Baterai litium seperti baterai litium ion, baterai litium-sulfur, baterai litium-nitrogen dan baterai litium-CO2 telah menarik perhatian para ilmuwan untuk terus dikembangkan. Namun, isu ketersediaan litium yang tidak terlalu melimpah di bumi menjadi penghalang dalam pengembangan baterai litium. Dampaknya adalah harga litium yang semakin mahal ditambah material pendukung lainnya seperti kobalt dan nikel yang juga mengalami kenaikan harga yang cukup signifikan[1]. Para peneliti mencari material alternatif untuk mengurangi atau bahkan menggantikan peran litium dalam baterai.
Ion yang berperan pada baterai litium adalah kation. Bagaimana jika sebuah baterai, ion yang berperan adalah anion? Baterai fluorida ion mulai dikembangkan karena diprediksi memiliki lifetime yang lebih panjang. Fluor merupakan unsur yang sangat elektronegatif dari seluruh unsur dan ion fluorida sangat stabil. Baterai fluorida ion mampu menghasilkan tegangan >3 V, kapasitas volumetrik sebesar >1000 Ah/liter dan rapat energi teoritis >5000 Wh/liter (nilai tersebut 8 kali lebih besar dibandingkan baterai litium ion)[2]. Baterai fluorida ion yang dapat diisi ulang (sekunder) pertama kali dilaporkan pada tahun 2011 yang mengikuti prinsip baterai primer di tahun 1970. Baterai fluorida ion hanya dapat beroperasi pada temperatur tinggi (>150oC) karena konduktivitas ionik elektrolitnya sangat rendah sebesar 10-6 S/cm[2].
Pada bulan Desember 2018, para peneliti dari California Institute of Technology telah berhasil membuat baterai fluorida ion sekunder yang beroperasi pada temperatur ruang. Tantangan terbesar dalam penelitian tersebut adalah pemilihan jenis elektrolit yang mempunyai nilai konduktivitas ionik yang tinggi pada temperatur ruang. Elektrolit yang digunakan adalah garam N,N,Ntrimethyl-N-neopentylammonium fluorida (Np1F) dan N,N,N-dimethyl-N,N-dineopentylammonium fluorida (Np2F) yang dilarutkan dalam larutan organik bis(2,2,2-trifluoroethyl) ether (BTFE). Nilai konduktivitas ionik 0,75 M Np1F/BTFE sebesar 2,351 mS/cm dan 0,75 M Np2F/BTFE sebesar 2,781 mS/cm pada temperatur ruang. Nilai tersebut mendekati nilai konduktivitas ionik pada elektrolit baterai litium ion (1 – 10 mS/cm)[2].
Material katoda yang dapat digunakan diantaranya Pb, Bi dan Cu yang sangat sesuai ketika menggunakan elektrolit di atas. Untuk material anoda, para peneliti menggunakan Ce atau Ca. Prinsip kerja dari baterai fluorida ion adalah terjadinya perpindahan ion fluorida dari anoda ke katoda atau sebaliknya melalui elektrolit. Skema prinsip kerja baterai fluorida ion dengan katoda Bi dan anoda Mg ditunjukkan oleh Gambar 1.
Gambar 1. Skema prinsip kerja baterai fluorida ion dengan katoda Bi dan anoda Mg[3]
Pada penelitian ini, tim peneliti menggunakan anoda Ce dan katoda Cu yang dilapisi LaF3 untuk membentuk solid-electrolyte interface (SEI). SEI berfungsi untuk (i) melindungi Cu dari larutan elektrolit (ii) mencegah dekomposisi elektrolit (iii) mencegah ekspansi volume dan menjaga struktur Cu tetap stabil (iv) hanya melewatkan ion fluorida dari elektrolit menuju Cu sehingga terbentuk CuF2 yang memiliki nilai kapasitas spesifik teoritis yang tinggi (528 mAh/gram)[2].
Anoda Ce juga terdapat SEI dengan menambahkan 1H,1H,2H,2H-perfluorooctyltriethoxysilane (FOTS). Baterai fluorida ion kemudian diuji untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk proses charge dan discharge yang ditunjukkan oleh Gambar 2. Waktu charging yang dibutuhkan relatif singkat dan waktu dischargenya lebih lama dibandingkan dengan baterai litium ion. Hasil siklik voltametri menunjukkan bahwa proses pembentukan CuF2 merupakan reaksi elektrokimia yang paling sulit ditunjukkan oleh peak anodik yang asimetrik.
Gambar 2. (a) Profil tegangan dari anoda Ce (b) Siklik voltametri baterai fluorida ion[2]
Robert Grubbs, co-author dalam penelitian ini sekaligus peraih nobel bidang kimia tahun 2005, mengatakan bahwa baterai fluorida ion memiliki rapat energi yang lebih tinggi dari baterai litium ion yang berarti waktu dischargenya lebih lama. Tetapi tantangan yang harus dihadapi adalah ion fluorida sangat reaktif dan korosif[4]. Jones, salah satu peneliti dalam penelitian tersebut, menambahkan bahwa untuk mendapatkan baterai yang tahan lama, kita perlu memindahkan muatan dalam jumlah yang banyak. Memindahkan beberapa kation logam sangat sulit, tetapi memindahkan beberapa anion sangat mudah sehingga menghasilkan baterai yang lebih tahan lama. Dalam studi ini, mereka menunjukkan bahwa anion mulai menarik perhatian dalam ilmu baterai karena penelitian mereka telah menghasilkan baterai fluorida ion dengan tegangan yang cukup tinggi[4].
Referensi
[1] Yusupandi, F. 2018. Mengenal Baterai Natrium Ion dan Potensinya di Masa Depan. Diakses dari : https://warstek.com/2018/05/22/natrium/ pada 27 Januari 2019
[2] Victoria K. Davis, Christopher M. Bates, Kaoru Omichi, Brett M. Savoie, Nebojša Momčilović, Qingmin Xu, William J. Wolf, Michael A. Webb, Keith J. Billings, Nam Hawn Chou, Selim Alayoglu, Ryan K. McKenney, Isabelle M. Darolles, Nanditha G. Nair, Adrian Hightower, Daniel Rosenberg, Musahid Ahmed, Christopher J. Brooks, Thomas F. Miller III, Robert H. Grubbs, Simon C. Jones. 2018. Room Temperature Cycling of Metal Fluoride Electrodes: Liquid Electrolytes for High Energy Fluoride-Ion Cells. Science, 362, 1144-1148
[3] Gschwind, F., Garcia, G.R., Sandbeck, D.J.S., Gross, A., Weil, M., Fichtner, M dan Hormann, N. 2016. Fluoride Ion Batteries : Theoretical Performance, Safety, Toxicity, and A Combinatorial Screening of New Electrodes. Journal of Fluorine Chemistry, 182, 76-90
[4] California Institute of Technology. 2018. New Battery Concept Based on Fluoride Ions May Increase Battery Lifespans. Diakses dari : https://techxplore.com/news/2018-12-battery-concept-based-fluoride-ions.html pada tanggal 27 Januari 2019