
Kita semua pasti pernah menonton film yang bertema fiksi ilmiah atau yang populer disebut science fiction (Sci-Fi). Fiksi ilmiah merupakan salah satu genre film yang menampilkan berbagai khayalan atau spekulasi, namun masih dalam kerangka sains dan IPTEK. Biasanya dicirikan dalam bentuk kecanggihan teknologi, efek visual dan animasi yang spektakuler, penyebutan istilah-istilah yang terkesan ilmiah, imajinasi keadaan di masa depan, kemunculan makhluk asing, dunia paralel, dsb. Namanya juga khayalan, tentu saja peristiwa yang ditampilkan belum pernah terjadi di alam nyata atau tampak tidak masuk akal. Sebagian merupakan fenomena yang bisa dijelaskan atau diprediksi oleh ilmu pengetahuan konvensional, sebagian lagi memang murni khayalan dari sang penulis naskah alias belum pernah terpikirkan sebelumnya oleh ilmuwan mana pun, dan sebagian lagi jelas-jelas menampilkan adegan yang menabrak logika dan prinsip ilmiah.
Film fiksi ilmiah, khususnya film-film Hollywood, selalu menarik untuk ditonton oleh semua kalangan karena mampu membangkitkan imajinasi dan kekaguman terhadap adegan yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Selain menghibur, tema fiksi ilmiah juga bisa memberi motivasi, menguji logika, membuka pandangan baru akan suatu isu sosial dan politik, membuat mind blowing, mengingatkan akan ancaman dan bahaya yang mungkin datang di masa depan, dan tidak sedikit yang bahkan dapat memberikan inspirasi bagi para ilmuwan agar fantasi yang ditampilkan dapat terwujud di kehidupan nyata. Lebih lanjut, gambaran yang ada di film fiksi ilmiah secara tidak sadar dapat membentuk perspektif bersama akan rupa masa depan.
Sosok di balik layar
Proses pembuatan sebuah film fiksi ilmiah terutama yang masuk level Box Office sangatlah rumit, berbiaya tinggi, dan melibatkan banyak personel. Tidak hanya sutradara, penulis naskah, dan ratusan kru lainnya, namun juga memerlukan keberadaan konsultan ahli. Jumlahnya bisa satu orang atau lebih, tergantung pada tingkat kerumitan cerita yang hendak disajikan. Sosok inilah yang memberikan masukan bagi sang sutradara atau penulis naskah agar cerita dan adegan yang ditampilkan dapat semaksimal mungkin sesuai dengan logika dan berlandaskan sains konvensional.
Tidak sembarang orang yang bisa menjadi konsultan dalam produksi sebuah film. Selain harus memiliki keahlian di bidang tertentu seperti sains, komputer, teknik, atau kesehatan, ia juga harus cakap dalam berkomunikasi. Film fiksi ilmiah identik dengan peristiwa dan istilah-istilah sains yang rumit. Oleh karena itu, ia harus memikirkan bagaimana caranya agar konsep ilmiah yang akan dipakai dapat dimengerti oleh para kru film dan pesan yang hendak dibawa dalam film dapat sampai ke penonton yang mayoritas adalah orang awam. Film yang diangkat dari buku atau novel tidak jarang menjadikan penulisnya sendiri (tentu saja jika masih hidup) sebagai konsultan agar film yang dibuat bisa lebih hidup dan sejalan dengan apa yang dibayangkan oleh si penulis.
Setiap film bebas dalam mengusung konsep cerita dan tampilan. Akan tetapi, apabila suatu film terlalu banyak menampilkan hal-hal yang tidak masuk akal atau kesalahan-kesalahan elementer seperti banyak melanggar hukum alam yang telah umum diketahui atau tidak sesuai dengan metode konvensional, maka film tersebut akan tampak konyol, menuai banyak kritik, kehilangan daya tarik, dan terkesan dibuat asal-asalan (kecuali mungkin film komedi dan film untuk anak-anak ya). Misalnya saja, alih-alih secara serampangan membuat adegan manusia yang dapat bernapas di dalam air tanpa alat bantu, akan lebih menarik jika dibuat skenario yang menjelaskan bahwa manusia tersebut telah mengalami mutasi genetik atau merupakan hasil eksperimen. Di sinilah peran seorang konsultan berlatar belakang ahli biologi atau genetika dalam memberikan saran agar fenomena tersebut tampak lebih masuk akal.
