Halo sahabat Warstek, pada artikel ini akan dipaparkan mengenai pengalaman penulis bertemu dengan seorang ilmuwan mendunia asal Indonesia yang memiliki jam terbang riset yang tinggi di luar negeri, baik dalam hal studi (menempuh S3/doktoral), maupun karena pekerjaannya sebagai peneliti (asisten postdoctoral research di Universitas Oxford dan bekerja di CERN).
Pertemuan tersebut berlangsung di acara World Class yang diadakan oleh Profisia.id, bertempat di GoWork Plaza Indonesia, Jakarta. Acara yang dilaksanakan pada Minggu, 13 Januari 2019 tersebut mendapat antuasiasme yang luar biasa dari para peserta dengan berbagai latar belakang pendidikan, berasal dari berbagai daerah bahkan dari beberapa negara.
Pembicara utama pada seminar tersebut adalah Dr. Muhammad Firmansyah Kasim. Beliau lahir di Makassar 26 Januari 1991 dan merupakan alumni Teknik Elektro di Institut Teknologi Bandung (ITB) angkatan 2009.
Masa kecil pria yang biasa disapa Firman ini sangat mengidolakan seorang B.J Habibie dikarenakan sosok Pak Habibie yang sangat inspiratif. Pada saat itu Firman kecil hobi mengoleksi mainan pesawat terbang. Sejak kecil, Firman menekuni matematika. Namun, lama-kelamaan setelah mengenal Fisika di SMA Islam Athirah, dirinya mulai jatuh cinta kepada Fisika, kemudian mendalaminya sampai kecintaan itu mengantarkan beliau meraih beberapa medali. Medali yang didapatkan di antaranya, medali emas di Olimpiade Fisika Internasional ke-38 pada tahun 2007 dan medali emas di Asian Physic Olympiad pada tahun 2007.
Saat ini, Dr. Firman bekerja di Departemen Fisika di Oxford (sebagai asisten Postdoctoral Research). Dr. Firman merupakan warga Indonesia pertama yang aktif di lembaga penelitian fisika partikel di Universitas Oxford. Beliau juga memiliki pengalaman bekerja di CERN (Conseil Europèene pour la Recherche Nuclèaire). CERN merupakan laboratorium Fisika Partikel terbesar di dunia yang telah berhasil mengonfirmasi keberadaan “Partikel Tuhan”..
Baca juga: Apakah Partikel Tuhan adalah Partikel Penyusun Tuhan?
Belajar Kehidupan di Luar Negeri
“Saya bersama teman saya satu grup praktik lapangan memilih wilayah praktik di luar negeri, itu tujuannya untuk melatih skill berbahasa saya juga.” Ujar Dr. Firman
Di tahun ketiga perkuliahannya di ITB, beberapa kali ditolak oleh perusahaan tempat kerja praktik tidak menyurutkan semangat Firman, pada akhirnya salah satu perusahaan di Malaysia menerimanya sebagai Mahasiswa kerja praktik. Dr. Firman mengaku telah memiliki tekad yang kuat demi memiliki pengalaman bekerja di luar negeri, walau nanti ada konsekuensi tidak dibayar sekalipun.
Pengalaman kedua hidup di luar negeri Dr. Firman selanjutnya ketika bekerja di CERN Swiss pada tahun 2013. Beliau ditempatkan bekerja di salah satu detektor CERN (ATLAS, CMS, LHCb dan ALICE) dalam mesin lingkaran LHC (Large Hadron Collider) yang berada di ruang bawah tanah dengan diameter 27 km. “Diameter lingkaran LHC ini sampai menembus batas Negara, ini terbesar di dunia” Kata Dr. Firman.
Bekerja di CERN selama setahun, pada tahun 2014 Dr. Firman mendapat beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) sehingga dapat melanjutkan studi hingga jenjang doktoral di Universitas Oxford.
“Saya sangat beruntung, dengan berbekal pengalaman di CERN salah satunya mengantarkan saya untuk dipercaya melanjutkan ke Oxford. Pengalaman yang sangat berharga” ungkap Dr. Firman dengan penuh rasa syukur.
Kehidupan di luar negeri memiliki nilai unik tersendiri bagi seorang Firman, beliau sempat bercerita selama di tempat perantauannya tersebut. Kesannya selama di Oxford bahwa di sana toleransi beragama relatif tinggi, beliau yang seorang Muslim mendapatkan fasilitas (tempat ibadah, makanan halal) dan perlakuan yang baik sehingga dapat melaksanakan kegiatan agama dengan aman dan nyaman.
