Cerita Kelam di Balik Baterai Isi Ulang

Rechargeable battery merupakan tipe baterai yang memiliki kemampuan untuk diisi ulang karena reaksi kimia dari bahan penyusunnya bersifat reversible, [1] […]

Rechargeable battery merupakan tipe baterai yang memiliki kemampuan untuk diisi ulang karena reaksi kimia dari bahan penyusunnya bersifat reversible, [1] atau berjalan dua arah. Perubahan energi listrik menjadi energi kimia berlangsung pada saat charging, dan sebaliknya pada saat discharging. Baterai jenis ini digunakan dalam berbagai perangkat kekinian, seperti smartphone, laptop, dan mobil listrik. Rechargable baterai saat ini menjadi sebuah kebutuhan primer bagi produk-produk yang berenergi listrik. Atas urgensi tersebut, penemu baterai tipe ini dihadiahi Nobel di bidang Kimia (baca Sejarah Pengembangan Baterai Litium-Ion, Penemuan yang Diganjar Nobel Kimia Tahun 2019).

Salah satu unsur penting dalam baterai isi ulang adalah kobalt. Dalam sejarahnya, Kobalt menggantikan Titanium Disulfida sebagai katoda dengan untuk mengoptimalkan kapasitas energi listrik yang dihasilkan. Dalam tabel periodik unsur, kobalt memiliki nomor 27 dan masuk dalam Golongan VIIIB. Logam dengan sifat feromagnetik [1] ini banyak ditemukan di Republik demokratik Kongo. Bahkan, dilansir dari The Guardian, sampai akhir 2020, 60% dari suplai kobalt dunia berasal dari negara yang berlokasi di Afrika Tengah ini. [2]

Harta Karun Yang Mematikan

Seiring dengan meningkatnya permintaan gadget dan mobil listrik, operasi penambangan kobalt sebagai bahan baku dalam industri baterai lithium-ion semakin masif. Ini menjadi masalah serius bagi Republik Demokratik Kongo. The New Yorker melaporkan, praktik pertambangan yang besar muncul setelah penduduk di sana menemukan ‘harta karun’ berupa deposit bijih kobalt di bawah rumah mereka pada 2014. [3]

Akan tetapi, komoditas potensial ini belum memberikan dampak yang besar bagi penduduk untuk lepas dari kemiskinan. Hasil pengamatan The New Yorker menyebutkan para stakeholder di sana tidak bertindak tegas dalam menerapkan peraturan yang ada, akibatnya ribuan anak telah dipekerjakan hanya dengan imbalan $2 per hari. DI saat yang sama, risiko paparan logam yang berbahaya selalu mengikuti para penambang. Selain itu, polusi yang merajalela dari tambang masih membuat sebagian besar tanah tidak dapat dihuni lagi.

Puncaknya, pada tahun 2019, para orang tua dari anak-anak kongo yang mati saat menambang kobalt menggugat Apple, Microsoft, Dell, Alphabet, dan Tesla melalui instansi Hak Asasi Manusia internasional Rights Advocates. [4] Mereka menuduh bahwa perusahan raksasa teknologi tersebut mengabaikan keselamatan masa depan anak-anak Kongo. Gugatan itu mencakup perincian memilukan tentang kondisi anak yang bekerja di tambang sepanjang waktu. Sebagian dari mereka mengalami cedera hingga lumpuh. Beberapa keluarga kehilangan anak-anak mereka ketika terowongan yang mereka gali runtuh.

Menanggapi gugatan tersebut, juru bicara Dell mengatakan kepada Futurism bahwa perusahaan sedang menyelidiki tuduhan tersebut. Jubir tersebut memberikan statemen bahwa mereka telah melaksanakan prosedur dengan bertanggung jawab. Adapun juru bicara Apple mengatakan bahwa perusahaan berkomitmen untuk menyediakan produk secara bertanggung jawab dan telah menetapkan standar yang ketat untuk pemasok. sementara Tesla telah berjanji untuk menjauh dari baterai kobalt, namun itu belum benar-benar dilakukan.

Beberapa Alternatif

Meskipun kampanye yang digunakan untuk promosi gadget dan mobil listrik ini adalah renewable energy, nyatanya justru ada pihak yang dirugikan. Masalah ini sebenarnya sudah mengalir bertahun-tahun, namun semakin parah saat tren kendaraan listrik naik. Mengingat keberadaan baterai isi ulang yang sangat dibutuhkan, para pakar mencoba mencari alternatif untuk mendapatkan Kobalt dengan metode selain penambangan.

Yuliusman mencoba mengambil kembali logam Litium dan Kobalt dari baterai Li-ion bekas dengan metode leaching (pemisahan menggunakan larutan) Asam Sitrat. [6] Sementara itu, Ahmad Fadhlur Rohman mencoba mendapatkan Kobalt dari baterai yang pernah digunakan melalui adsorpsi menggunakan Kitosan dari limbah Rajungan. [7] Ada juga Mai K. Tran, dkk yang mengekstrak Kobalt dari baterai bekas dengan metode Deep Eutectic Solvents (lihat Recovery Kobalt dan Litium pada Katoda Baterai Litium Ion Menggunakan Deep Eutectic Solvent). [8]

Selain melalui daur ulang baterai bekas, ada juga peneliti yang mencoba mendapatkan kobalt dari air laut. Mana N Haji mencoba melakukannya dengan metode adsorpsi pasif. Penelitian itu menemukan fakta bahwa 6 platform tambang minyak yang tidak terpakai di Teluk Meksiko dapat mengekstraksi rata-rata 27,3% dari konsumsi kobalt 2017 negara tersebut. Peluang ini memiliki potensi yang sangat besar untuk menambal lonjakan permintaan pasokan kobalt dalam produksi baterai lithium-ion. [9]

Kendati beberapa alternatif di atas cukup brilian, akan tetapi tahap implementasinya belum dilakukan secara masif dan terstruktur. Kalau pun dipakai secara komersil, penerapannya mungkin baru akan berjalan beberapa tahun lagi. Yang ada saat ini pada industri gadget adalah kobalt kobalt konvensional yang para penambangnya setiap saat berpapasan dengan bahaya.

Sekarang sobat warstek jadi tahu kan, di saat kita asyik scroll sosial media, di saat yang sama, ada anak-anak yang bertaruh nyawa demi baterai smarphone kita. Yuk sama-sama bijak dalam menggunakan gadget ya.

.

Referensi

[1]

A. Satriyadi, W. Alamsyah, H. A. Saad and S. Hidayat, “Pengaruh Luas Elektroda Terhadap Karakteristik Baterai LiFePO4,” Jurnal Material dan Energi Indonesia, vol. 06, no. 2, pp. 43-48, 2016.

[2]

T. Anwar, “Sains Kimia,” 09 November 2017. [Online]. Available: https://sainskimia.com/unsur-kimia-kobalt/ . [Accessed 26 June 2021].

[3]

A. Kelly, “The Guardian,” 16 Deceber 2019. [Online]. Available: https://www.theguardian.com/global-development/2019/dec/16/apple-and-google-named-in-us-lawsuit-over-congolese-child-cobalt-mining-deaths. [Accessed 25 June 2021].

[4]

N. Niarchos, “The New Yorker,” 24 May 2021. [Online]. Available: https://www.newyorker.com/magazine/2021/05/31/the-dark-side-of-congos-cobalt-rush. [Accessed 25 June 2021].

[5]

K. Houser, “Futurism,” 17 December 2019. [Online]. Available: https://futurism.com/families-sue-tech-giants-deaths-children-cobalt-mines. [Accessed 25 June 2021].

[6]

Yuliusman, “Pengambilan Kembali Logam Litium Dan Cobalt Dari Baterai Li-Ion Dengan Metode Leaching Asam Sitrat,” in Seminar Nasional Teknik Kimia Kejuangan, Yogyakarta, 2016.

[7]

A. F. Rahman, “Adsorpsi logam kobalt dari limbah baterai lithius ion menggunakan Kitosan Limbah Rajungan,” Universitas Indonesia, Depok, 2018.

[8]

F. Yusupandi, “Warstek,” 2020. [Online]. Available: https://warstek.com/recovery-kobalt-dan-litium-pada-katoda-baterai-litium-ion-menggunakan-deep-eutectic-solvent/. [Accessed 26 June 2021].

[9]

N. M. Haji and H. A. Slocum, “An offshore solution to cobalt shortages via adsorption-based harvesting from Seawater,” Renewable and Sustainable Energy Reviews- Elsevier, vol. 105, pp. 301-309, 2019.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top