Pentingnya kolaborasi antara dunia hiburan dan komunitas ilmiah
Tahukah Anda, apa rahasianya mengapa film-film fiksi ilmiah produksi Hollywood memiliki banyak keunggulan dan begitu populer? Salah satunya adalah karena adanya hubungan yang terjalin antara insan perfilman dengan kalangan ilmuwan. Di sana, ada sebuah program yang bernama The Science & Entertainment Exchange. Program yang berjalan sejak 2008 ini diinisiasi oleh Akademi Sains Nasional AS yang bertujuan mempertemukan para pelaku industri hiburan dengan para ilmuwan dan insinyur top untuk menciptakan sinergi antara sains dan alur cerita pada film atau program televisi. Mulai dari sekadar cek cepat hingga diberikan penjelasan khusus, program tersebut menyediakan akses yang cepat dan mudah bagi insan perfilman yang hendak berkonsultasi dengan para ahli dari berbagai disiplin ilmu. Keseriusan dalam memperhitungkan berbagai aspek sains yang muncul dalam film itulah yang menjadi nilai plus dari film-film Hollywood. Di sisi lain, dengan adanya program tersebut, media hiburan diharapkan dapat menjadi kendaraan untuk membantu menyampaikan informasi yang akurat tentang sains.
Dengan demikian, hubungan antara dunia perfilman dengan kalangan ilmuwan merupakan simbiosis mutualistis dan membentuk feedback loop. Dari konsep-konsep ilmiah, dapat lahir ide-ide baru untuk dijadikan film, tidak hanya film dokumenter, namun juga banyak yang bisa dikembangkan menjadi cerita fiksi. Selama sains dan IPTEK terus berkembang, tema fiksi ilmiah pun tidak akan pernah kehabisan ide dan kreativitas, bahkan kualitasnya akan semakin bagus, baik dari segi cerita maupun tampilan audiovisual.
Sebaliknya, kehadiran film fiksi ilmiah mampu memberikan dampak yang positif bagi perkembangan sains dan IPTEK itu sendiri. Imajinasi yang muncul dalam film seperti kecanggihan teknologi atau hipotesis baru tidak jarang memberikan ide bagi para ilmuwan untuk berinovasi dan mewujudkannya di dunia nyata. Jika hanya mengandalkan riset yang riil di lab, boleh jadi ide-ide brilian tersebut tidak pernah muncul atau membutuhkan waktu yang lama untuk terpikirkan. Film fiksi ilmiah dengan demikian memberikan tantangan dan ruang yang lebih luas bagi para ilmuwan untuk mengembangkan imajinasi yang mungkin tidak diperoleh di kehidupan nyata.
Dari segi edukasi, film adalah media yang paling menarik untuk mengenalkan sains dan perkembangan teknologi terkini pada khalayak umum. Sebuah film dapat ditonton oleh jutaan orang dan tidak sedikit yang percaya mentah-mentah apa yang dilihatnya dalam film tersebut. Oleh sebab itu, sangat penting untuk menghadirkan aspek ilmiah yang akurat pada setiap adegan yang ditampilkan agar tidak terjadi miskonsepsi massal.
Produksi film fiksi ilmiah juga membuka lapangan pekerjaan bagi sejumlah kru yang memiliki keahlian khusus, seperti ahli desain grafis, programer, ahli efek visual, animator, mekanik, teknisi, dll. Produsen perangkat lunak, peralatan, dan perlengkapan film pun ikut terdongkrak. Mereka lah yang menyuplai studio film dengan mendesain alat-alat khusus yang akan dipakai dalam syuting seperti kamera, drone, robot, laser, kendaraan, senjata, dll.
Film sebagai simulasi bagi ilmuwan
Bagi ilmuwan, film fiksi ilmiah dapat menjadi sarana simulasi yang murah untuk menuangkan teori atau hipotesisnya (misalnya tentang efek pemanasan global atau hilangnya peradaban suku Maya), dibandingkan ia harus membuatnya sendiri di lab atau di lapangan. Dari gambaran yang ditampilkan, akan muncul masukan-masukan baru baik dari pandangannya sendiri maupun dari ilmuwan lain sehingga ia dapat memperbaiki hipotesisnya tersebut. Jadi, tidak hanya berupa publikasi di jurnal ilmiah, film pun bisa membantu seorang ilmuwan dalam mengungkapkan dan mempopulerkan gagasannya.
