Menyandang predikat negara megabiodiversitas adalah salah satu bukti Indonesia begitu istimewa. Dengan predikat tersebut, tidaklah mengherankan kalau keanekaragaman hayati kita sangatlah kaya mulai dari tingkat jenis seperti tumbuhan, hewan, dan jamur sampai tingkat ekosistem. Termasuk di dalamnya hidup beragam jenis burung yang tersebar dari penjuru Sabang sampai penghujung Merauke. Tak ayal lagi kalau negara kita nangkring empat besar klasemen dunia untuk total jenis burung terbanyak. Menempati urutan keempat, masih kalah jumlah dibanding tiga negara Amerika Latin yaitu Kolombia, Peru, dan Brazil. Walaupun demikian, Indonesia bercokol sebagai capolista jika dihitung total jenis endemik. Sebanyak 527 jenis burung secara alami hanya dijumpai di wilayah negara kita sendiri menjadi yang tertinggi di dunia.
Melihat tren total jenis burung dari tahun ke tahun selalu bertambah, kemungkinan Indonesia naik tangga klasemen masih terbuka lebar. The Birds of Indonesia: A checklist (Peters’ Sequence) terbitan KUKILA Checklist no. 1 yang disusun oleh Paul Andrew tahun 1992—catatan pertama yang memuat daftar komprehensif total jenis burung—terdaftar 1551 jenis. Berselang 15 tahun, tahun 2007, total jenis bertambah menjadi 1598, termuat dalam Daftar Burung Indonesia no. 2 yang disusun oleh IdOU (Indonesian Ornithologists’ Union). Dewasa ini, total jenis menunjukan grafik naik setiap tahun lewat laporan NGO Burung Indonesia. Tren naik bisa dilihat dari tahun 2015 terbilang 1672 jenis, bertambah 1769 di tahun 2017, merangkak sedikit di tahun 2018 menjadi 1771 jenis. Dua tahun terakhir, tahun 2019 sebanyak 1777 jenis bertambah menjadi 1794 di tahun 2020. Jika dihitung terdapat selisih 243 jenis dalam kurun waktu 28 tahun, sehingga disimplifikasikan total jenis burung bertambah sekitar 8,7 jenis/tahun.
Lantas, timbul pertanyaan kok bisa angka tersebut tiap tahun bertambah? Apa sebabnya?
Sebab pertama, penemuan jenis baru (new spesies).
Ernst Mayr, ornitolog cum filsuf biologi kenamaan Jerman, tahun 1946, pernah menulis, “Periode penemuan jenis baru sudah berakhir”, seiring waktu, pernyataannya kurang tepat. Kurang lebih 4000 taksa baru burung (jenis dan anak jenis) di kepulauan Indonesia berhasil dideskripsikan sejak tahun 1758 sampai 1944 oleh para ornitolog kaliber internasional—orang paling terakhir Ernst Mayr (1946-2005). Pasca Mayr, ornitolog kontemporer belum kehabisan taksa baru, terbukti jenis-jenis baru masih bermunculan terutama dari kawasan Wallacea—gugusan pulau yang terbentang dari Nusa Tenggara, Sulawesi, sampai paling timur Maluku.
Mutakhir, awal tahun 2020, lewat ekspedisi ilmiah selama enam bulan dari akhir tahun 2013 sampai awal tahun 2014 di tiga pulau meliputi Togian, Peleng dan Taliabu, kelompok peneliti dari National University of Singapore dan LIPI berhasil mendeskripsikan 5 jenis burung baru. Tiga jenis diantaranya bernama ilmiah unik, Rhipidura habibiei, Phylloscopus emilsalimi, dan Phylloscopus suaramerdu. Dua jenis awal diberikan sebagai penghargaan kepada Prof. B. J. Habibie dan Prof. Emil Salim atas jasa beliau-beliau dalam melestarikan lingkungan, sedangkan jenis terakhir sesuai namanya memiliki kicauan indah. Belum ditambah penemuan jenis baru tahun 2019 ke belakang yang tentunya semakin memperpanjang daftar burung Indonesia.
Jenis baru (new spesies) dimaksudkan jenis yang belum memiliki deskripsi ilmiah bukan jenis baru revisian taksa anak jenis (subspesies). Benar-benar temuan baru, berbeda dari jenis yang telah ada, dibuktikan secara sahih melalui telaah ilmiah komprehensif mencakup morfologi, bioakustik (suara), tipe habitat, dimungkinkan juga sampai tingkat molekuler. Semakin lengkap, rinci dan mencolok telaah temuan baru, semakin jelas sebagai bukti pembeda sehingga layak ditahbiskan sebagai jenis baru.
