Perkembangan COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) secara global terus memprihatinkan. Dimulai dari angka puluhan ribu orang terinfeksi virus SARS-COV-2, hingga kini telah memasuki angka lima juta orang lebih dinyatakan sebagai positif COVID-19. Angka kematiannya dianggap tidak sedikit. Sejatinya, virus ini merupakan strain ketujuh dari coronavirus yang diketahui menginfeksi manusia dan memiliki materi genetik berupa RNA (Zhu et al., 2020). COVID-19 bukan penyakit infeksi biasa karena penyebaran infeksinya lebih cepat dibandingkan SARS (Nishiura et al., 2020). Gejala dominan yaitu sesak napas, demam dan bersin seperti pada kasus SARS-CoV. Meski mirip, akan tetapi harus dipastikan lebih lanjut dengan tes swab PCR dan CT-SCAN.
Saat ini, penyebaran infeksi COVID-19 masih melalui droplet mulut yang berasal dari saluran pernapasan atas. Akan tetapi, peneliti dari China, Tang et al. (2020) menjelaskan SARS-COV-2 dapat ditransmisikan secara tidak langsung melalui saluran penceranan berupa spesimen tinja pada pasien COVID-19 yang tanpa gejala. Hal tersebut menyebabkan wabah COVID-19 menjadi kompleks dengan melihat data dari CDC bahwa 1 dari 4 orang yang terinfeksi COVID-19 adalah tanpa gejala. Selain mudah penularannya, gejala umum terlihat ringan, sehingga penularan sering tidak disadari. Hal ini memungkinkan jumlah penderitanya jauh lebih banyak daripada kasus positif yang terpublikasi. Oleh karena itu, diperlukan strategi pengendalian efisien dan efektif guna mengakhiri keparahan wabah ini.
Strategi pengendalian COVID-19 tiap negara
Setiap negara menerapkan strategi yang berbeda untuk mengendalikan penyebaran wabah ini. Secara prinsip, penyebaran wabah dipengaruhi oleh jumlah orang yang membawa virus yang berpotensi menularkan ke orang lain dan kecepatan infeksi antar orang. Menurut Nishiura et al. (2020), kecepatan infeksi COVID-19 lebih cepat (4 hari) dibandingkan SARS.
Italia yang termasuk negara paling parah dihantam pandemi COVID-19 menerapkan karantina ketat, lockdown, yang diberlakukan di seluruh negerinya.
Di Inggris, kampanye kesehatan skala besar digelar guna membangkitkan kesadaran masyarakat untuk mengurangi risiko penyebaran virus COVID-19 sejak kasus pertama pada 31 Januari 2020.
Berbeda dengan negara lain, Korea Selatan dengan kasus stagnan di 11 ribu penderita, melakukan kebijakan secara komprehensif yaitu tanpa lockdown, peningkatan edukasi dan informasi COVID-19, pelacakan jejak pasien yang terinfeksi dan tes massal secara akurat yang diiringi kepatuhan masyarakatnya akan hal tersebut.
Sementara di Indonesia, pemerintah melalui Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/MENKES/328/2020 menerapkan pencegahan dan pengendalian COvid-19 berupa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang melingkupi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, sosial budaya di tempat umum atau fasilitas umum, pembatasan moda transportasi dan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.
Namun, kesemua itu memiliki satu tujuan yang sama yaitu memutus rantai persebaran COVID-19 dan membuat grafik COVID-19 menjadi landai. Lantas apakah dengan strategi tersebut pandemi dapat berakhir?
Konsep herd immunity
Herd immunity merupakan imunitas kelompok dimana kondisi sebagian besar orang dalam suatu komunitas memiliki kekebalan terhadap infeksi tertentu. Maka dapat dikatakan bahwa ketika sebagian besar populasi menjadi kebal terhadap suatu infeksi, penyebaran penyakit itu melambat atau berhenti. Terbentuknya sel imun memori yang dapat diperoleh secara alami maupun vaksinasi menjadikan tubuh kebal terhadap suatu infeksi.
Akan tetapi herd immunity secara alami bukan menjadi pilihan untuk saat ini karena virus COVID-19 adalah virus corona tipe baru disertai dengan mudahnya menginfeksi sel-sel manusia melalui pintu masuk enzim ACE-2 yang mana tersedia banyak di saluran pernapasan dan pencernaan. Hal ini menjelaskan gejala COVID-19 sebagian besar pada saluran pernapasan dan secara minor pada saluran pencernaan seperti diare, Bahkan penelitian terbaru mengatakan bahwa virus tersebut dapat menginfeksi sel imun manusia (sel T limfosit) yang artinya bahwa penyakit COVID-19 terindikasi mirip dengan HIV/AIDS (Wang et al., 2020).