Seperti yang dialami oleh Kip Thorne, ahli fisika terkemuka dan peraih nobel yang menjadi konsultan film Interstellar (2014)arahan sutradara Christopher Nolan. Untuk membuat tampilan visual seakurat mungkin dari lubang hitam (black hole) dan lubang cacing (wormhole) yang muncul dalam film yang bercerita tentang perjalanan luar angkasa itu, ia harus berkutat selama berbulan-bulan dengan persamaan-persamaan matematis dari teori relativitas umum Einstein. Bagaimana bentuk lubang hitam, kekuatan gravitasi, perilaku cahaya di sekitarnya, perkiraan suhu, efek radiasi yang ditimbulkan, dsb, diperhitungkannya dengan sangat teliti. Hasilnya, dengan bantuan CGI (computer-generated imagery) oleh tim efek visual Double Negative VFX, ia berhasil memvisualisasikan teorinya tersebut dan mendapatkan pandangan baru sebagai bahan penelitiannya di kemudian hari.
Sebagai catatan, para ilmuwan baru berhasil mendapatkan gambar sebuah lubang hitam yang sesungguhnya pada tahun 2019 dan ternyata mirip dengan apa yang digambarkan oleh Thorne di film tersebut. Menakjubkan bukan?
Cerita agak berbeda datang dari Jack Horner, seorang ahli paleontologi yang berhasil menarik perhatian jutaan orang lewat film Jurrassic Park (1993) garapan Steven Spielberg. Sebagai konsultan di film yang dipandang sebagai film tersukses tentang dinosaurus tersebut, ia berhasil memperkenalkan teorinya yang mengatakan bahwa dinosaurus bukanlah reptil yang berdarah dingin, melainkan nenek moyang dari burung modern yang berdarah panas. Teorinya tersebut awalnya kontroversial namun sekarang dapat diterima secara ilmiah. Bahkan, lewat sekuel berikutnya yang berjudul Jurrassic Park: The Lost World (1997), ia berhasil ‘menyingkirkan’ Robert Bakker , ahli paleontologi lain yang sering berbeda pendapat dengannya. Dalam film tersebut, atas permintaannya terdapat adegan di mana karakter rivalnya itu (disamarkan menjadi Dr. Robert Burke) dimangsa oleh T. rex. Jadi, tidak hanya sebagai media edukasi, sebuah film dapat menjadi alat atau kendaraan yang efektif bagi seorang ilmuwan untuk mendoktrin publik agar lebih menerima gagasannya dibandingkan gagasan orang lain.
Beberapa film juga mampu mendesak para pemegang kekuasaan untuk mengatasi isu-isu yang penting namun kurang mendapat perhatian. Film WarGames (1983) berhasil meyakinkan pemerintahan Presiden Reagan akan pentingnya cybersecurity. Penulis fiksi ilmiah Larry Niven dan Jerry Pournelle juga berhasil memengaruhinya untuk menyiapkan strategi pertahanan, khususnya dalam penguasaan teknologi luar angkasa. Film bertema pandemik seperti Outbreak (1995) dan Contagion (2011) menyadarkan banyak orang bahwa ancaman wabah penyakit itu nyata sehingga diperlukan protokol dan antisipasi sedini mungkin. Gambaran bencana alam dahsyat akibat tabrakan asteroid dalam film Deep Impact dan Armageddon (1998), walaupun alur cerita keduanya berbeda, telah membantu NASA mendapatkan kepercayaan publik dalam mendesain sistem untuk menghindari bencana semacam itu. Situasi Bumi pascabencana juga menjadi kajian bagi banyak ilmuwan dalam menyiapkan skenario yang memungkinkan umat manusia dapat bertahan dan melanjutkan kehidupan.
Ketika hiburan, seni, dan sains berpadu
Selain penampakan lubang hitam di layar lebar yang disebut-sebut paling akurat oleh banyak kalangan itu, film Interstellar juga menampilkan sejumlah adegan lain yang pembuatannya sangat rumit. Di antaranya adalah adegan ombak raksasa setinggi 4000 kaki ketika para astronot mendarat di suatu planet yang permukaannya diliputi air. Untuk membuat adegannya selogis mungkin, mereka membuat simulasi dengan mengambil ombak di Hawaii sebagai model. Lalu, ada adegan badai debu yang menerjang ladang jagung di mana mereka merujuk hasil riset badai sungguhan di gurun Afrika dan bencana badai debu Dust Bowl di AS tahun 1930-an. Sejumlah adegan di luar angkasa diilhami oleh gambar-gambar hasil misi Apollo tahun 1960 dan 1970-an, aktivitas astronot di stasiun luar angkasa ISS, hingga mengundang seorang mantan astronot bernama Marsha Ivins datang ke lokasi syuting untuk memberikan saran dan menceritakan pengalamannya secara detail. Walaupun tidak lepas dari berbagai kritik, film Interstellar pun akhirnya menyabet penghargaan Oscar untuk kategori efek visual terbaik, mengalahkan nominator dari film fiksi ilmiah lain seperti Guardians of the Galaxy dan X-Men: Days of Future Past.
