“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Dia tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda kebesaran-Nya kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S Yunus: 5)
Mengapa hasil rukyatul hilal yang ditetapkan oleh pemerintah bisa terjadi secara bersamaan atau terkadang berbeda dengan proses hasil hitung (hisab) yang dilakukan oleh Muhammadiyah?
Pada masa Nabi Muhammad SAW penentuan waktu didasarkan pada bentuknya bulan, tampaknya hal ini dikarenakan oleh kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan fase bulan. Cara untuk menentukan datangnya bulan baru bisa terbilang sederhana yaitu dengan melihat hilal pada waktu maghrib. Dikarenakan dalam sistem penanggalan hijriah, perhitungan hari dimulai saat matahari tenggelam, maka di hari ke-29 dilakukanlah proses pengamatan langit. Terlihat hilal atau tidak, jika tidak maka jumlah hari di bulan itu digenapkan menjadi 30 hari.

Penanggalan hijriah didasarkan atas peredaran bulan mengelilingi bumi atau revolusi bulan. Khususnya periode sinodis bulan, yaitu waktu yang diperlukan bulan untuk kembali ke bentuk semula. Setiap bulan diawali dengan kemunculan hilal atau bulan sabit muda pertama di langit barat dan juga diakhiri dengan kemunculan hilal. Secara astronomis, periode sinodis bulan adalah 29 hari 44 menit 2,8 detik atau 29,53 hari sehingga untuk menentukan esok hari ada dua pilihan yaitu 29 hari atau digenapkan menjadi 30 hari, bergantung dari kondisi hilal saat dilihat (rukyat).
Dari pembacaan fase wajah bulan itu lahirlah metode yang dikenal sebagai “rukyatul hilal”. Rukyat yang artinya melihat, hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati saat maghrib. Upaya pengamatan ini dapat dilakukan dengan mata langsung atau dengan alat bantu optik. Pengamatan ini tentu bukan sesuatu yang mudah apalagi saat cuaca mendung. Hal ini dikarenakan hanya 1,25% saja permukaan bulan yang terpapar matahari saat terbenam.

Cakrawala sebagai garis di sudut bawah, hilal sebagai titik di sudut atas dan matahari sebagai titik di sudut bawah. Bulan dan cakrawala disebut sebagai sudut azimut. Bulan dan matahari disebut sebagai sudut elongasi. Untuk dapat terlihat, minimal hilal harus berada pada sudut azimut lebih besar dari 2 derajat dari matahari atau berada diatas matahari. Jika kurang dari itu, maka posisi bulan dari bumi akan terlihat sejajar dengan matahari sehingga hilalnya akan ikut tenggelam saat langit sudah gelap. Posisi ini dikenal dengan nama konjungsi (ijtimak) yaitu posisi saat bumi, bulan dan matahari berada dalam satu garis lurus. LAPAN dan tim falakiyah Kemenag RI menetapkan kriteria imkan rukyat sebesar “2-3-8” yang artinya tinggi bulan minimal 2 derajat, jarak sudut elongasi 3 derajat dan umur bulan minimal 8 jam.
Dimasa sekarang, pengamatan hilal dibantu dengan teleskop canggih dan binokuler. Fungsi dari alat ini adalah untuk memperbanyak cahaya, dikumpulkan dan difokuskan ke mata pengamat. Pengamat LAPAN juga menggunakan teknologi kamera Charged-Coupled Device (CCD) yang prosesnya dibantu komputer pengolah citra dan kontrasnya dapat diperjelas.
Apa itu Hisab?
Hisab secara harafiah bermakna perhitungan. Istilahnya sering dipakai dalam ilmu astronomi untuk “memperkirakan” posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Metode ini terbilang punya akurasi dan presisi yang baik. Dengan alasan inilah metode ini juga banyak dipakai. Disisi lain ada pendapat yang menganggap penggunaan hisab murni (dalam kasus penentuan ramadhan) dinilai sebagai bid’ah jika tidak disertai dengan rukyatul hilal.
Dalam penelusuran literatur, dikatakan bahwa hisab ‘urfi memiliki beberapa kelemahan karena tidak didasarkan gerak faktual bulan. Disamping itu juga karena ketidaksesuaian dengan sunah Nabi Muhammad SAW, yang mana diceritakan bahwa Nabi kadang berpuasa selama 29 hari kadang 30 hari. Sedangkan, jika melihat aturan hisab ‘urfi maka usia bulan ramadhan akan selalu 30 hari karena bulan ramadhan berada pada urutan bulan ganjil, sehingga hal ini mungkin menjadi dasar kurang layak untuk dijadikan patokan. Tapi, ada juga yang memaknai bahwa “melihat hilal” dipahami tidak harus dengan mata langsung tetapi juga bisa menggunakan ilmu. Dengan hisab , posisi hilal diprediksi ada “disana” sekalipun ia tidak terlihat.
Selain hisab ‘urfi, ada juga hisab lain yang disebut hisab taqribi (mengukur ketinggian bulan dari umur bulan) dan hisab hakiki (mengukur posisi bulan sesungguhnya). Terhadap matahari, gerak bulan terlambat sebesar 12 derajat busur per-hari. Ini berarti ia tertinggal 1/2 derajat busur setiap jam. Maka tinggi bulan ditaksir 1/2 umur bulan.
Misalnya (12o / 24 jam) x usia bulan, jika konjungsi atau ijtimak terjadi pukul 13.00 dan maghrib pukul 18.00, maka umur bulan adalah 5 jam. Oleh karena itu, (12o / 24 jam) x 5 jam = 2,5o. Metode ini adalah gambaran untuk menggunakan pendekatan rasional. Melihat pola, membacanya lalu menyusun prediksi-prediksinya. Sedangkan rukyat adalah metode teknis empirik yang real-time.
Dalam mencari titik temu, masing-masing pihak perlu keterbukaan untuk menerima konsep lain tanpa merasa menang atau kalah. Karena dalam astronomi kedudukan dua metode ini dianggap setara dan bisa saling menggantikan. Pada akhirnya, seperti yang sudah dijalankan oleh pemerintah Indonesia yang menggabungkan dua metode ini secara bersamaan secara rasional dengan hisab dan empiris dengan rukyat yang berjalan beriringan.
Mohon maaf lahir dan batin 🙏.
Sumber:
- https://warstek.com/bagaimana-proses-metode-rukyat-dan-hisab-dalam-penentuan-awal-bulan-hijriah-dilakukan/ diakses pada 24 Juli 2021.
- https://tirto.id/memahami-rukyat-dan-hisab-untuk-menentukan-1-ramadan-coNg diakses pada 24 Juli 2021.
- https://tdjamaluddin.wordpress.com/2013/08/05/peran-astronomi-dalam-penyatuan-penetapan-awal-bulan-qamariyah/ diakses pada 24 Juli 2021.
- https://id.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_rukyat diakses pada 24 Juli 2021.