh utamanya bisa melakukan perjalanan lintas dimensi yang berbeda-beda, membuat penonton penasaran. Namun, bagi para fisikawan, bukti-bukti ilmiahlah yang menjadi fokus utama. Mereka adalah orang-orang yang sangat mengandalkan bukti dalam menjawab teori-teori mengenai multiverse.
Einstein pernah mengkritik teori mekanika kuantum dari Bohr
Einstein dan Bohr.
Fisikawan adalah kelompok orang yang memiliki pola pikir kritis dan analitis. Mereka menjadi sumber dari teori alam semesta berganda atau multiverse. Hal ini memicu penulis untuk mempertanyakan apa yang membuat fisikawan keluar dari “jalur yang sangat terpaksa” ini.
Einstein pernah mengkritik teori mekanika kuantum Bohr dengan ucapan terkenalnya, “Tuhan tidak bermain dadu.” Fisika Newton mengajarkan bahwa setiap benda memiliki jalur pasti yang dapat dijelaskan dengan rumus yang tepat.
Namun, masa kejayaan tersebut tidak berlangsung lama. Fisikawan harus menghadapi kenyataan bahwa gerakan di dunia mikro memiliki sifat yang aneh, seperti konsep dualitas gelombang dan partikel atau wave-particle duality pada cahaya, yang membuat mereka terperangkap dalam kebingungan dan perdebatan yang tak berujung. Ini adalah mimpi buruk yang berlangsung terus-menerus bagi para ahli fisika.
Semua ini dimulai dengan “eksperimen celah ganda” atau double slit experiment yang terkenal itu. Dalam percobaan tersebut, seberkas cahaya monokrom ditahan oleh sebuah pembatas. Pada bidang pembatas itu dibuka dua buah celah sempit yang sejajar, agar cahaya yang menembusnya terefleksi di atas layar di belakangnya.
Dapat dibayangkan bahwa jika hanya ada satu celah sempit pada bidang penghalang, maka seharusnya cahaya terang akan terpantul pada layar di belakangnya. Namun, kenyataannya tidaklah demikian.
Jawabannya tidak sama seperti yang diperkirakan, jika pada bidang penghalang terdapat dua celah sempit, maka tidak akan terefleksi dua berkas cahaya seperti yang diharapkan.
Pada layar di belakangnya, akan terlihat pola bergaris-garis seperti zebra yang bergantian gelap dan terang. Hal ini disebabkan oleh sifat cahaya yang berupa gelombang. Ketika gelombang cahaya melewati dua celah sempit, gelombang-gelombang tersebut saling mempengaruhi satu sama lain, seperti halnya riak-riak air yang saling berinteraksi. Ada tempat di mana gelombang-gelombang tersebut saling memperkuat, tetapi di tempat lain, gelombang-gelombang tersebut saling membatalkan satu sama lain.
Pada tahun 1909, seorang ilmuwan Inggris bernama Geoffrey Taylor melakukan percobaan untuk memperlambat kecepatan pancaran cahaya
Geoffrey Taylor
Para ilmuwan telah mengetahui bahwa fenomena gelap dan terang di layar adalah hasil dari saling menguatkan dan melemahnya gelombang cahaya yang melewati dua celah sempit pada bidang penghalang. Sebagai sejenis gelombang, gangguan pada gelombang cahaya adalah hal yang tidak mengherankan. Hal ini menjadi ciri khas dari gelombang itu sendiri.
Pada tahun 1909, seorang ilmuwan Inggris bernama Geoffrey Taylor melakukan percobaan untuk memperlambat kecepatan pancaran cahaya sehingga partikel-partikel cahaya atau foton dapat dipancarkan satu per satu. Selama percobaan, ia memastikan bahwa hanya satu foton yang melewati celah sempit tersebut dan ditangkap oleh film fotosensitif yang terletak di belakangnya.
Saat satu persatu partikel foton dipancarkan pada film, terbentuk sorotan yang terganggu meskipun hanya ada satu foton yang melewati celah sebelah kiri, celah sebelah kanan, atau tidak melewati sama sekali. Pertanyaannya adalah, foton mana yang telah menimbulkan gangguan pada pola tersebut?
Satu-satunya penjelasan yang mungkin adalah bahwa satu partikel foton telah melewati celah kiri dan kanan secara bersamaan dan saling mempengaruhi. Dengan kata lain, satu partikel foton dapat muncul di tempat yang berbeda secara bersamaan, yang melanggar sifat kepastian posisi suatu benda dalam fisika konvensional.
Sebuah partikel foton yang sama dapat secara bersamaan menembus dua celah sempit
Para fisikawan telah melakukan berbagai upaya untuk mengulangi eksperimen yang sama berkali-kali, termasuk dengan menggunakan partikel mikro yang berbeda seperti elektron dan neutron. Mereka juga melakukan berbagai perbaikan pada eksperimen tersebut untuk meminimalkan kemungkinan kesalahan atau gangguan dalam pengukuran. Namun, pola gangguan yang sama tetap terlihat pada hasil pengamatan mereka, tak peduli seberapa banyak perbaikan yang telah dilakukan.