Herd immunity secara alami akan muncul ketika banyak orang terjangkit penyakit wabah infeksi dan pada waktunya membangun respon kekebalan terhadapnya. Ditambah lagi, secara konsep herd immunity alami, tanpa dilakukannya imunitas buatan maka dianalogikan seperti hukum rimba, “siapa yang kuat, dia yang bertahan”. Asumsi bahwa herd immunity alami akan muncul tanpa menerapkan program pemerintah maupun WHO yang terencana untuk memutus rantai penyebaran infeksi adalah suatu kekeliruan yang dapat berakibat fatal.
Sebagai gambaran dalam situasi wabah COVID-19, misalkan untuk mencapai herd immunity alami terhadap wabah COVID-19 adalah 85% populasi di Indonesia kebal, maka 15% populasi lain—40 juta orang—harus dikorbankan dan mayoritas kelompok masyarakat tersebut harus terinfeksi terlebih dahulu. Terlebih orang lanjut usia dan orang dengan komorbid penyakit tertentu tidak akan bertahan terhadap wabah infeksi karena sistem imun mereka tidak mampu menghasilkan antibodi untuk COVID-19 serta di lain hal, pasien rawat inap di rumah sakit akan membeludak.
Vaksinasi sebagai herd immunity buatan menjadi opsi
Herd immunity buatan berupa vaksinasi menjadi opsi untuk mengakhiri pandemi COVID-19. Vaksinasi menurut WHO merupakan proses pemberian vaksin—suatu senyawa dari komponen mikroba yang mati atau dilemahkan— ke dalam tubuh seseorang untuk membentuk kekebalan terhadap penyakit infeksi tersebut. Konsep ini digunakan untuk melindungi diri sendiri dari penyakit infeksi dan juga melindungi orang lain.Vaksinasi idealnya melindungi populasi yang rentan pada risiko tinggi untuk komplikasi infeksi (Kim et al., 2011). Namun, vaksin untuk subkelompok ini tidak selalu memberikan efektivitas yang memadai sehingga perlu diberikan kepada populasi lebih luas. Ketika angka kecukupan vaksinasi terpenuhi, maka herd immunity akan terbentuk pada populasi tertentu dan secara tidak langsung akan melindungi orang sehat yang belum memiliki kekebalan dari suatu infeksi. Konsep ini digunakan untuk melindungi diri sendiri dari penyakit infeksi dan juga melindungi orang lain.
Vaksinasi dapat dinyatakan aman setelah melalui serangkaian uji pra klinis, klinis (keamanan pada manusia) dan uji lainnya serta disetujui oleh WHO. Pengembangannya membutuhkan waktu yang cukup lama bisa bertahun-tahun. Vaksinasi juga menyebabkan virus tidak memiliki inang untuk ditempati sehingga virus akan berhenti menyebarkan transmisi infeksinya dan tentunya dapat menghemat anggaran biaya untuk pengobatan, rawat inap, disabilitas permanen maupun kematian akibat wabah penyakit (Kim et al., 2011).
Kesuksesan vaksinasi dalam mengakhiri wabah
Vaksinasi dapat diaplikasikan pada virus yang memiliki tingkat keganasan tinggi, seperti pada wabah campak, cacar dan lainnya.
Saat ini, pasien yang berkunjung ke pelayanan kesehatan sudah jarang yang sakit cacar karena sebelumnya WHO telah menginisiasi seluruh negara untuk melakukan vaksinasi massal dengan minimal angka kecukupan vaksinasi sebesar 80% populasi. Hal tersebut berdampak keberhasilan program eradikasi pandemi cacar yang dimulai tahun 1952 di Amerika utara dan berakhir di tahun 1977 di benua Afrika. Hampir dua abad setelah Edward Jenner—ilmuan Inggris yang menemukan vaksin cacar—menemukan vaksinasi untuk memusnahkan cacar. WHO secara resmi menyatakan dunia bebas dari penyakit ini pada tahun 1980. Pemberantasan cacar dianggap sebagai pencapaian terbesar dalam kesehatan masyarakat internasional.
Vaksinasi juga digunakan untuk menurunkan angka kejadian dan kematian dari wabah influenza berupa Trivalent inactivated influenza vaccines (TIV). Efektivitas dari vaksinasi tersebut diantara 70%-90% pada individu yang berusia dari 7 hingga 65 tahun (Lang et al., 2011).
Pada akhir abad ke-20, wabah campak hampir tereradikasi di Cina, Korea dan Amerika Serikat sebagai hasil dari vaksinasi dengan virus yang dilemahkan sejak usia dini (Mallory et al., 2018)
Vaksinasi juga menjadi faktor kritis dalam mengatasi wabah H1N1 di Norwegia dan China pada tahun 2009 yang berdampak pada angka kematian yang rendah (Freiesleben de Blasio et al., 2011; Lu et al., 2010).
Meskipun Herd immunity buatan melalui vaksinasi sukses pada sebagian besar kasus infeksi, diharapkan juga dapat berdampak positif pada wabah COVID-19 ini.
