Indonesia memiliki lahan gambut yang luas dan tersebar di berbagai pulau, berperan penting dalam ekosistem global karena kemampuannya menyimpan karbon dalam jumlah besar. Namun, lahan gambut di negara ini menghadapi berbagai tantangan yang memengaruhi keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat. Pengelolaan lahan gambut menjadi isu penting dalam diskusi lingkungan, dengan banyak permasalahan yang timbul akibat konversi lahan untuk pertanian dan perkebunan. Aktivitas ini dapat mengurangi peran gambut sebagai penyangga iklim. Selain itu, praktik pembakaran lahan untuk membuka area sering kali menjadi penyebab utama kabut asap di beberapa wilayah. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang kondisi lahan gambut sangat diperlukan untuk menyusun strategi pengelolaan yang efektif dan berkelanjutan. Tujuan utamanya adalah menjaga fungsi lahan gambut sebagai habitat penting, penyimpan karbon, dan sumber mata pencaharian masyarakat.
Keajaiban Gambut Nusantara
Lahan gambut Indonesia menyimpan karbon terbesar di bumi. Berdasarkan data dari Global Wetlands, Indonesia merupakan negara dengan lahan gambut terbesar kedua setelah Brazil dengan luas mencapai 22,5 juta hektare (ha). Luas lahan ini juga berakar pada dinamika tanahnya yang unik. Gambut terbentuk dari akumulasi bahan organik yang terendam air selama ribuan tahun. Proses ini menciptakan tanah yang kaya akan bahan organik namun sangat asam, dengan pH berkisar 3-5. Kondisi ini menjadikan gambut sulit dikelola untuk pertanian konvensional tanpa modifikasi besar.
Selain itu, gambut memiliki sifat hidrofilik yang ekstrem. Tanah ini dapat menyerap air hingga 10-20 kali berat keringnya, menjadikannya seperti spons besar yang mencegah banjir di musim hujan. Namun, jika dikeringkan, gambut menyusut, retak, dan menjadi sangat mudah terbakar. Pengeringan lahan untuk perkebunan sawit atau pertanian seringkali memicu bencana ekologis seperti kebakaran hutan dan pelepasan karbon besar-besaran ke atmosfer.
Ancaman dan Luka
Degradasi tanah gambut di Indonesia menciptakan efek domino yang merusak. Saat tanah gambut mengering, lapisan organiknya teroksidasi, melepaskan karbon yang tersimpan selama ribuan tahun ke udara sebagai COâ‚‚. Proses ini mengubah tanah gambut menjadi sumber emisi karbon alih-alih penyerap karbon. Pada saat yang sama, pengeringan ini menyebabkan tanah turun (subsiden), memperbesar risiko banjir di wilayah pesisir.
Kondisi ini sering diperparah oleh kebakaran, yang tidak hanya menghancurkan ekosistem tetapi juga mengubah lapisan gambut yang lebih dalam menjadi abu. Kebakaran gambut, yang biasanya sulit dipadamkan karena api merambat di bawah permukaan, menyumbang sebagian besar kabut asap yang melanda Asia Tenggara setiap tahunnya.
Tanah Gambut dan Fungsi Vitalnya
Tanah gambut, dengan karakteristiknya yang unik, telah berfungsi sebagai penyimpan air dan penyerapan karbon yang sangat penting. Di permukaannya yang lembap dan asam, gambut menyimpan cadangan air yang besar, yang tidak hanya menopang kehidupan flora dan fauna khas daerah tersebut, tetapi juga berperan sebagai penyaring alami bagi air. Namun, kerusakan yang ditimbulkan oleh pembukaan lahan secara besar-besaran mengakibatkan tanah gambut kehilangan kemampuan ini. Pembakaran hutan dan lahan, yang sering terjadi saat musim kemarau, memicu pelepasan karbon yang dahsyat, memperburuk perubahan iklim.