Masih banyak contoh lain di mana adegan-adegan dalam film fiksi Hollywood digambarkan dengan sangat rinci dan begitu mendekati realitas, tidak terkecuali pada film-film animasi. Film Finding Nemo (2003) produksi Pixar mengharuskan para animator dan tim kreatifnya untuk mengambil mata kuliah Biologi Kelautan dan Oseanografi. Selain itu, mereka juga harus mengikuti kursus selam agar mendapatkan gambaran yang lebih riil mengenai kehidupan bawah laut, khususnya di perairan Great Barrier Reef, Australia. Sosok kunci di balik kesuksesan Finding Nemo dalam menampilkan kehidupan bawah laut secara detail adalah Adam Summers, seorang ahli biologi kelautan dan ilmu perikanan. Saat diminta menjadi konsultan oleh Pixar, ia masih bekerja pada program post-doc di Universitas California, Berkeley.
Karya Pixar yang lain di tahun 2012, yaitu Brave, menampilkan sosok seorang putri raja di daratan Skotlandia yang bernama Merida. Karakter yang digambarkan berambut merah keriting panjang dan lincah itu ternyata membuat para desainer dan animatornya harus menghabiskan waktu hampir tiga tahun hanya untuk mempelajari aspek fisika dari rambutnya. Mereka membuat simulasi komputer dengan memodelkan rambut merah keriting seperti pegas sehingga tampilannya ketika ia berlari, melompat, berkuda, terkena sinar matahari, tertiup angin, hingga dalam keadaan basah, benar-benar detail dan realistis.
Kita lihat bagaimana panjang dan rumitnya proses pembuatan sebuah film fiksi ilmiah yang berkelas. Selain berusaha memasukkan aspek ilmiah serealitas mungkin, juga harus tetap memperhitungkan aspek seni dan keindahan. Untuk menampilkan sisi hiburan, etika, dan kepentingan alur cerita, terkadang tidak semua aspek ilmiah dimunculkan. Biar bagaimanapun, dari sudut pandang penonton yang kebanyakan tidak paham sains, unsur keindahan dan efek visual yang spektakuler lah yang biasanya dicari. Akan tetapi di lain pihak, mereka yang kritis dan sedikit banyak mengerti sains atau aspek teknis, akan cenderung melihat seberapa akurat cerita dan adegan-adegan yang dimunculkan. Di sini lah pentingnya kolaborasi antara seorang sutradara, penulis naskah, tim efek visual, dan konsultan ahli yang ditunjuk dalam meramu semua aspek tersebut. Kesuksesan film Jurrassic Park, Interstellar, Finding Nemo, dll. membuktikan bahwa aspek sains tidak harus dikorbankan dalam sebuah film fiksi demi meraih popularitas.
Suka, Duka, dan Tantangan Menjadi Konsultan
Dari uraian sebelumnya, terlihat banyak sisi positif yang bisa dimanfaatkan oleh para ilmuwan ketika diminta menjadi konsultan ahli pada produksi sebuah film fiksi ilmiah. Selain ikut berperan di balik kesuksesan sebuah film, ia juga mendapatkan keuntungan dalam perjalanan kariernya sebagai peneliti. Asalkan ia punya kredibilitas, profesional, berjiwa kreatif, dan memiliki koneksi dengan kalangan perfilman, rasanya tidak sulit untuk bisa terlibat di dalamnya. Lebih lanjut, ada kepuasan tersendiri manakala ia berhasil mengenalkan dan mempopulerkan sains kepada banyak orang.
Namun demikian, berada di posisi tersebut juga menyimpan banyak cerita. Dari segi popularitas, tentu saja ia tidak setenar sutradara apalagi para pemain filmnya. Yang cukup mengejutkan, di balik mahalnya ongkos produksi film yang dikeluarkan, ternyata tidak semua konsultan mendapat bayaran. Seperti yang diungkapkan oleh Sean Carroll, fisikawan yang menjadi konsultan di balik film Thor dan Avengers: End Game, ada yang sekadar dimintai saran via surat elektronik oleh kru film atau mengobrol beberapa jam, tanpa tahu bagaimana proses pembuatan filmnya. Boleh jadi apa yang akhirnya ditayangkan sangat berbeda dengan konsep yang telah ia jelaskan. Ketika berdiskusi dengan sutradara, ada juga yang kurang antusias menerima masukan karena ia telah memiliki konsep sendiri (yang belum tentu akurat secara ilmiah). Tidak semua sutradara seperti Christopher Nolan atau Steven Spielberg yang begitu serius memperhitungkan aspek sains dalam film. Sebagian sutradara memang cenderung mementingkan aspek artistik dibandingkan aspek ilmiah dari sebuah adegan.
Tantangan terbesar bagi seorang konsultan ahli adalah bagaimana ia bisa merekayasa suatu hal yang tidak mungkin terjadi atau belum ada di dunia nyata menjadi tampak nyata dalam film. Namanya juga film fiksi, tentu ada alur cerita yang menuntut skenario tertentu agar suatu adegan dapat diterima secara akal sehat. Jika pakar sains lain biasanya mengkritik kesalahan-kesalahan yang ditampilkan dalam film, seorang konsultan justru sebaliknya. Ia harus berpikir keras bagaimana caranya agar adegan tersebut punya landasan ilmiah dan tampak masuk akal. Apabila menurut sains konvensional tidak memungkinkan, maka ia dapat menciptakan hukum alam fiktif atau menyusun teorinya sendiri. Jadi, alih-alih berseberangan pendapat dengan penulis naskah pada suatu adegan yang mustahil, ia justru harus membantunya agar ceritanya mendapat justifikasi secara ilmiah.
Jauh sebelum terlibat dalam produksi film Interstellar, Kip Thorne juga pernah dimintai saran oleh rekan sejawatnya, seorang novelis yang juga astronom terkenal, Carl Sagan. Dalam novelnya yang berjudul Contact (1983), Sagan membutuhkan masukan agar perjalanan antarbintang dalam novelnya itu terdengar logis. Cerita yang akhirnya diangkat ke layar lebar pada tahun 1997 dengan judul yang sama tersebut, Thorne mengusulkan perpindahan lintas dimensi via lubang cacing (wormhole). Lubang hipotetik (hingga saat ini belum dibuktikan keberadaannya) yang diambil dari teori relativitas umum Einstein tersebut menghubungkan dua titik yang terpisah jauh di alam semesta menjadi lebih dekat dengan cara melipat ruang dan waktu.
Kisah menarik dialami oleh Mika McKinnon, seorang wanita ahli geofisika, astronomi, dan komunikator sains yang ditunjuk sebagai konsultan dalam serial tv Stargate: Atlantis. Pada suatu episode, ia diminta oleh sang penulis naskah untuk membuat suatu fenomena bintang yang memancarkan radiasi mematikan tiap 46 menit sekali. Awalnya mereka menggunakan pulsar (sejenis bintang neutron yang memancarkan radiasi secara periodik), namun masalahnya adalah radiasi tersebut terlalu lemah untuk bisa mematikan. Oleh karena itu, McKinnon kemudian mengusulkan radiasi yang dihasilkan oleh sistem bintang ganda fiktif di mana salah satu bintang memberi energi pada bintang yang lain. Di luar dugaannya, fenomena yang mirip dengan apa yang diciptakannya untuk film tersebut ditemukan beberapa tahun kemudian melalui kolaborasi dua orang astronom (profesional dan amatir) dari benua yang berbeda. Hal yang sangat jarang terjadi ini tentu membuatnya bangga.
Referensi
- https://en.wikipedia.org/wiki/Science_fiction_film#Imagery (diakses 4 November 2020)
- https://www.wired.com/2019/01/geeks-guide-science-consultant (diakses 6 November 2020)
- http://scienceandentertainmentexchange.org (diakses 6 November 2020)
- https://www.theatlantic.com/science/archive/2018/10/first-man-sci-fi-science-feedback-loop/572821 (diakses 8 November 2020)
- https://factordaily.com/interstellar-kip-thorne-nobel-prize (diakses 9 November 2020)
- https://www.siggraph.org/the-visual-effects-of-interstellar-bridging-art-and-science (diakses 9 November 2020)
- https://www.wired.com/2014/10/astrophysics-interstellar-black-hole (diakses 10 November 2020)
- https://slate.com/technology/2018/10/reagan-wargames-star-wars-science-fiction-policy.html (diakses 14 November 2020)
- https://www.geekwire.com/2016/science-finding-dory-university-washington-professor-brought-movie-life (diakses 13 November 2020)
- https://insidescience.org/news/brave-features-hair-raising-animations (diakses 14 November 2020)
- https://sciencebehindpixar.org/pipeline/simulation/challenge (diakses 14 November 2020)
- https://www.inverse.com/article/18647-mika-mckinnon-stargate-star-trek-beyond-sci-fi-physics (diakses 16 November 2020)
- https://astronomy.com/news/2016/12/a-stellar-discovery-about-pulsars (diakses 14 November 2020)