Stigma Gangguan Kesehatan Mental di Indonesia: Sampai Kapan Jin yang Disalahkan?

Ditulis oleh Rima Hariati Bayangkan suatu hari kamu bertemu dengan seorang anak yang melakukan self-injury—melukai bagian tubuh dengan sengaja. Kamu […]

blank

Ditulis oleh Rima Hariati

Bayangkan suatu hari kamu bertemu dengan seorang anak yang melakukan self-injurymelukai bagian tubuh dengan sengaja. Kamu kemudian merekomendasikan kepada orang-orang terdekatnya untuk membawanya bertemu dengan profesional terkait, seperti Psikiater atau Psikolog. Namun, respon yang mereka berikan adalahMungkin karena gangguan jin”. Bagaimana perasaanmu? Padahal, coba saja ketikkan kalimatself injury pada remaja’ di kolom pencarian google, pasti kamu akan menemukan banyak artikel psikologi ataupun artikel medis yang sudah membahasnya, baik itu tentang faktor penyebab, penanganan dan hubungannya dengan gangguan kecemasan atau gangguan kesehatan mental lainnya.

Kenapa orang masih enggan untuk berkonsultasi ke Psikiater atau Psikolog? Bagaimana jika kasus seperti di paragraf sebelumnya berkaitan dengan masalah keluarga, lingkungan pertemanan atau masalah akademiknya? Bagaimana jika yang dibutuhkan si anak adalah konseling keluarga? Bagaimana kalau gejala-gejala yang dialami sudah masuk kategori klinis, sehingga memerlukan penanganan medis, lalu sampai kapan jin yang harus dibawa-bawa?

blank

Rendahnya Pengetahuan Akan Gangguan Kesehatan Mental

Kampanye kesehatan mental sudah mulai digalakkan sejak beberapa tahun yang lalu, nyatanya masih ada pemahaman keliru tentang gangguan kesehatan mental di sekitar kita. Masih ada orang yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat secara medis maupun psikologis dari profesional terkait. Hal ini terjadi karena rendahnya pemahaman orang-orang di sekitarnya tentang gangguan kesehatan mental itu sendiri. Selain itu, dengan pemahaman yang masih tumbuh subur di kalangan masyarakat bahwa penyebab gangguan kesehatan mental adalah karena hal-hal mistis dan gaib (Azizah, 2019; Taufik, 2013; Safitri; 2011). Pemahaman yang keliru dan stereotipe terhadap gangguan kesehatan mental pada akhirnya akan menimbulkan label negatifatau yang kita sering sebut sebagai stigmapada penderitanya yang kemudian akan menghambat mereka dalam proses pemulihan (Herdiyanto, 2017; Bagaskara & Wildan, 2017).

Stigma Gangguan Kesehatan Mental di Indonesia

Salah satu tantangan bagi pelayanan kesehatan mental di Indonesia adalah stigma (Ridlo & Zein, 2018). Stigma dapat menimbulkan pola pikir yang keliru dan harus segera diluruskan agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi mereka yang berjuang dengan gangguan kesehatan mental. Stigma membentuk image negatif tentang orang-orang dengan gangguan kesehatan mentalmembuat mereka kehilangan kepercayaan diri untuk mencari pertolongan yang tepat secara klinis dan dapat menimbulkan diskriminasi terhadap penderitanya (Hartini et al. 2018). Berapa banyak orang yang mengalami gejala gangguan kesehatan mental enggan mencari pertolongan karena takut dicapstresataugilaoleh lingkungannya. Taufik et al. (2019) menyatakan bahwa ada beberapa faktor-faktor yang memicu stigma terhadap orang dengan gangguan kesehatan mental, diantaranya adalah stereotip, prasangka dan kurangnya kesadaran masyarakat tentang gangguan kesehatan mental. Taufik et al. (2019) menuliskan dalam artikel penelitiannya:

Stigmatisasi yang berhubungan dengan penderita gangguan mental merupakan hasil dari ketidaktahuan dan adanya informasi yang salah serta kurangnya pengetahuan tentang gangguan penyakit kesehatan mental sehingga menghasilkan reaksi negatif…” (Taufiq et al. 2019 halaman 152).

