Ditulis oleh Izam Komaruzaman
Belakangan ini, nama Rangga Sasana menjadi perbincangan di kalangan warganet. Pembicaraannya di podcast Deddy Corbuzier yang bertajuk “Sunda Empire vs Titan vs Pemuda Tersesat” membuat heboh warganet. Hal ini dikarenakan klaim nyeleneh dari Rangga tentang Amerika yang dimerdekakan Banten, Jepang yang dibantu oleh Sumatera Barat atau Corona yang berasal dari matahari jelas menjadi bahan tertawaan warganet.
Kiranya teori-teori konspirasi yang dilontarkan Rangga ini sangat mirip dengan klaim nyeleneh flatearthers yang sampai sekarang masih terus eksis dan mendapat tempat di sebagian masyarakat.
Fenomena konspirasi ini sebenarnya bukan merupakan fenomena baru, bahkan istilah conspiracy theory telah muncul dalam jurnal Psychology News edisi tahun 1870. Namun, dengan merebaknya sosial media dan internet, teori konspirasi ini juga semakin cepat berkembang.
Lalu, kenapa orang percaya akan teori konspirasi?
Karen Douglas, seorang profesor dari Universitas Kent di Britania Raya dalam penelitiannya “The Psychology of Conspiracy Theories” menjelaskan beberapa alasan kenapa orang percaya terhadap teori konspirasi, diantaranya: alasan epistemik, eksistensial dan sosial.
Alasan Epistemik
Manusia memiliki rasa ingin tahu dalam dirinya, mereka juga menginginkan akan adanya kepastian dari informasi yang didapatnya. Inilah yang melatarbelakangi adanya teori konspirasi—ketidakpastian informasi yang terjadi membuat manusia mencari cara untuk berlindung dari ketidakpastian tersebut walaupun dari sumber yang salah.
Tidak hanya itu, kepercayaan terhadap teori konspirasi akan semakin meningkat ketika seseorang yang meyakininya menemukan kecocokan atau “pattern” dalam lingkungan—meningkat juga kepada mereka yang percaya hal-hal supranatural.
Misal, seseorang menemukan kabar bahwa vaksin berbahaya bagi tubuh. Kemudian secara kebetulan tetangganya mengalami sakit-sakitan sesaat setelah vaksinasi. Dua peristiwa kebetulan yang dicocokan itu menjadi suatu keyakinan bagi orang yang menerima informasi tersebut. Hal ini berkaitan dengan rasa penasaran dan rasa ingin mendapat kepastian informasi dari manusia meskipun pada akhirnya sumber dari kepastian informasi tersebut tidak benar.
Kurangnya kemampuan untuk berpikir kritis dan rasional membuat seseorang mudah terjerumus dalam teori konspirasi. Kurangnya kemampuan untuk menganalisis sebuah peristiwa juga termasuk faktor yang menyebabkan seseorang terjerumus dalam lingkaran konspirasi. Ini juga berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan seseorang.
Alasan Eksistensial
Alasan kedua yang dipaparkan oleh Karen (2017) adalah kecenderungan manusia untuk merasa aman dalam dunia yang ia tinggali. Beberapa penelitian menunjukan bahwa seseorang akan lebih percaya konspirasi saat mereka cemas dan merasa tak berdaya Grzesiak (2013). Seorang manusia yang merasa cemas dan tidak berdaya akan mencari pembenaran akan suatu peristiwa yang akan membuatnya merasa lebih aman.
Hal inilah yang biasa digunakan oleh seorang konspirator untuk menarik dukungan dari penontonnya, mereka akan memberikan keragu-raguan pada diri korban sehingga akan timbul kecemasan pada diri korban. Setelah itu para konspirator ini memasukan informasi-informasi yang berlawanan dengan keragu-raguan korban. Alhasil, korban merasa lebih percaya dan merasa aman dengan jawaban konspirator walaupun salah.
Alasan Sosial
Keinginan untuk tampil baik sebagai individu dan kelompok juga menjadi alasan kenapa seseorang percaya teori konspirasi. Seorang yang percaya akan teori konspirasi biasanya senang ketika dirinya mengetahui apa yang orang lain tidak ketahui. Mereka akan merasa bahwa orang lain yang tidak sepaham dengannya sebagai domba yang tidak tahu apa-apa. Perasaan yang didapat ketika memiliki informasi yang tidak dimiliki orang lain memberikan mereka perasaan superior terhadap yang lainnya.
Mereka juga biasanya menerapkan dualisme, dimana mereka anggap dirinya dan kelompoknya baik sementara kelompok lain jahat. Kita bisa lihat dari skenario-skenario konspirasi elit global yang terus didengungkan. Kita juga lihat bagaimana flatearthers menyalahkan NASA dan menganggap mereka jahat karena dianggap menyembunyikan suatu hal.
Di era digital ini, konspirasi yang mengarah ke misinformasi dan hoaks dapat cepat berkembang di masyarakat. Kurangnya kesadaran digital, sikap kritis dan analisis dari masyarakat membuat teori konspirasi ini terus muncul. Hal ini diperparah dengan kemalasan masyarakat untuk mencari berita dari sumber terpercaya.
Begitulah yang terjadi dewasa ini, bagaimana konspirasi bisa berkembang hingga menjadi misinformasi dan hoaks yang menembus berbagai dimensi masyarakat, menjangkau lebih besar dan terus menjalar seiring dengan kemalasan masyarakat dalam memilah informasi.
Daftar Pustaka
- Douglas, Karen M, Robbie M Sutton, and Aleksandra Cichoka. 2017. “The Psychology of Conspiracy Theories.” Psychological Science 538-542.
- Grezesiak-Feldman, M. 2013. “The effect of high-anxiety situations on conspircacy thinking.” Current Psychology 100-118.