Restorasi tanah gambut tidak hanya soal ekosistem, tetapi juga pemulihan fungsi tanah itu sendiri. Program Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) hadir sebagai jawaban untuk pemulihan ekosistem ini. Melalui pendekatan berbasis alam, salah satunya dengan pembangunan sekat kanal, BRGM berupaya untuk menjaga kelembapan tanah gambut. Sekat kanal, yang dibangun untuk mencegah aliran air berlebihan ke dalam kanal, memungkinkan tanah gambut tetap terjaga kelembapannya. Hal ini penting, karena tanah gambut yang kering akan lebih mudah terbakar dan melepaskan karbon ke atmosfer. Dengan menjaga kelembapan tanah, proses pembasahan kembali dimulai—sebuah langkah vital yang mengembalikan fungsi tanah gambut sebagai penyimpan air dan karbon.
Revegetasi: Menyemai Harapan untuk Masa Depan
Namun, restorasi tanah gambut tidak hanya tentang menahan air. Ada dimensi lain yang tidak kalah penting, yaitu revegetasi atau penanaman kembali vegetasi asli gambut. Tanaman asli, seperti sagu dan jelutung, memiliki adaptasi luar biasa terhadap kondisi tanah gambut yang asam dan basah. Dalam lingkungan yang keras ini, tanaman-tanaman tersebut tumbuh dan berkembang, memperkuat tanah gambut yang rapuh dan mencegah erosi.
Sagu, misalnya, yang dikenal sebagai tanaman yang sangat adaptif terhadap tanah gambut, tidak hanya berfungsi sebagai penyokong kehidupan ekosistem, tetapi juga sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat sekitar. Daging sagu yang kaya pati telah menjadi makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat di daerah gambut. Selain itu, jelutung yang dikenal dengan getahnya yang digunakan dalam industri karet juga memberikan peluang ekonomi tambahan.
Kehadiran tanaman ini tidak hanya membantu pemulihan tanah secara ekologis, tetapi juga memberi manfaat sosial dan ekonomi. Masyarakat sekitar yang sebelumnya bergantung pada pembukaan lahan untuk perkebunan besar kini diajak untuk berpartisipasi dalam program restorasi gambut yang memberikan mereka sumber pendapatan yang lebih berkelanjutan. Dengan dukungan pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat, program ini telah menciptakan lapangan kerja baru dan memberdayakan masyarakat untuk menjaga tanah mereka sebagai warisan alam yang bernilai.
Tanah yang Tidak Bisa Diperlakukan Sembarangan
Tanah gambut bukanlah tanah biasa. Keasaman yang sangat tinggi dan kapasitas retensi air yang luar biasa membuatnya sangat berbeda dari jenis tanah lainnya. Tanah ini dapat menyerap air dalam jumlah yang sangat besar, sehingga menjadikannya sebagai penyimpan cadangan air alami yang penting bagi ekosistem sekitarnya. Namun, keunikan ini juga menjadikannya rapuh.
Begitu gambut terpapar pada aktivitas manusia, seperti pembukaan lahan untuk perkebunan atau pembakaran untuk lahan pertanian, dampaknya bisa sangat merusak. Tanah gambut yang kering mudah terbakar, melepaskan karbon dalam jumlah besar, dan mengubah ekosistem yang kaya menjadi lahan gersang. Proses ini bukan hanya menghancurkan keanekaragaman hayati, tetapi juga memperburuk perubahan iklim global. Namun, dengan pemahaman yang mendalam tentang sifat gambut, kita bisa belajar untuk beradaptasi dengan kondisi ini, dan bahkan memanfaatkannya dengan cara yang ramah lingkungan.
Paludikultur untuk Melindungi Gambut
Salah satu pelajaran terbesar yang muncul dari krisis ini adalah perlunya pendekatan baru dalam pertanian yang sesuai dengan karakteristik gambut. Salah satunya adalah paludikultur, sebuah konsep yang memperkenalkan pertanian di lahan gambut tanpa mengeringkan tanah. Berbeda dengan cara konvensional yang mengharuskan pengeringan tanah untuk memulai pertanian, paludikultur justru mempertahankan kelembapan gambut agar tidak mengganggu struktur tanah dan ekosistem yang ada.