Pemberian stigma pada mereka yang mengalami gangguan kesehatan mental akan menimbulkan dampak yang buruk. Stigma menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap orang-orang dengan gangguan kesehatan mental, seperti pemasungan dan adanya tindak kekerasan (Irmansyah et al. 2009; Ayuningtyas, 2013; Hartini, et al. 2018). Selain itu, stigma gangguan kesehatan mental juga dapat menyebabkan terhambatnya proses pengobatan. Stigma membuat mereka menjadi enggan mencari bantuan kepada profesional terkait karena khawatir label negatif yang akan disematkan kepada mereka. Oleh sebab itu, semakin tinggi stigma yang dialami maka proses pemulihannya pun semakin terganggu (Herdiyanto, 2017).

Data Faktual: Dampak dari Stigmatisasi Gangguan Mental di Indonesia

Riset Kesehatan Dasar (2018) melaporkan jumlah kasus skizofrenia di Indonesia mencapai 6,7% per mil penduduk. Jika dibandingkan data tahun 2013 yang melaporkan ada 1,7% kasus skizofrenia per mil penduduk, jumlah kasus skizofrenia di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. Selain itu, juga terjadi gangguan kesehatan mental yang lain, seperti depresi dan gangguan mental emosional pada usia 15 tahun ke atas. Jumlah kasus depresi mencapai 6,1% dan gangguan mental emosional mencapai 9,8%. Selain pada usia 75 tahun ke atas, depresi juga banyak terjadi di kalangan anak muda berusia 15 hingga 24 tahun (Maharanni, 2019). Sebanyak 6,2% kaum milenial muda mengalami depresi dan 10% mengalami gangguan mental emosional.

Di Indonesia 96,5% orang dengan skizofrenia tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai. Bahkan ada 57 ribu penderita skizofrenia dipasung oleh keluarganya (Ridlo & Zein, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa ada kesenjangan perawatan untuk mereka dengan gangguan kesehatan mental dan masih belum mendapatkan perhatian yang maksimal. Beberapa dari mereka bahkan harus berjuang melawan stigma, olok-olokan, bahkan kekerasan dari orang-orang di sekitarnya (Irmansyah et al., 2009; Ridlo & Zein, 2018).

Literasi Kesehatan Mental dengan Artikel Populer

Masalah stigma terhadap gangguan kesehatan mental memang belum selesai. Hal ini disebabkan karena kesadaran masyarakat yang masih rendah, prasangka, stereotip, serta informasi dan pemahaman yang keliru tentang gangguan kesehatan mental (Herdiyanto et al, 2017; Taufik et al. 2019). Oleh sebab itu, para pejuang kesehatan mental memang harus terus bergerak mempromosikan pentingnya kesehatan mental kepada masyarakat. Promosi kesehatan mental adalah salah satu solusi yang dapat kita lakukan untuk menanggulangi masalah kesehatan mental di Indonesia (Ayuningtyas, 2013). Sebagaimana yang sudah banyak dilakukan oleh pejuang kesehatan mental dengan memberikan psikoedukasi kepada masyarakat (Kurniawan & Sulistyarini, 2016).

Soebiantoro (2017) sudah mengkaji pengaruh dari artikel edukasi terhadap penurunan stigma sosial akan gangguan kesehatan mental. Penelitian ini membuktikan bahwa artikel edukasi dapat menjadi salah satu cara untuk menanggulangi stigma gangguan kesehatan mental di Indonesia. Oleh sebab itu, harapannya para pejuang kesehatan mental dapat berkarya melalui artikel-artikel populer guna memberikan edukasi kepada masyarakat. Kita bisa berjuang dengan menerjemahkan bahasa-bahasa ilmiah ke dalam bahasa populer yang mudah dipahami oleh masyarakat kita. Tidak hanya memberikan edukasi yang mencerahkan, komunikasi populer diharapkan mampu membangun trust terhadap profesional di bidang psikologi. Hingga suatu hari tidak ada lagi informasi dan pemahaman yang keliru tentang gangguan kesehatan mental. Mereka dengan gangguan kesehatan mental bisa mendapatkan penanganan yang tepat oleh para profesional terkait dan lingkungannya.  