Dalam hal kinerja sehari-hari, civitas akademika di Oxford sangat kooperatif dan menjaga etika ke satu sama lain. Misalnya, dalam melakukan suatu pekerjaan, hasil pekerjaan diapresiasi dengan baik bagaimanapun hasilnya. Selanjutnya, masalah yang sering kita anggap sepele seperti menanyakan hal privasi, “kapan nikah? Rencana mempunyai anak berapa?” itu juga dihindari, tujuannya untuk menghindari diskriminasi.
Kuliah dan Penelitian di Luar Negeri
Kuliah di luar negeri (Oxford tepatnya) tidak mengenal linieritas, artinya apabila ingin melanjutkan jenjang S1, S2 tidak harus Fisika apabila ingin melanjutkan ke S3 Fisika. Pembiayaan penelitian juga sama, bahkan pembiayaan penelitian yang sangat dipertimbangkan adalah penelitian yang memiliki dampak multidisiplin ilmu, misalnya penelitian A harus berdampak kepada ilmu lingkungan, biologi, fisika, ilmu sosial dan lain-lain.
Selama kuliah di Universitas Oxford, peneliti mendapatkan Safety Control dan Quality Control alat yang baik, misal seseorang untuk melakukan suatu hal harus melewati tahap training. Kalibrasi dan akreditasi instrumen Laboratorium sementara ini dilakukan secara mandiri oleh pihak Laboratorium, sebab terdapat beberapa instrumen yang tidak dijual di toko manapun.
Kuliah dan penelitian di Universitas Oxford tidak mengenal apakah suatu penelitian berguna atau tidak berguna. Dr. Firman mencontohkan bahwa ada penelitian yang pada masanya belum diketahui kegunaannya tetapi berguna di masa sekarang, misalnya saja JJ Thomson menemukan elektron (1897), pada saat ini berguna bagi peralatan-peralatan yang kita kenal sebagai elektronik. “Basic Sciences merupakan investasi, sekarang belum berguna, bisa jadi di masa mendatang, termasuk penelitian yang saya lakukan ini.” Kata Firman. Hasil penelitian di wilayah CERN misalnya, dipublikasikan kepada masyarakat dengan baik melalui sosialisasi-sosialisasi ke masyarakat sampai ke sekolak-sekolah.
Kebiasaan Seorang Dr. Muhammad Firmansyah Kasim
Dr. Firman menyampaikan dengan penekanan kepada peserta seminar untuk mencari banyak pengalaman. Beliau menyarankan untuk berkontribusi dalam paper ilmiah atau mengikuti International Conference. Hal tersebut beliau rekomendasikan supaya saat nanti mendaftar studi lanjut ke kampus luar negeri, kompetensi kita lebih ‘diakui’.
Selain kebiasaannya meneliti dan menekuni di bidangnya, Dr. Firman memiliki kebiasaan yang banyak orang lain tidak ketahui yaitu beliau lebih senang berjalan kaki. Di kehidupan kuliah saat di Universitas Oxford beliau berjalan kurang lebih dalam sehari sebanyak kurang lebih 2 jam. Dari kegiatan berjalan kaki ternyata beliau dapat menemukan ide-ide brilian.
Ternyata menurut studi dari peneliti Stanford, kreativitas seseorang meningkat rata-rata 60% ketika berjalan. Peneliti dari Journal of Experimental Psychology (2014) menyebutkan berjalan lebih meningkatkan kreativitas daripada duduk.
Sahabat Warstek, semoga dari pemaparan tokoh Ilmuwan Indonesia ini dapat menginspirasi kita semua untuk memajukan sains dan teknologi yang ada di Indonesia. Salam Sains dan Teknologi! Mari kita harumkan bangsa Indonesia dengan prestasi!
Referensi:
- https://news.stanford.edu/2014/04/24/walking-vs-sitting-042414/ , diakses 14 Januari 2019
- https://www.itb.ac.id/news/read/4448/home/muhammad-firmansyah-kasim-calon-penerima-gelar-doktor-dari-university-of-oxford , diakses 14 Januari 2019
- Oppezzo, M & Schwartz, D.L. (2014) ‘Give Your Ideas Some Legs: The Postive Effect of Walking on Creative Thinking’, Journal of Experimental Psychology, 40(4), pp.1142-1152
S1 Pendidikan Kimia, UIN Walisongo Semarang, tertarik di bidang pendidikan, kimia adsorben dan kimia organik