Pada tahun 1920-an, fisikawan asal Denmark bernama Niels Bohr mengajukan hipotesis bahwa partikel mikro dapat ada di beberapa posisi secara simultan untuk menjelaskan fenomena tersebut. Sebagai akibatnya, partikel foton yang sama dapat menembus dua celah sempit secara bersamaan, saling mempengaruhi dan membentuk pola bergaris. Kemudian, posisi partikel foton ini muncul dalam bentuk gelombang.
Dalam gelombang cahaya, sifatnya bersifat probabilitas, sehingga pada titik puncak di mana dua gelombang bertemu, probabilitas keberadaan foton akan menjadi lebih tinggi karena kedua probabilitas saling memperkuat. Di sisi lain, pada titik di mana puncak dan lembah gelombang bersinggungan, probabilitas munculnya foton akan berkurang karena kedua probabilitas saling mengurangi satu sama lain.
Menurut Bohr, dalam kehidupan sehari-hari posisi suatu benda sudah pasti, namun pada partikel mikro posisinya tidak dapat dipastikan. Pengamatan apapun dapat mempengaruhi sifat ketidakpastian partikel mikro sehingga posisinya dapat dipastikan. Teori ini disebut “definisi Copenhagen” dan menjelaskan hasil eksperimen celah ganda serta terverifikasi secara tepat dalam pengamatan dunia mikro lainnya. Teori ini telah teruji dan diterima sebagai konsep dasar dalam fisika modern.
Einstein kesulitan menerima teori ini dan menolaknya dengan ungkapan, “Tuhan tidak bermain dadu”. Bohr tidak ragu untuk menentang dengan mengatakan, “Jangan katakan apa yang harus dilakukan Tuhan.”
Seandainya mekanika kuantum Bohr itu benar, maka akan dapat disimpulkan bahwa fenomena “quantum entanglement” itu ada
Quantum Entanglement
Pada tahun 1935, Einstein bekerja sama dengan dua ilmuwan lainnya dan memublikasikan sebuah teori yang bertujuan untuk menentang mekanika kuantum Bohr. Teori tersebut membuktikan bahwa jika mekanika kuantum Bohr benar, maka fenomena yang disebut sebagai entanglement kuantum harus ada.
Artinya, ketika dua partikel mikro saling mendekat, mereka dapat membentuk hubungan kuantum yang saling mempengaruhi. Sebagai contoh, jika satu partikel memiliki spin “ke atas”, maka partikel yang lain akan memiliki spin “ke bawah”. Jika tidak diamati, kedua partikel akan memiliki kombinasi spin “ke atas” dan “ke bawah” secara bersamaan. Fenomena ini dikenal dengan istilah “entanglement” atau membelitnya kuantum.
Namun, jika seorang pengamat mengamati salah satu partikel dan mengetahui bahwa partikel itu berputar ke arah tertentu, maka posisi partikel lain dapat dipastikan dengan pasti, bahkan jika kedua partikel berada di jarak yang sangat jauh. Sebelum pengamatan, kedua kemungkinan putaran partikel eksis secara bersamaan. Namun setelah pengamatan, hanya satu kemungkinan yang benar-benar terjadi, sehingga ada perubahan objektif antara keadaan sebelum dan sesudah pengamatan.
Meskipun jarak antara dua partikel tersebut sangat jauh, ketika salah satu partikel diamati dan kondisinya dipastikan, kondisi partikel lainnya juga dapat dipastikan dengan waktu nol. Dalam hal ini, kecepatan sebaran efek sebab-akibatnya adalah tak terbatas besar. Einstein percaya bahwa di alam semesta, setiap objek hanya dapat memberikan dampak pada sekitar sebagian wilayahnya. Namun, efek sebab-akibat hanya dapat merambat sejauh tertentu, dengan kecepatan yang tidak dapat melebihi kecepatan cahaya.
Einstein mengambil pandangan bahwa tindakan melilitnya kuantum adalah mustahil dan disebut sebagai “aksi gaib dari jarak jauh” atau spooky action at a distance. Ia memakai pandangan ini untuk menentang teori mekanika kuantum, dengan alasan bahwa mekanika kuantum minimalnya adalah “tidak sempurna”. Setelah membaca tesis ini, Bohr menjadi sangat marah dan segera memberikan tanggapan kepada sekretarisnya. Namun, dalam proses memberikan tanggapan ini, Bohr mengubah pernyataannya berkali-kali dan tidak berhasil menemukan jawaban yang memuaskan.
Perdebatan antara Einstein dan Bohr akhirnya terselesaikan pada tahun 1972
Pada tahun 1964, fisikawan Inggris bernama John Bell menemukan sebuah pertidaksamaan yang dapat membedakan antara pandangan Einstein dan Bohr. Jika pandangan Einstein benar, pertidaksamaan ini akan terpenuhi, namun jika pandangan Bohr benar, maka pertidaksamaan ini akan dilanggar. Pada tahun 1972, Stuart Freedman dan John Clauser melakukan eksperimen yang menunjukkan bahwa data statistik lilitan kuantum bertentangan dengan rumus pertidaksamaan Bell. Hal ini membuktikan bahwa pandangan Bohr adalah yang benar.