Perkembangan vaksin COVID-19
WHO telah memetakan kandidat vaksin dan perkembangannya. Sekitar 124 kandidat vaksin telah diusulkan di seluruh dunia kepada WHO untuk dikaji dan dievaluasi bersama para peneliti dan vaccine developers (industri farmasi) untuk mempercepat penemuan vaksin yang aman. Menurut WHO, hingga kini terdapat 10 kandidat vaksin dalam evaluasi uji klinis dan sekitar 114 lainnya masih dalam tahap uji pra klinis. Kandidat vaksin SARS-COV-2 ini tentu diharapkan oleh masyarakat seluruh dunia untuk membentuk sel imun memori sehingga sewaktu-waktu virus menyerang tubuh kita sudah siap untuk segera mengeliminasi si virus.
Kandidat vaksin yang dibesut oleh Moderna dan National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) telah memasuki uji klinis fase I. Dalam uji klinis tersebut, delapan pasien yang menerima vaksin dosis rendah dan sedang membentuk neutralizing antibodies yang mirip dengan pasien COVID-19 yang telah sembuh. Per 21 Mei 2020, uji klinis fase II telah disetujui oleh WHO dengan kriteria 600 volunter sehat dengan pembagian setengahnya di rentang usia 18-55 tahun dan sisanya diatas 55 tahun dan akan segera menuju fase III
Pada mulanya, beberapa negara di eropa, seperti Inggris memberlakukan herd immunity alami terhadap wabah COVID-19. Lambat laun kebijakan ini menjadi bencana yang mana kasus positif di UK telah melebihi 250 ribu. Alhasil, pemerintah UK secara sigap, selain menerapkan kebijakan lockdown, segera membentuk The Oxford Vaccine Group yang diketuai oleh Prof. Andrew Pollard untuk mengembangkan vaksin baru SARS-COV-2 yang sudah masuk ke tahap uji klinis fase I pada lima ribu relawan sehat tanpa pembatasan usia per 23 April 2020. Namun kini, kabar menggembirakan datang. Vaksin COVID-19 Oxford sudah memasuki fase uji klinis fase II/III yang membutuhkan 10 ribu lebih volunter baik orang dewasa maupun anak-anak.
Di sisi lain, kandidat vaksin COVID-19 yang dikembangkan di China telah melewati uji klinis fase 1. Hasilnya menunjukkan bahwa vaksin aman digunakan dan menginduksi respon imun secara cepat.
Kandidat vaksin COVID-19 diperkirakan dapat diproduksi secara massal melalui industri besar farmasi untuk penggunaan publik di awal tahun 2021 untuk keperluan darurat.
Dalam kurun waktu ini, sembari menunggu kedatangan produksi vaksin COVID-19 secara massal, aktivitas yang dapat kita dilakukan untuk membantu pemutusan rantai penyebaran yaitu physical distancing, biasakan cuci tangan dengan sabun sesuai anjuran WHO, jaga daya tahan tubuh, tunda aktivitas di luar rumah, dan hindari kerumunan. Pada akhirnya, kita berharap herd immunity melalui vaksinasi dapat mengakhiri pandemi ini di tahun 2020.
Referensi
Birgitte Freiesleben de Blasio, B., et al., 2012, Effect of Vaccines and Antivirals during the Major 2009 A(H1N1) Pandemic Wave in Norway – And the Influence of Vaccination Timing, PLoS One, 7(1): e30018.
Kim, T. H, et al., 2011, Vaccine herd effect, Scand J. Infect. Dis., 43(9): 683–689.
Lang, P. O., et al., 2011, Influenza Vaccination in the Face of Immune Exhaustion: Is Herd Immunity Effective for Protecting the Elderly?, Influenza Research and Treatment, 2011: 1-6
Lu, L., et al., 2010, Herd immunity against new influenza A (H1N1) in pre-vaccinated residents aged over 5 years in Beijing, Chinese Journal of tuberculosis and respiratory disease, 33(6):403-405.
Mallory, M. L., et al., 2018, Vaccination-Induced Herd Immunity: SUccesses and Challenges, J Allergy Clin Immunol, 142(1): 64-66.
Nishiura, H., et al., 2020, Serial Interval of Novel Coronavirus (COVID-19) Infection, Int. J. Infect. Dis., 93:284-286.
Tang, A., et al., 2020, Detection of novel coronavirus by RT-PCR in stool specimen from asymptomatic child, China, Emerg Infect. Dis., 26(6).
Zhu, N., et al., 2020, A novel coronavirus from patients with pneumonia in China, 2019, The New England Journal of Medicine, 382(8):727–733.
Terimakasih untuk artikelnya yang sangat informatif. Saya juga ada artikel terkait “foodborne virus”, apakah berhubungan dengan covid-19 juga? Silahkan kunjungi https://warstek.com/2020/05/28/apa-itu-foodborne-virus/
Terimakasih. Semoga bermanfaat 🙂