Ditulis oleh Ridwan Balatif
Salah satu tantangan besar di era pandemi COVID-19 ini adalah menghadapi banyaknya informasi hoaks. Informasi hoaks ini tersebar sangat masif di media sosial dan sangat sulit mengendalikannya. Dampak dari informasi hoaks ini dapat memperlambat proses pengendalian pandemi COVID-19 karna ketidakpercayaan masyarakat terhadap adanya COVID-19 ini.
Sekitar bulan Oktober 2020 lalu, sempat booming munculnya orang-orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai aliansi dokter dunia atau World Doctors Alliance (WDA). Beberapa orang yang merupakan anggota dari WDA yakni Prof. Dolores Cahil, Dr. Mohammad Ali, Dr. Andrew Kaufman, Dr. Heiko Schoning. Dr. Heinrich Feichtner. Mereka memunculkan berbagai statement yang kontroversi seperti COVID-19 tidak semematikan flu, proses otopsi dilarang dan sebagainya Meskipun info ini sudah cukup lama, namun ada saja netizen yang masih mempercayai informasi dari WDA ini. Pada tulisan ini menyajikan fakta untuk membongkar hoaks yang dituliskan pada website worlddoctorsalliance.com.
Bagaimana faktanya?
Berdasarkan laporan dari Public Health England, jumlah kematian akibat influenza mencapai 372 jiwa, dihitung dari minggu ke-40 tahun 2017 – minggu ke-15 tahun 2018. Jumlah kematian ini dihitung berdasarkan dara dari Inggris, Skotlandia dan Irlandia Utara.1
Darimanakah datangnya angka 50.100 kematian tersebut?
Ternyata angka tersebut merupakan perkiraan Excess Winter Death (EWD) di Inggris dan Wales BUKAN kematian akibat flu, hal ini dilaporkan oleh Office for National Statistics. EWD adalah perbedaan jumlah kematian yang terjadi selama musim dingin (Desember – Maret) dibandingkan 4 bulan sebelumnya (Agustus – November) dan 4 bulan berikutnya (April – Juli).2 Jadi dapat dikatakan bahwa semua kematian yang terjadi selama musim dingin (tidak hanya flu saja) akan dimasukkan sebagai EWD ini.
Bagaimana perbandingan kematian akibat COVID-19 dengan flu?
Di Amerika Serikat, tingkat kematian akibat influenza musiman mencapai 0,16% kasus influenza (39-56 juta kasus) sedangkan tingkat kematian akibat COVID-19 mencapai kasus 5,3% kasus COVID-19 (740 ribu kasus), data dihitung sampai bulan April 2020.3 Studi Piroth dkk (2020), remaja (11-17 tahun) yang dirawat inap akibat COVID-19 memiliki risiko kematian 10x lebih tinggi dibandingkan influenza.4
Faktanya banyak negara telah melakukan otopsi pada pasien COVID-19. Negara-negara yang pernah melakukan otopsi pada pasien COVID-19 adalah Jerman, China, Amerika Serikat, Jepang, Italia dan masih banyak lagi.5-9
Dari penelusuran referensi yang dicantumkan pada website WDA ini didapatkan sumbernya berasal dari artikel yang dipublikasikan di British Medical Journal. Namun pada artikel tersebut sama sekali tidak ada menyebutkan bahwa virus corona belum dimurnikan. Pernyataan virus corona belum dimurnikan ini di gaungkan oleh Dr Andrew Kaufmann BUKAN oleh penulis artikelnya.
Pemurnian virus maksudnya adalah mendeteksi keberadaan virus secara spesifik tanpa adanya gangguan lain (misalnya sampel yang berisi sel inang, virus, protein dan sebagainya). Faktanya teknik Quantitative Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-qPCR) dapat mendeteksi spesifik SARS-CoV-2. Primer yang digunakan pada RT-qPCR dapat mendeteksi 99% spesifik untuk SARS-CoV-2 dari 583 sampel virus (database NGDC) dan 20.604 dari database NCBI.10 Selain itu, gambar virus SARS-CoV-2 berhasil diabadikan pada penelitian Bao dkk (2020). Virus tersebut berhasil diisolasi dari paru mencit transgenik yang telah diinfeksi SARS-CoV-2. Mencit transgenik pada penelitian ini maksudnya mencit tersebut telah disisipi gen agar sel pada mencit dapat membentuk reseptor ACE2 (reseptor ini diperlukan agar virus corona dapat menginfeksi sel targetnya).11
Gambaran SARS-CoV-2 yang diisolasi dari paru mencit transgenik11
Berdasarkan dari hasil penelusuran sumber yang dicantumkan di website ini malah memberikan sumber yang menjelaskan tentang efek terapi vitamin D kepada pasien COVID-19. Pada artikel yang ditulis oleh Castillo dkk (2020) tidak ada menjelaskan seberapa besar false positive PCR maupun mengenai gelombang kedua pandemi.
Studi yang dilakukan oleh Katz dkk (2020), mendapatkan bahwa false positive pemeriksaan PCR untuk SARS-CoV-2 sekitar 7,1%, studi lainnya mendapatkan bahwa false positive PCR untuk SARS-CoV-2 mencapai 11%.12,13 Yang dimaksud sebagai false positive ialah ketika seseorang yang benar-benar sehat namun ketika diperiksa memberikan hasil positif sakit.
Penelusuran artikel yang dimuat pada website WDA ini membawa ke artikel yang dipublikasikan di British Medical Journal. Pada artikel ini menjelaskan mengenai kehidupan orang Somalia di Swedia yang kurang terpapar sinar matahari sehingga kadar vitamin D dalam tubuh pada orang Somalia sangat sedikit. Perlu digarisbawahi bahwa pada artikel ini TIDAK ADA menjelaskan tindakan pencegahan berupa konsumsi hidroksiklorokuin (HCQ), vitamin C, dan zink terhadap infeksi corona. Selain itu diakhir penjelasan artikel ini, penulis artikel tidak begitu yakin bahwa pemberian vitamin D akan membantu sebagai tindakan pencegahan COVID-19.
Penggunaan HCQ tidaklah bermanfaat sebagai pencegahan infeksi virus corona. Hal ini dibuktikan melalui studi Abella dkk (2020) bahwa jumlah orang yang terinfeksi dari kelompok intervensi (diberikan HCQ) sebanyak 4 dari 64 orang sedangkan kelompok kontrol (diberikan plasebo) sebanyak 4 dari 61 orang, hal ini tidak memiliki perbedaan yang signifikan.14 Penelitian lainnya menunjukkan bahwa tingkat kesembuhan pemberian HCQ pada kasus pasien dengan COVID-19 bergejala tidak signifikan terhadap kelompok kontrol (pasien COVID-19 diberikan obat antiviral).15
Penggunaan HCQ secara sembarangan justru dikhawatirkan akan menimbulkan efek samping yang berbahaya berupa gangguan irama jantung.16
Penelusuran sumber informasi dari pernyataan di website ini menggunakan sumber data kematian dari file excel National Health Service (NHS), namun justru pada file tersebut sama sekali tidak ada indikator yang menyatakan bahwa pandemi COVID-19 ini telah berakhir sejak Juni 2020.
Terlihat jelas bahwasanya, kita haruslah bijak dalam memilah milih informasi. Informasi yang kabarnya ditulis oleh para “ahli” tidak memberikan jaminan bahwa informasi tersebut 100% benar. Haruslah kritis dalam menerima setiap informasi yang ada agar tidak menyesatkan diri dan juga orang lain.
Referensi