Meskipun demikian, kesimpulan ini tidak mengurangi kebingungan para fisikawan mengenai fenomena kuantum.
Pada tahun 1935, seorang fisikawan bernama Erwin Schrödinger mengusulkan sebuah eksperimen hipotetis yang melibatkan sebuah kotak hitam yang berisi sebuah atom, sebuah saklar, sebuah botol racun, dan seekor kucing. Eksperimen ini kemudian dikenal sebagai “Kucing Schrödinger”. Dalam eksperimen ini, jika atom mengalami kegagalan, maka saklar akan aktif dan botol racun akan pecah, mengakibatkan kematian kucing di dalam kotak tersebut.
Menurut prinsip ketidakpastian mekanika kuantum, karena atom adalah partikel mikro, maka dalam eksperimen tersebut situasinya seharusnya tidak pasti. Sebelum diamati, kemungkinan kegagalan atom dan keadaan sebelum kegagalan terjadi akan eksis secara bersamaan, sehingga mengakibatkan kucing hidup dan mati secara bersamaan.
Namun, ketika seseorang membuka kotak hitam tersebut dan melihat kucing di dalamnya, menurut interpretasi Kopenhagen, status hidup atau mati kucing itu pasti terjadi. Hal ini berbeda dengan pandangan mekanika kuantum, di mana sebelum pengamatan, kucing di dalam kotak tersebut sebenarnya berada dalam dua kondisi sekaligus. Hal ini disebut sebagai “Paradoks Schrödinger” karena melanggar konsep kepastian benda makro yang sudah umum dikenal.
Pada tahun 1957, Hugh Everett, seorang mahasiswa doktoral dari Universitas Princeton, mencoba menyelesaikan paradoks Schrödinger dengan meninggalkan definisi Copenhagen. Ia berpendapat bahwa partikel mikro dan benda makro mematuhi siklus yang sama, yaitu keduanya memiliki ketidakpastian. Menurutnya, ketidakpastian pada benda makro terletak pada eksistensi banyak dimensi paralel, di mana terdapat banyak dunia yang berbeda, termasuk beberapa dunia di mana masyarakat manusia seperti kita ada, dan beberapa di mana mereka tidak ada. Sebagai contoh, jika seseorang pergi makan siang di restoran masakan Tionghoa hari ini, di dimensi lain, kemungkinan ia pergi ke restoran masakan Korea.
Telah ada petunjuk tentang kemungkinan adanya banyak lapisan realitas
Ilustrasi Realita Dunia
Percobaan terbaru yang merupakan upgrade dari eksperimen celah ganda juga mendukung asumsi ini. Percobaan ini menggunakan partikel yang lebih besar daripada foton, yaitu molekul yang terdiri dari 60 atom karbon yang membentuk struktur bulat atau bucky ball. Hasil percobaan ini juga menunjukkan pola yang terganggu dan menunjukkan bahwa posisi molekul memiliki ketidakpastian. Dari awal, ketika Bohr memperkenalkan konsep gelombang probabilitas, telah ada petunjuk tentang kemungkinan adanya banyak lapisan realitas. Menurut teori probabilitas, setiap kemungkinan dalam ruang contoh adalah suatu realitas yang berbeda.
Mekanika kuantum menjadi semakin misterius seiring berjalannya waktu, tidak semakin mudah dipahami. Probabilitas menjadi kunci utama untuk memahami mekanika kuantum, dan ini tidak dapat dihindari bahwa pembicaraan tentang probabilitas juga membicarakan tentang “ruang contoh” yang berbeda. Ruang contoh ini adalah realitas dalam versi yang berbeda. Tidak hanya itu, pemahaman tradisional tentang waktu juga berbeda dalam mekanika kuantum, yang membuat mekanika kuantum semakin menarik dan membingungkan.
Menurut pandangan fisikawan modern, waktu dan ruang eksis secara simultan di masa lalu, kini, dan di masa depan, dan kemungkinan adanya perputaran waktu tidak dapat diabaikan. Fenomena fisika modern menunjukkan bahwa substansi materi terdiri dari partikel-partikel kecil dan jumlahnya semakin mengecil. Sebaliknya, dunia kita semakin kompleks dan semakin mirip dengan sistem informasi besar.
Seorang profesor ilmu fisika dari Columbia University bernama Brian Greene, dalam film dokumenter ilmiahnya yang populer berjudul “The Fabric of the Cosmos“, menyatakan bahwa
“Contohnya adalah diri saya, yang terlihat sangat nyata. Namun, bukti-bukti baru yang mengejutkan menunjukkan bahwa kita semua, termasuk dimensi di sekitar kita, mungkin hanyalah bayangan hologram semata. (SUD/WHS/asr)
Referensi
Gramedia, https://www.gramedia.com/literasi/multiverse/ Diakses pada 10 Maret, 2023.
BBC, https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-59977502 Diakses pada 10 Maret, 2023.
Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Fisika Diakses pada 10 Maret, 2023.