Ditulis Oleh A Luthfi
Masih kelam di benak kita kasus pengiriman lima kontainer berisi sampah plastik yang terjadi pada bulan Juni yang lalu di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Kasus yang dipicu oleh kegelisahan negara negara Eropa dan Amerika Serikat terhadap masalah sampah plastik setelah negara China berhenti mengimpor sampah dari mereka sejak tahun 2017. Hal ini tentu menjadi masalah karena negara China selama ini merupakan “tempat sampah” mereka. Mereka akhirnya mencari berbagai cara untuk menangani masalah tersebut, termasuk menggunakan cara cara yang melanggar aturan seperti yang dilakukan Amerika Serikat. [1]
Kontainer berisi sampah plastik yang dikirim dari pelabuhan Seattle, AS
Tidak disangka, meskipun memiliki teknologi yang maju dan badan antariksa nomer satu di dunia, Amerika Serikat tidak mau mengolah sampah plastiknya sendiri dan mengirimkannya ke Indonesia. Padahal, Indonesia sendiri kewalahan dalam mengolah sampah plastik di negaranya. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Jenna R Jambeck dan timnya, Indonesia menduduki peringkat kedua dalam penghasil sampah plastik di dunia. Setelah China melakukan penghentian atas impor plastik, Indonesia kemungkinan besar akan menduduki peringkat pertama di masa depan apabila kita tidak melakukan sesuatu. [2]
Sebagai salah satu jalan untuk menangani masalah sampah plastik di Indonesia, diperlukan suatu inovasi untuk mengolah sampah plastik yang ada menjadi sesuatu yang bermanfaat. Seperti yang dilakukan oleh Dr. Mardiyati yang melakukan penelitian mengenai pemanfaatan sampah botol plastik sebagai bahan filamen untuk produk 3D printing. 3D printing adalah teknologi yang memungkinkan seseorang untuk mencetak sesuatu dalam dimensi panjang, lebar, dan tinggi. Hal ini berbeda dengan metode printer biasa yang hanya bisa mencetak sesuatu dalam 2D. Selain itu, teknologi ini telah berkembang begitu pesat, sekarang telah ada pena 3D yang memungkinkan seseorang untuk membuat karya dimana saja.
Penerapan pena 3D
Berangkat dari fenomena tersebut, Dr. Mardiyati melakukan penelitian mengenai pemanfaatan sampah botol plastik sebagai bahan filamen untuk produk 3D printing. Penelitian tersebut berjudul “Preparation of 3D Printing Filament Made From Thermoplastic Waste”.
Seperti diketahui, pemanfaatan dan permintaan filamen cetak 3D saat ini sedang meningkat secara signifikan. Sementara itu, filamen cetak 3D komersial yang tersedia di pasaran bahannya mahal, dan masih impor dari luar negeri. Untuk itu, Dr. Mardiyati mencari bahan lain sebagai bahan filamen yaitu menggunakan termoplastik dari sampah botol air mineral.
Termoplastik adalah salah satu bahan yang dapat didaur ulang dan dimanfaatkan kembali menjadi suatu produk baru dengan melalui suatu proses pemanasan. Oleh karena itu penelitian ini berfokus pada pengembangan dan pemanfaatan termoplastik sebagai bahan baku untuk filamen cetak 3D. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan filamen cetak 3D yang terbuat dari termoplastik dan untuk mengkarakterisasi kinerja filamen termoplastik.
Penelitian dan pengembangan filamen tersebut dilakukan di Green Polymer Lab, Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB. Dr. Mardiyati mengawali penelitiannya pada tahun 2016 dan selesai pada 2018. Penelitian tersebut kemudian berhasil mengembangkan filamen 3D printing dari sampah tutup botol yang berbahan dasar Polipropilena dan botol air mineral yang berbahan dasar PET. Penelitian ini pun sudah memiliki hak paten.
“Filamen jenis ABS dan PLA sangat mahal dan tinggi di pasaran. Berangkat dari hal tersebut, tercetuslah ide pembuatan filamen dari sampah plastik menjadi produk. Kenapa kita tidak mencoba membuat filamen sendiri dari sampah plastik untuk bahan 3D printing,” kata Dr. Mardiyati saat diwawancara Humas ITB.
Proses Pembuatan
Seperti dijelaskan Dr. Mardiyati, langkah pertama yang dilakukan adalah mengumpulkan limbah tutup botol, lalu mencacahnya menjadi potongan kecil. Setelah itu, hasil cacahan dimasukan ke dalam mesin ekstrusi, hingga keluarannya seperti gulungan benang. Filamen inilah yang nantinya akan menjadi bahan untuk pembuatan 3D Printing.
Untuk mesin 3D printingnya sendiri dibeli di pasaran dan dimodifikasi ulang untuk dapat digunakan filamen tersebut jenis termoplastic. Selain itu, Dr. Mardiyati juga berhasil mengembangkan penelitian bahan filamen dari botol plastiknya, tidak hanya tutupnya saja. “Perbedaan antara bahan filamen dari tutup botol dan boto plastiknya adalah dari sisi proses ektrusinya. Kalau yang dari tutup botol melelehkannya cukup 180 derajat saja, namun untuk bodi plastik itu perlu suhu 240 derajat, dan ada campuran khusus,” lanjutnya.
Selain mengenai filamen, Dr. Mardiyati bersama Tim Green Polymer Lab juga melakukan penelitian lain tentang limbah plastik. Salah satunya ialah mendaur ulang sampah plastik menjadi bahan kerajinan. Bahkan ada yang tertarik atas hasil sampah daur ulangnya untuk dijadikan alat praga edukasi anak yang akan dipamerkan di Kedutaan Belanda.
“Harapan yang ingin disampaikan, saya selalu ingin mendorong mahasiswa untuk berkarya menghasilkan produk yang sangat bermanfaat untuk masyarakat atau menjawab segala keresahan yang ada di masyarakat. Jadi kita melakukan penelitian bukan sekedar menyelesaikan tugas, ada laporan, namun saya lebih suka ada masalah apa di masyarakat, dan apa yang bisa kita lakukan bagi penelitian kita dan kembali lagi manfaatnya untuk masyarakat,” pungkasnya.[3]
Hasil kerajinan dari filamen plastik bekas
Referensi :
- https://kumparan.com/@kumparanbisnis/impor-sampah-masuk-indonesia-ternyata-dipicu-kebijakan-china-1rIdE1zj1LJ, diakses 24-7-2019
- https://tirto.id/prestasi-sampah-indonesia-yang-mengkhawatirkan-bUWl, diakses 24-7-2019
- https://www.itb.ac.id/news/read/56960/home/dosen-itb-buat-filamen-printer-3d-dari-limbah-botol-bekas, diakses 24-7-2019