Ditulis oleh Muhamad Syamsurizal
Tahukah kamu, terdapat hewan yang memiliki darah berwarna biru yang dihargai 200 juta per liter. Hewan ini bukanlah dari keturunan bangsawan, namun darah hewan ini berdarah biru yang memiliki segudang manfaat yang bisa menyelamatkan nyawa manusia. Hewan ini menjadi satu-satunya wakil dari keluarga prasejarah Xiphosurida yang masih bertahan hidup di bumi, dan bahkan hewan ini tidak mengalami perubahan bentuk sejak masa Devon (400-250 juta tahun yang lalu) dibandingkan dengan bentuknya yang sekarang (Adrian kin dan Błażej Błażejowski 2014).
Binatang itu adalah binatang laut mirip kepiting atau pari yang dikenal dengan nama Belangkas, atau Mimi Hitam, atau Kepiting Tapal Kuda (Horseshoe Crab) yang merupakan anggota suku limulidae. Belangkas memiliki nama latin Limulus polyphemus termasuk dalam hewan yang memiliki sendi (arthropoda), namun mereka lebih dekat kekerabatannya dengan serangga berkaki delapan (arachnida), seperti laba-laba dan kalajengking. Selama hidup mereka, belangkas memakan cacing, moluska atau ikan mati (Pratiwi 1993)
Belangkas bukanlah keturunan bangsawan, namun darah belangkas berwarna biru karena menggunakan hemosianin dalam tubuhnya. Hemosianin merupakan zat pengangkut oksigen dalam tubuh yang mengandung tembaga sehingga menyebabkan darah mereka menjadi berwarna biru. Menurut Vikash Kumar, et all 2015 darah mereka mengandung amebosit, yang memiliki peran mirip dengan sel darah putih dalam mempertahankan dirinya melawan infeksi yang disebabkan oleh virus, jamur, atau bakteri. Amebosit ini akan segera menggumpal menjadi bahan seperti gel yang bening, untuk mencegah mereka menyebarkan infeksi. Jika bakterinya berbahaya maka darah belangkas yang akan menggumpal
Darah belangkas ini sangat efektif terhadap uji endotoksin bakteri. Endotoksin adalah zat beracun yang berada pada bakteri, berada pada membran terluar dari dinding sel yang dapat bersifat toksin bila bakteri pecah atau mati, contohnya seperti bakteri E. Coli, salmonella dll. Endotoksin akan dilepaskan ketika sel-sel bakteri mati dan jika berhasil memasuki aliran darah endotoksin ini dapat membuat kita sakit diantaranya demam, hipotensi, keracunan makanan, bahkan obat yang mengandung endotoksin dapat menyebabkan kematian.
Darah ini digunakan untuk mengetes kontaminasi pada pembuatan segala sesuatu yang dimaksudkan untuk dimasukkan ke tubuh manusia, mulai dari vaksinasi, tetesan ke pembuluh darah hingga alat medis untuk dicangkokkan. Pengujian kontaminasi bakteri ini dilakukan dengan test yang disebut pewarnaan gram (gram stain) yang dapat mendeteksi keberadaan bakteri, tetapi test ini tidak dapat mengenali endotoksin yang bisa muncul meskipun tanpa keberadaan bakteri. Selanjutnya dilakukan proses sterilisasi yaitu proses pemanasan yang mana dilakukan untuk mematikan segala bentuk organisme, namun endotoksin ini dapat bertahan hidup walaupun telah dilakukan proses sterilisasi.
Akhirnya ilmuwan (Funkhouser pada tahun 2011 dalam Romadhon, dkk 2018) menggunakan ekstrak dari darah belangkas yang disebut LAL atau Limulus Amebocyte Lysate untuk menguji endotoksin, mereka menambahkan LAL ke sampel obat atau alat kesehatan dan jika gel terbentuk maka bisa dipastikan disitu terdapat endotoksin bakteri, test LAL ini bisa juga untuk menguji calon vaksin apakah vaksin ini berbahaya atau sudah aman
Bagaimana belangkas bisa memiliki keistimewaan dari ningrat ini ?
Seperti hewan invertebrata lainnya, belangkas memiliki sistem sirkulasi terbuka, ini berarti darah mereka tidak terkandung dalam pembuluh darah seperti darah kita. Sebaliknya darah belangkas mengalir bebas melalui rongga tubuh dan bersentuhan langsung dengan jaringan tubuh. Jika bakteri memasuki darah mereka tentu ini akan membahayakan belangkas karena bakteri dapat dengan cepat menyebar ke area yang luas, dan bahkan penelitian di Woods Hole Oceanographic Institution telah menunjukkan bahwa air laut mengandung lebih dari 1 juta bakteri Gram negatif per mililiter dan hampir 1 miliar bakteri dapat ditemukan per gram pasir di dekat pantai. Hal inilah yang menjadi jawaban mengapa belangkas membutuhkan respon imun yang sensitif
Namun keberadaanya kini semakin mengkhawatirkan, ada banyak bukti bahwa populasi mereka menyusut dan mereka dinyatakan terancam punah pada tahun 2014, penelitian yang dilakukan oleh Leschen dan Correia, 2010 (dalam Jordan Gannon, et all) telah menunjukkan bahwa hingga 15% belangkas mati dalam proses pengambilan darahnya dan penelitian terbaru yang dilakukan oleh Atlantic States Marine Fisheries Commisson, 2009 menunjukkan jumlah ini mungkin bisa lebih tinggi, terdapat pula belangkas betina yang tidak kembali bertelur di beberapa daerah di mana mereka banyak ditangkap (Anderson et al., 2013 dalam Jordan Gannon, et all), pengembangan kawasan daerah pesisir pantai juga menghancurkan situs bertelur belangkas, beberapa negara juga menganggap belangkas adalah kuliner yang lezat, nelayan juga menggunakannya sebagai umpan pancing, dan belangkas ini seringkali diselundupkan ke berbagai negara karena harganya yang menggiurkan.
Belangkas memiliki darah ningrat yang memiliki segudang manfaat. Namun, keberadaannya tidak dapat kita temui setiap saat. Oleh karena itu gerakan perlindungan hewan belangkas merupakan langkah yang tepat dengan cara tidak mengonsumsi belangkas secara berlebihan, melakukan budidaya belangkas, tidak melakukan pengembangan kawasan di daerah bertelurnya belangkas dan beberapa peneliti kini telah mulai bekerja untuk mensintesis darah belangkas di laboratorium agar ketergantungan terhadap darah hewan purba ini dapat segera teratasi.
DAFTAR PUSTAKA
- Gannon, Jordan, et all. (2018). The Role of Horseshoe Crabs in the Biomedical Industry and
Recent Trends Impacting Species Sustainability.
https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fmars.2018.00185/full - Kin, adrian and Błażej Błażejowski. (2014). The Horseshoe Crab of the Genus Limulus :
Living Fossil or Stabilomorph?.
https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0108036 - Kumar, Vikash, et all. (2015). Horseshoe crab and its medicinal values. International Journal
of Current Microbiology and Applied Sciences. 4(2): 956-964. - Pratiwi, Rianta. (1993). “Mimi” (“Horse Shoe Crab”) Penyebar Maut Yang Dilindungi.
Oseana. 18(1) : 25 – 34. - Romadhon, Selamet Suharto, dan Sumardianto.(2018). Karakteristik Darah Mimi (Tachypleus
gigas) sebagai Pendeteksi Bakteri Kontaminan Penghasil Endotoksin Pada Produk
Perikanan. Buletin Oseanografi Marina. 7(1): 9–14.