Ditulis oleh Ummi Makhalina – Universitas Gadjah Mada
YOGYAKARTA DAN JAKARTA, dua provinsi besar dari sekian puluh provinsi di tanah air kita, Indonesia.
YOGYAKARTA berhati nyaman, begitulah slogan yang membanjiri sudut-sudut daerahnya. Daerah yang kental akan budaya Jawa dan destinasi wisatanya ini, juga dikenal sebagai kota pelajar. Mendapatkan kesempatan menimba ilmu di kota ini, yaitu di Jurusan Matematika Universitas Gadjah Mada, adalah sebuah kenikmatan luar biasa bagi saya.
Tidak begitu sulit berkehidupan di Yogyakarta. Hanya dengan uang lima ribu rupiah saja bisa mengisi perut yang lapar. Biaya hidup di Yogyakarta dan Kudus, kota asal saya, tidak berbeda jauh. Begitu juga dengan karakter masyarakatnya. Oleh karena itu, bukanlah hal sulit beradaptasi disini. Hingga suatu ketika, di semester ke–8, datanglah tawaran magang dari salah satu perusahaan asuransi jiwa terbesar di Indonesia, PT AIA Financial, yang berlokasi di JAKARTA. Sempat ada rasa bimbang. Di samping skripsi yang harus dikerjakan secara Long Distance Relationship (LDR) dengan dosen pembimbing, menjadi satu-satunya mahasiswa magang tanpa ada satu pun kenalan di Jakarta, biaya hidup yang tak murah dan berbagai kasus tak bersahabat yang kerap diberitakan terjadi di Jakarta, juga menjadi pertimbangan tersendiri sebelumnya.
30 Januari 2017. Pada tanggal tersebut magang dimulai, juga waktu dimana versi terbaru Ummi Makhalina mulai terbentuk.
Sengaja memilih kos yang tak jauh dari kantor, setiap harinya saya hanya perlu berjalan kaki dan memanfaatkan jembatan penyeberangan. Hanya dibutuhkan 15 menit.
Pemandangan yang kerap mengisi mata saya setiap pagi, utamanya di jembatan, yaitu pengemis, pengamen, dan pedagang minuman keliling yang menggendong dagangannya. Tak jarang juga berpapasan dengan tukang bangunan yang (maaf) pakaian beliau sedikit lusuh, jelas terlihat noda di beberapa sisi bajunya. Noda lumpur dan semen. Beliau, para laki-laki yang kebanyakan berusia di bawah saya, yang sepantasnya saya panggil “Dik”.
Sesampainya di kantor, seketika berubah. Para pegawai dengan baju bersih, tas dan sepatu mewah, tidak hanya itu, mobil dan gadget yang juga mewah menghiasi mata saya.
11 jam. Itulah rata-rata waktu yang pegawai habiskan di kantor setiap harinya. Selama itu pula, saya belajar dan diajarkan banyak hal. Berbagai istilah dan konsep asuransi saya lahap. Mulai dari pengertian dasar hingga yang lebih rumit, alur tes produk asuransi secara detail. Selain pengetahuan, personality improvement juga saya dapatkan disini.
Sesekali berpapasan di toilet dengan seorang wanita petugas janitor, usianya tak beda jauh dengan saya. Pemandangan yang tak biasa, bahkan tak pernah saya temukan secara langsung di kampus. Beliau membawa kantong plastik besar berisikan tisu-tisu bekas pakai yang dikumpulkannya dari tempat sampah toilet, serta memakai sarung tangan yang menjaganya dari kuman saat membersihkan kloset. Sedangkan saya, duduk manis di depan komputer, berpakaian bersih, dengan bedak dan gincu yang masih merah. Bahkan tak berkeringat.
Dibandingan dengan… Suatu ketika, dalam sebuah perayaan, dimana saya salah satu tamu yang turut diundang, makan siang di salah satu tempat makan. Hanya berempat. Namun, nota makan bertuliskan delapan ratus ribu rupiah. Sekali lagi. Delapan ratus ribu rupiah hanya untuk empat orang. Rasa bersalah, itu yang ada dibenak saya. Delapan ratus ribu rupiah itu mungkin akan sangat berharga bagi tukang bangunan tadi, atau bagi petugas janitor, atau pedagang minuman keliling.
Miris. Merasa tak tahan, ingin rasanya kembali ke Yogyakarta sejenak saja untuk menyegarkan kembali pikiran dan perasaan.
Datanglah kesempatan itu. Saya mendapat undangan untuk melaksanakan presentasi bersama tim saya pada Kolokium Matematika Terapan di Yogyakarta pada 7 April 2017 lalu, yang merupakan tindak lanjut dari Stochastic Competition yang diikuti oleh tim saya. Riset tersebut bertemakan Yogya Parking Lot Problem, yang mengacu pada proses stokastik dan erlang loss system pada teori antrian.
Kesempatan 3 hari di Yogyakarta benar-benar saya manfaatkan untuk menyegarkan pikiran, di samping melanjutkan skripsi yang sempat tersendat. Berkumpul dengan teman, adalah cara ampuh yang saya pilih. Dan benar, berhasil. Pikiran jernih kembali setiba saya di Jakarta lagi dan melihat hal ini dari sudut pandang yang lain, yang lebih positif, yakni BERSYUKUR.
Melihat ini…
Sebagai umat, mensyukuri adalah cara terbaik untuk menghadapi, apapun.
Sebagai warga negara, saya katakan, inilah KESENJANGAN.
Contoh kecil ini masih dalam satu pulau yang sama. Bagaimana dengan keadaan pulau-pulau (kecil) lainnya? Apapun jawabannya, tanah ini tetap Indonesia ku, Indonesia kita.
Tentang berpartisipasi membangun negeri, jawaban saya, dengan se’sepele’ apapun kontribusi. Sebagai contoh, dengan membeli produk dalam negeri. Seperti apa maksudnya? Tidak sulit, membeli minuman yang dijual oleh pedagang keliling, membeli sembako ke warung kelontong di sebelah rumah agar lebih menghidupkan usaha kecil menengah, juga sama saja turut membukakan pintu rejeki saudara kita, bukan? Masih susah? Tebarlah senyuman.
Warung Sains Teknologi (Warstek) adalah media SAINS POPULER yang dibuat untuk seluruh masyarakat Indonesia baik kalangan akademisi, masyarakat sipil, atau industri.