Ringkasan
Saat seseorang marah,maka detak jantung, ketegangan pembuluh darah, dan produksi hormon steroid meningkat, kortisol (hormon stres) menurun, dan belahan otak kiri menjadi lebih terstimulasi. Hal ini didasarkan pada penelitian dari ilmuwan University of Valencia (UV) yang menganalisis perubahan respons aktivasi kardiovaskular, hormonal, dan asimetris otak saat manusia marah. Diterbitkan di jurnal Hormones and Behavior dengan judul “What happens when we get angry? Hormonal, cardiovascular and asymmetrical brain responses“. Lebih lengkapnya, dalam paper tersebut dijelaskan juga bahwa kemarahan menghasilkan perubahan besar pada sistem saraf otonom, yang mengontrol respon kardiovaskular, dan juga pada sistem endokrin. Selain itu, perubahan aktivitas otak juga terjadi, terutama pada lobus frontal dan temporal.
Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan banyaknya Ibu-ibu yang marah dan mengumpat. Banyak video yang beredar tentang kemarahan tersebut bahkan videonya telah menjadi viral. Ada yang marah karena barang yang dipesan tidak sesuai ekspektasi dan ada yang marah karena diminta putar balik akibat kebijakan pemerintah terkait larangan mudik. Terdapat pertanyaan yang menarik jika kita melihat fenomena tersebut dari sudut pandang sains, sebenarnya bagaimana sih sains memandang kemarahan?
Jawabannya ada di paper berjudul “What happens when we get angry? Hormonal, cardiovascular and asymmetrical brain responses” yang terbit di jurnal Hormones and Behavior.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian tersebut cukup unik. Tim peneliti memicu kemarahan pada 30 laki-laki (usia rata-rata 23 tahun) dengan menggunakan prosedur “Induksi Kemarahan” (Anger Induction), yang terdiri dari 50 frasa yang mencerminkan situasi sehari-hari dan memicu kemarahan secara bertahap. Sebelum dan segera setelah timbulnya kemarahan, ilmuwan mengukur detak jantung dan tekanan pembuluh darah, kadar hormon steroid (testosteron) dan kortisol, aktivitas otak, serta menanyakan kondisi pikiran responden.
50 frase Induksi Kemarahan diberikan secara bertahap dari frase suasana hati yang relatif netral seperti “Hari ini tidak berbeda dari hari yang lain” ke suasana yang sangat marah seperti “Saya bisa merasakan tubuh saya tegang karena marah”, ” Saya merasa ingin menyerang seseorang yang telah membuat saya marah ”,“ Saya diliputi oleh kebencian ”, dll yang berkonotasi mudah tersinggung, permusuhan, dan amarah.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kemarahan memicu perubahan besar dalam kondisi pikiran responden, responden merasa marah dan memiliki kondisi pikiran yang negatif. Selain itu juga mengalami perubahan dalam parameter psikobiologis yakni ada peningkatan denyut jantung, ketegangan pembuluh darah (arteri) dan testosteron, tetapi kadar kortisol (hormon stress) menurun.
Pemantauan Aktivitas Otak
Peneliti juga memantau aktivitas otak dari responden yang marah dengan berfokus pada aktivitas otak asimetris lobus frontal, dan didapatkan ada dua model emosi yang bertentangan dengan kasus kemarahan.
Model pertama, ‘valensi emosional’, menunjukkan bahwa wilayah lobus frontal di otak kiri terlibat dalam mengalami emosi positif, sedangkan di otak kanan lebih terkait dengan emosi negatif.
Model kedua, ‘arah motivasi’, menunjukkan bahwa wilayah lobus frontal otak kiri terlibat dalam mengalami emosi yang berkaitan dengan kedekatan, sedangkan di otak kanan kanan dikaitkan dengan emosi yang memancing penarikan diri.
Emosi positif seperti kebahagiaan biasanya dikaitkan dengan model kedua yang memicu kedekatan, sedangkan emosi negatif seperti ketakutan dan kesediha nmemicu motivasi penarikan diri.
Namun, kemarahan tidak masuk dalam kedua model emosi tersebut. Fenomena marah termasuk unik karena dialami sebagai hal yang negatif, tetapi sering kali menimbulkan motivasi kedekatan.
Saat mengalami kemarahan, ilmuwan mengamati terjadinya peningkatan aktivitas telinga kanan yang menunjukkan aktivasi yang lebih besar dari otak belahan kiri dan mendukung model arah motivasi. Dengan kata lain, ketika kita marah maka respon otak kita menunjukkan motivasi kedekatan dengan rangsangan yang menyebabkan kita marah, bukan karena otak menganggap bahwa rangsangan ini sebagai negatif. Misalnya ketika kita marah karena hewan peliharaan kita dilukai orang, kemarahan membuat kita merasakan kedekatan dengan hewan peliharaan.
Motivasi dan Penelitian ke Depan
Penelitian yang terbit di tahun 2010 ini adalah penelitian pertama tentang kemarahan yang memeriksa semua parameter psikobiologis (kardiovaskular, respons hormonal, dan respons aktivitas otak). Hingga artikel ini dibuat, penelitian tersebut telah dikutip sebanyak 60 kali. Bagaimana pembaca Warstek, tidak kah kalian tertarik untuk meneliti lebih lanjut dengan responden orang Indonesia? Siapa tahu didapatkan hasil yang menarik dan unik tentang karakter marah orang Indonesia.
Referensi:
- Herrero, N., Gadea, M., Rodríguez-Alarcón, G., Espert, R., & Salvador, A. (2010). What happens when we get angry? Hormonal, cardiovascular and asymmetrical brain responses. Hormones and behavior, 57(3), 276-283.
- https://www.sciencedaily.com/releases/2010/05/100531082603.htm diakses 17 Mei 2021.