Pendekatan ini bukan hanya sekadar tentang pertanian. Paludikultur adalah cara untuk berinteraksi dengan alam, bukan melawannya. Dengan mempertahankan kelembapan gambut, tanaman yang cocok untuk tumbuh di tanah basah—seperti sagu, jelutung, dan tanaman pakan ternak—dapat berkembang dengan baik tanpa merusak struktur tanah. Ini adalah model pertanian yang berkelanjutan yang memastikan bahwa tanah gambut tetap dapat dimanfaatkan secara produktif, tanpa kehilangan fungsi alaminya sebagai penyimpan air dan karbon.
Pelajaran dari Dinamika Tanah Gambut
Keunikan tanah gambut mengajarkan kita banyak hal. Pertama, kita belajar bahwa alam memiliki cara-cara unik untuk mendukung kehidupan, tetapi jika tidak dipahami dengan baik, kita bisa dengan mudah merusaknya. Keberlanjutan tidak hanya tentang menjaga alam untuk generasi yang akan datang, tetapi juga tentang beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan menggunakan sumber daya alam dengan bijaksana.
Pelajaran kedua adalah tentang fleksibilitas. Gambut, meskipun rapuh, memberikan kita ruang untuk berinovasi. Melalui paludikultur, kita dapat memanfaatkan tanah gambut secara berkelanjutan tanpa mengorbankan ekosistem yang ada. Pendekatan ini adalah contoh bagaimana kita dapat menemukan solusi yang harmonis antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam.
Pada akhirnya, dinamika tanah gambut mengajarkan kita bahwa menjaga ekosistem alam bukanlah tugas yang mudah, tetapi itu adalah tugas yang perlu kita lakukan dengan penuh perhatian. Ketika kita belajar untuk menghargai dan memahami keunikan gambut, kita juga belajar untuk menjaga tanah kita, tidak hanya untuk hari ini, tetapi untuk masa depan yang lebih berkelanjutan.
Menyelamatkan Gambut, Menyelamatkan Masa Depan
Berbicara tentang restorasi tanah gambut bukan hanya tentang menyelamatkan lingkungan, tetapi juga tentang menjaga kehidupan manusia di sekitarnya. Dalam menghadapi ancaman perubahan iklim, langkah-langkah kecil yang dilakukan dengan penuh perhatian terhadap alam ternyata dapat memberikan dampak besar bagi masa depan. Setiap sekat kanal yang dibangun, setiap tanaman yang ditanam, dan setiap petani yang beralih ke metode pertanian yang lebih ramah lingkungan adalah bagian dari perjalanan panjang pemulihan yang melibatkan banyak pihak.
Di tengah krisis yang melanda, tanah gambut yang telah lama rusak mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Tanah yang lembap, tanaman yang tumbuh dengan subur, dan masyarakat yang lebih sejahtera adalah bukti nyata bahwa restorasi gambut bukan hanya sebuah harapan kosong. Ini adalah upaya nyata yang meskipun sulit, memberikan harapan bagi lingkungan dan manusia. Dan di sini, di tanah gambut yang dahulu terlupakan, kini ada harapan baru untuk masa depan yang lebih hijau dan lebih berkelanjutan.
Referensi
[1] Solusi Permanen, Jaga Gambut Tetap Basah. https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/sosial/solusi-permanen-jaga-gambut-tetap-basah#:~:text=Berdasarkan%20data%20Global%20Wetlands%2C%20Indonesia,sebesar%2031%2C1%20juta%20ha. diakses pada 05 Desember 2024
[2] BRGM jadikan partisipasi masyarakat program utama pemulihan gambut. https://www.antaranews.com/berita/4275683/brgm-jadikan-partisipasi-masyarakat-program-utama-pemulihan-gambut#:~:text=Badan%20Restorasi%20Gambut%20dan%20Mangrove%20(BRGM)%20menjadikan,program%20utama%20dalam%20upaya%20pemulihan%20ekosistem%20gambut diakses pada 05 Desember 2024
[3] Paludikultur Dukung Ketahanan Pangan Program PEN. Paludikultur Dukung Ketahanan Pangan Program PEN. diakses pada 05 Desember 2024
[4] Apa Itu Land Subsidence? https://pusatkrisis.kemkes.go.id/apa-itu-land-subsidence diakses pada 06 Desember 2024