Anugerah sebagai negara kepulauan terbesar dengan gugusan pulau yang begitu banyak, tidak menutup peluang jenis-jenis baru masih bisa ditemukan. Menukil penyataaan ornitolog perempuan LIPI, Dewi M. Prawiradilaga, dari mongabay.co.id, “Indonesia yang luas, belum seluruhnya ia datangi”. Yang perlu diketahui nama belakangnya diabadikan sebagai nama ilmiah burung Myzomela—sejenis burung penghisap nektar—endemik pulau Alor, Myzomela prawiradilagae, termasuk jenis baru tahun 2019.
Sebab kedua, perubahan taksa dari anak jenis (subspecies) menjadi jenis (species).
Jenis burung terdiri anak jenis yang tersebar luas sering mengalami perubahan taksa lewat pembatasan jenis (spesies limit). Anak jenis dari suatu jenis polytypic yang memenuhi syarat akan dipecah menjadi jenis sendiri (split). Pembatasan jenis ini harus dibuktikan dengan banyak data pembeda yang saling mendukung mencakup morfologi, bioakustik, dan genetik molekuler sehingga layak ditasbihkan menjadi jenis baru. Bisa ditengok, perubahan kedua anak jenis (ras) Jalak Putih Acridotheres melanopterus dipecah menjadi jenis sendiri, masing-masing Jalak Putih-Blambangan Acridotheres tricolor dan Jalak Putih-Bali Acridotheres tertius. Jalak Putih sebelumnya memiliki tiga anak jenis yang tersebar secara terpisah yaitu ras melanopterus di Jawa bagian Barat, ras tricolor Jawa bagian Timur , dan ras tertius di Bali.
Sebab ketiga, perjumpaan jenis baru (new record).
Kelompok burung yang berbiak di daerah subtropis mempunyai siklus hidup migrasi ke daerah tropis ketika musim dingin. Burung-burung pengembara ini memiliki jalur terbang yang tetap, namun sebab suatu hal entah badai atau liyan menjadikannya ‘tersesat’ atau keluar jalur. Fenomena burung ‘tersesat’ inilah yang disebut vagrant, tentunya akan menambah total jenis. Jenis-jenis vagrant kebanyakan burung pantai seperti Kedidi Paruh-sendok (Calidris pygmaea), Kedidir Erasia (Haematopus ostralegus), dan Trinil-lumpur Paruh-lengkung (Recurvirostra avosetta) yang menjadi jenis perjumpaan baru untuk Indonesia. Melihat garis pantai negara kita sepanjang 99 kilometer, daftar jenis perjumpaan baru akan terus menanti. Sebab ketiga ini tidak perlu menunggu para ahli burung, orang awam seperti kita pun bisa punya andil lewat mengamati burung sekitar.
Akan tetapi?
Total jenis burung semakin bertambah, namun di sisi lain, jumlah jenis burung yang terancam punah ikut bertambah. Dua sebab utamanya karena ulah kita sendiri yaitu perburuan liar dan kehilangan habitat. Jika kita tidak lekas sadar untuk menjaga bersama, pertambahan jenis itu tidaklah ada artinya. Ketika jenis-jenis yang baru ditemukan, jenis-jenis yang telah ada berpotensi hilang satu per satu dari Indonesia. Sayang sekali, bukan?
Referensi
www.burung.org
www.mongabay.co.id
Sukmantoro W., M. Irham, W. Novarino, F. Hasudungan, N. Kemp & M. Muchtar. (2007). Daftar Burung Indonesia no. 2. Indonesian Ornithologists’ Union, Bogor.
Soemadikarta, S. (2006). Jangan tertinggal…..,baca!!! melacak kepustakaan ornitologi Kepulauan Indo-Australia 1945-2004. Dalam Enam Dasawarsa ilmu dan ilmuwan Indonesia. Naturindo, Bogor.
Frank E. Rheindt, Dewi M. Prawiradilaga, Hidayat Ashari, Suparno, Chyi Yin Gwee, Geraldine W. X. Lee, Meng Yue Wu, Nathaniel S. R. Ng. (2020). A lost world in Wallacea: Description of a montane archipelagic avifauna. Science, 367, 167–170.
Sangster, G. (2018). Integrative taxonomy of birds: the nature and delimitation of species. dalam Bird Species (pp. 9-37). Springer, Cham.
Handbook of the Birds of the World and BirdLife International digital checklist of the birds of the world: Version 4 (Desember 2019).
Top mas adit
Nyaman dikecap, mudah dicerna. Tetap semangat, Emiliana!