Pemanfaatan CO2 menjadi berbagai produk yang bernilai tinggi masih terus dikembangkan oleh para ilmuwan. Penelitian-penelitian sebelumnya telah berhasil mengkonversi CO2 menjadi metanol, bahan-bahan organik dan plastik. Tetapi, proses tersebut memiliki konversi yang rendah sehingga tidak terlalu efektif dalam pemanfaatan CO2. Saat ini, CO2 dapat dikonversi menjadi listrik menggunakan baterai logam-CO2. Namun permasalahan dalam pengembangan baterai logam-CO2 adalah ketika proses charge terbentuk kembali CO2 sehingga tidak mengurangi emisi CO2 dan membentuk deposit logam karbonat ketika proses discharge[1].
Pada bulan November 2018, para peneliti dari Ulsan National Institute of Science and Technology (UNIST) telah mengembangkan baterai logam-CO2 dimana logam yang digunakan adalah natrium (Na). Baterai Na-CO2 tersebut mampu menghasilkan dan menyimpan listrik serta memproduksi hidrogen dengan efisiensi yang tinggi. Logam Na dipilih karena lebih melimpah dibandingkan dengan litium dan harganya 30 kali lebih murah[2]. Anoda Na dimasukkan ke dalam elektrolit organik untuk mencegah korosi secara langsung dari elektrolit aqueous yang dipisahkan oleh membran Na super ionic conductor (NASICON). Katoda yang digunakan adalah karbon felt yang direndam dalam elektrolit aqueous dan gas CO2 dialirkan ke ruang katoda. Elektrolit aqueous yang digunakan adalah larutan NaOH dan air laut. Skema dan reaksi yang terjadi pada baterai Na-CO2 ditunjukkan oleh Gambar 1.
Gambar 1. Skema dan reaksi yang terjadi pada baterai Na-CO2[2]
Ketika CO2 dialirkan ke dalam elektrolit aqueous, CO2 akan larut dan asam karbonat (H2CO3) akan terbentuk. H2CO3 akan terdisosiasi menjadi HCO3– dan H+ (reaksi 1). Selain itu, HCO3– akan terdisosiasi menjadi CO32-dan H+ (reaksi 2)[2]. Namun karena konstanta disosiasi reaksi pertama lebih besar dari konstanta disosiasi reaksi 2, maka reaksi 2 dapat diabaikan dalam perhitungan konsentrasi proton. Ketika CO2 dilarutkan ke dalam elektrolit aqueous, terjadi proses pengasaman sehingga ion HCO3– lebih dominan daripada ion CO32-.
Reaksi disosiasi H2CO3 dan HCO3-[2]
Reaksi elektrokimia yang terjadi pada baterai Na-CO2 adalah logam Na akan teroksidasi menjadi Na+ dan reaksi reduksi yang terjadi adalah ion H+ menjadi gas hidrogen (H2). Ion Na+ akan menuju katoda melalui NASICON. Kelarutan CO2 dalam air laut mampu mengarahkan pembentukan gas hidrogen melalui hydrogen evolution reaction (HER) pada baterai Na-CO2.
Reaksi elektrokimia baterai Na-CO2[2]
Uji kinerja baterai Na-CO2 dilakukan pada elektrolit NaOH dan air laut. Discharge baterai Na-CO2 pada elektrolit NaOH stabil selama 1000 jam meskipun ada proses penggantian anoda Na dan pada elektrolit air laut stabil selama 500 jam[2]. Selain itu, tidak ada deposisi produk padat natrium karbonat yang dapat menyebabkan kerusakan pada katoda sebagaimana halnya pada baterai logam-CO2 konvensional. Hal itu dibuktikan dengan hasil SEM katoda sebelum dan sesudah discharge menggunakan elektrolit NaOH dan air laut. Gas yang dihasilkan selama proses discharge adalah gas hidrogen yang dibuktikan oleh hasil analisis gas chromatography (GC). Disisi lain, produk yang dihasilkan adalah larutan NaHCO3 yang tidak mempengaruhi kinerja baterai Na-CO2. Maka, baterai Na-CO2 berhasil mengkonversi gas CO2 menjadi baking soda. Efisiensi konversi CO2 selama reaksi discharge sebesar 47,7%[2].
Gambar 2. (a) Profil discharge baterai Na-CO2 dalam elektrolit air laut dan NaOH (b) Hasil SEM katoda sebelum dan sesudah discharge[2]
Proses charge baterai Na-CO2 dilakukan untuk memastikan apakah terbentuk kembali gas CO2 atau tidak. Selama proses discharge, gas hidrogen secara natural akan terpisah dari katoda sehingga ketika proses charge, reaktan yang teroksidasi adalah air menghasilkan gas oksigen dan ion H+. Ion Na+ dari elektrolit air laut atau NaOH akan menuju anoda untuk pembentukan logam Na kembali. Selain itu, baterai Na-CO2 tidak memproduksi kembali CO2 saat proses charging sehingga baterai tersebut dapat berfungsi sebagai carbon capture, utilization, and storage/sequestration (CCUS) technology. Profil dan siklik charge-discharge baterai Na-CO2 dengan elektrolit air laut dan NaOH selama 700 jam menunjukkan bahwa gas hidrogen tetap terproduksi dan katoda tidak mengalami kerusakan karena adanya deposit logam karbonat selama proses charge-discharge[2].
Gambar 3. (a) Profil charge-discharge baterai Na-CO2 dalam elektrolit NaOH dan air laut (b) Siklik charge-discharge baterai Na-CO2[2]
Baterai Na-CO2 mampu melakukan proses charge tanpa memproduksi kembali CO2 dan mampu memproduksi gas hidrogen yang merupakan bahan bakar yang ramah lingkungan. Gas hidrogen yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan bakar kendaraan fuel cell, bahan baku pembuatan bahan kimia dan lain-lain. Professor Kim, salah satu peneliti dalam penelitian ini, mengatakan bahwa kemudahan dalam mengkonversi CO2 menjadi bahan kimia lainnya adalah kunci dari teknologi pemanfaatan CO2. Beliau pun menambahkan bahwa baterai Na-CO2 dapat lebih efektif menghasilkan listrik dan gas hidrogen ketika elektrolit, separator, desain sistem dan elektroda ditingkatkan kinerjanya[3].
Referensi
[1] Yusupandi, F. 2018. Nanokarbon dan Logam Mulia Membuat Baterai Li-CO2 Dapat Diisi Ulang. Diakses dari : https://warstek.com/2018/12/21/lico2/ pada 1 Februari 2019
[2] Kim, C., Kim, J., Joo, S., Bu, Y., Liu, M., Cho, J dan Kim, G. 2018. Efficient CO2 Utilization Via A Hybrid Na-CO2 System Based on CO2 Dissolution. Cell Press, 278-285
[3] Ulsan National Institute of Science and Technology. 2019. Scientist Turn Carbon Emissions into Usable Energy. Diakses dari : https://phys.org/news/2019-01-scientists-carbon-emissions-usable-energy.html pada 1 Februari 2019
Mahasiswa S2 Teknik Kimia ITB