Referensi:

Ayuningtyas, D., & Rayhani, M. (2018). Analisis situasi kesehatan mental pada masyarakat di Indonesia dan strategi penanggulangannya. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 9(1), 1–10. https://doi.org/https://doi.org/10.26553/jikm.2018.9.1.1-10

Hartini, N., Fardana, N. A., Ariana, A. D., & Wardana, N. D. (2018). Stigma toward people with mental health problems in Indonesia. Psychology Research and Behavior Management, 11, 535–541.

Herdiyanto, Y. K., Tobing, D. H., & Vembriati, N. (2017). Stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa di bali. INQUIRY Jurnal Ilmiah Psikologi, 8(2), 121–132.

Irmansyah, I., Prasetyo, Y. A., & Minas, H. (2009). Human rights of persons with mental illness in Indonesia: more than legislation is needed. International Journal of Mental Health System, 10, 1–10. https://doi.org/10.1186/1752-4458-3-14

Khadijah, N. A. (2019). Mau sampai kapan gangguan jiwa dianggap kerasukan setan. detikhealth. Dikutip dari “https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4796241/mau-sampai-kapan-gangguan-jiwa-dianggap-kerasukan-setan”

Khotimah, N. (2019). Pengidap gangguan jiwa yang lakukan ruqyah juga diberi sesi konseling. detikhealth. Dikutip dari “https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4796269/pengidap-gangguan-jiwa-yang-lakukan-ruqyah-juga-diberi-sesi-konseling”

Kurniawan, Y., & Sulistyarini, I. (2016). Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental Komunitas SEHATI ( Sehat Jiwa dan Hati ) Sebagai Intervensi Kesehatan Mental Berbasis Masyarakat. Jurnal Psikologi Dan Kesehatan Mental, 1(2), 112–124. https://doi.org/10.20473/JPKM.v1i22016.112-124

Maharanni, A. (2019). Generasi muda dihantui gangguan mental. Lokadata. Dikutip darihttps://lokadata.id/artikel/generasi-muda-dihantui-gangguan-mental

Safitri, D. (2011). Bukan gila tetapi menderita sakit jiwa. BBC News. Dikutip dari “https://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2011/10/111004_mental1”

Ridlo, I. A., & Zein, R. A. (2018). Arah Kebijakan Kesehatan Mental : Tren Global dan Nasional Serta Tantangan Aktual. Buletin Penelitian Kesehatan, 46(1), 45–52. https://doi.org/https://doi.org/10.22435/bpk.v46i1.56

Riset Kesehatan Dasar. (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Dikutip dari “https://www.litbang.kemkes.go.id/laporan-riset-kesehatan-dasar-riskesdas/”

Soebiantoro, J. (2017). Pengaruh Edukasi Kesehatan Mental Intensif Terhadap Stigma pada Pengguna Layanan Kesehatan Mental. Jurnal Psikologi Dan Kesehatan Mental, 2(1), 1–14. https://doi.org/10.20473/jpkm.v2i12017.1-21

Sya’roni, & Khotimah, K. (2018). Terapi Ruqyah dalam Pemulihan Kesehatan Mental. Journal of Islamic Guidance and Counseling, 2(1), 79–93.

Taufik, Adamy, A., Marthoenis, Elvin, S. D., Sitio, R., & Munazar. (2021). Analisis stigma terhadap penderita gangguan mental analisis stigma terhadap penderita gangguan mental dikalangan mahasiswa D-III keperawatan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Dan Lingkungan Hidup, January. http://e-journal.sari-mutiara.ac.id/index.php/KesehatanMasyarakat%0AANALISIS

Taufik, M. (2013). Banyak orang berpikir Skizofrenia karena gangguan jin. Merdeka.com. Dikutip dari https://www.merdeka.com/peristiwa/banyak-orang-berpikir-skizofrenia-karena-gangguan-jin.html

3 komentar untuk “Stigma Gangguan Kesehatan Mental di Indonesia: Sampai Kapan Jin yang Disalahkan?”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *