Perjuangan Saintis-Perempuan dalam Diskursus Ilmu Pengetahuan

Sejak bergulirnya masa renaisans (1600 – 1800) atau lebih khususnya pada revolusi Amerika 1776 dan revolusi Perancis 1792, posisi kaum […]

lisemeitner_ignotofsky

Sejak bergulirnya masa renaisans (1600 – 1800) atau lebih khususnya pada revolusi Amerika 1776 dan revolusi Perancis 1792, posisi kaum perempuan (feminin) yang dianggap lemah atas kaum laki-laki (maskulin) menjadi sebuah diskursus tersendiri.

Feminisme sebagai salah satu aliran filsafat yang sekaligus menjadi sebuah gerakan, masih terus membangkitkan perlawanan atas budaya patriarki yang memarginalkan peran kaum perempuan terhadap laki-laki; baik dalam lingkup tatanan sosial, kelas, gender dan tidak terkecuali dalam hal masyarakat ilmiah (sains). Hal ini sejalan dengan data di laman UNESCO – hanya sekitar 30% peneliti perempuan di seluruh dunia.

Merujuk pada sejarah, kaum perempuan memang pertama kali diterima secara massal untuk masuk di perguruan tinggi sekitar akhir abad-19. Sehingga dari situlah dimulainya hak perempuan dalam bidang akademik dapat terpenuhi.

Bangkitnya sains-feminis

sains bukan tidak terlihat tanpa jenis kelamin, tapi ia memang seorang pria”. Begitu ungkapan dari seorang aktivis feminis 1970-an, Adeline Virginia Woolf.

Sejak dulu, sains selalu bersifat androsentris; berpusat pada laki-laki. Kaum laki-laki dianggap sebagai sumber segalanya; pengetahuan dan kekuatan. Sehingga perempuan dianggap lemah dan tidak mampu bersaing, lebih-lebih dalam ranah epistemologi sains.

Masalah ini sering dialami langsung oleh para saintis-feminis. Elizabeth Garrett Anderson misalnya. Perempuan asal London ini berjuang keras dalam memperjuangkan haknya untuk menimba ilmu di sekolah kedokteran Inggris. Namun ia selalu mendapat penolakan, hingga akhirnya dia berangkat ke Perancis dan mendapatkan gelar kedokterannya di Universitas Paris, Perancis.

Namun perjuangannya tidak cukup sampai disitu. Dengan ijazah yang dimilikinya, ia ditolak oleh British Medical Register untuk diakui kualifikasinya sebagai seorang dokter. Dengan alibi sepanjang abad-19 tidak pernah terdengar dokter perempuan di Eropa.

Anderson kemudian mendirikan rumah sakit sendiri dengan seluruh pekerjanya dari kaum perempuan, sampai akhirnya pada 1876 terbitlah UU yang mengijinkan perempuan untuk berprofesi sebagai tenaga medis. Dari hasil perjuangan tersebut, dia menjadi perempuan pertama yang memenuhi syarat sebagai dokter dan ahli bedah di Inggris.

Dalam kasus lain, Marie Curie juga pernah didiskriminasi oleh Komite Nobel ketika Pierre Curie dan Henri Becquerel direkomendasikan sebagai penerima nobel sains dibidang fisika 1903. Ia tidak diakui atas peranannya dalam riset tentang fenomena radioaktivitas itu. Beruntung saja rekan kerja yang sekaligus suaminya, Pierre Curie berhasil memperjuangkan hak istrinya sebagai salah satu yang berjasa dalam penelitian tersebut.

Tidak hanya itu, Marie juga ditolak untuk dijadikan sebagai anggota di French Academy of Sciences tahun 1911. Padahal ia adalah perempuan pertama yang memenangkan hadiah nobel dua kali. Hingga akhirnya dia bersama anak perempuannya, Irene Joliot-Curie membangun Institut du Radium dengan 45 pekerjanya adalah perempuan. Sejak masa itu, mereka dianggap sebagai tokoh inspiratif perempuan dalam bidang sains versi New Scientist sekaligus sebagai martir bagi dunia sains versi The New York Times.

Perempuan dalam nobel sains

Sejauh ini, telah dibukukan sekitar 23 perempuan sebagai penerima nobel sains sejak 1901-2020; empat orang dibidang fisika, tujuh dari bidang kimia, dan bidang fisiologi/kedokteran melengkapi sisanya yang lain.

Pemberian hadiah nobel sendiri berawal dari sebuah pesan wasiat dari seorang ahli kimia penemu dinamit kelahiran Stockholm, Swedia, Alfred Bernhard Nobel yang meninggal pada 10 Desember 1896 diusianya yang ke-63 tahun.

Nobel berpesan bahwa sebagian besar kekayaan yang dimilikinya bisa dipakai untuk memberikan hadiah kepada siapapun yang telah berjasa bagi kemaslahatan orang banyak. Hadiah ini kemudian dikenal sebagai Hadiah Nobel dan dikelola oleh lembaga swasta-Yayasan Nobel Fondation di Stockholm, Swedia. Hingga kini, penghargaan tersebut diperuntukkan bagi orang yang berjasa dibidang kimia, fisika, fisiologi/kedokteran, sastra serta yang berjasa untuk perdamaian.

Secara historis, hadiah nobel sains perempuan pertama kali diraih oleh Marie Curie bersama Pierre Curie dan Henri Becquerel tahun 1903; dalam riset mereka tentang radioaktif. Dan tidak butuh waktu lama, tahun 1911 ia kembali memperoleh hadiah nobel atas jasanya pada pemurnian unsur polonium dan radium. Temuan inilah yang sekaligus sebagai jalan pembuka dalam penemuan neutron dan radioisotop pada masa setelahnya.

Pekan pertama bulan Oktober 2020, para saintis kembali dikejutkan dengan terpilihnya tiga orang perempuan sebagai pemenang hadiah nobel sains, dua orang dibidang kimia dan satu lagi dibidang fisika.

Andrea Ghez merupakan ilmuan fisika perempuan dari Amerika yang berhasil membuktikan adanya lubang hitam yang menjadi konsekuensi logis dari teori relativitas Einstein. Ghez bersama Reinhard Genzel dan Roger Penrose mengembangkan metode yang dapat menyeimbangkan distorsi dari atmosfer bumi untuk menemukan lubang hitam dari pusat galaksi bima sakti.

Sementara itu, dua orang dari bidang kimia mengembangkan metode Clustered regular interspaced short palindromic repeats dengan penambahan protein Cas9 atau disingkat CRISPR/Cas9. Metode ini memberikan kemampuan pada mikroba untuk mengenali urutan genetik yang tepat dan cocok dengan virus atau penyerang lain dalam tubuh mikroorganisme dan menjadikan urutan DNA atau genom dari seluruh spesies makhluk hidup dapat dimodifikasi. Sehingga sangat berguna sebagai metode pengobatan kanker maupun penyakit genetik lainnya.

Kedua penemu tersebut ialah Emmanuelle Charpentier, ilmuan patogen asal Perancis yang bertugas di Institut Max Planck, Berlin, Jerman. Dan Jennifer A Doudna merupakan professor dari Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat.

Atas capaian tersebut, mereka mengharapkan bahwa berita ini dapat menjadi pesan positif sekaligus dapat menginspirasi perempuan lain yang memiliki minat dalam bidang sains dan sekaligus menunjukkan kepada masyarakat bahwa saintis perempuan juga dapat memberikan dampak positif dari hasil kegiatan riset yang mereka tekuni.

Saintis-feminis sebagai superhero

Layaknya cerita superhero dalam komik Amerika, Wonder Woman karangan William Moulton Marston 1940-an, bahwa perempuan akan bangkit untuk memimpin dunia dimasa depan dan menjadi penyelamat bagi umat manusia.

Hal ini telah nyata dibuktikan oleh saintis-feminis yang berjuang dalam bidang sains. Mereka adalah superhero dunia nyata. Misalnya saja, Marie Curie yang berhasil mengembangkan radiografi bergerak yang dia sebut sebagai “Petites Curies” yang kemudian banyak membantu operasi korban Perang Dunia I yang terluka. Dan ia mendedikasikan seluruh hidupnya sebagai ilmuwan yang banyak membantu masyarakat Perancis kala itu.

Cerita yang lain datang dari seorang aktivis AIDS perempuan asal Perancis bernama Francoise Barre-Sinoussi. Ia adalah seorang ahli virologi yang mendedikasikan hidupnya untuk berjuang melawan penyebaran penyakit AIDS seluruh dunia, karena memang seharusnya saintis hadir untuk kepentingan umat manusia.“We are not making science for science. We are making science for the benefit of humanity”. Katanya seperti yang dikutip dalam nobelprize.org.

Usahanya membuahkan hasil ketika obat antiretrovirus telah nyata ditemukan, sehingga ia berhasil menyelamatkan hidup manusia yang memiliki penyakit AIDS. Dan hal itu juga yang mengantarkannya pada penemuan penyakit HIV sekaligus menjadikannya sebagai penerima nobel sains dibidang kedokteran tahun 2008.

Selain itu, ada seorang perempuan asal Ningbo, China. Ia adalah Tu Youyou, perempuan yang berhasil menjadi penerima nobel bersama dua rekannya dalam bidang kedokteran tahun 2015.  Hadiah ini diberikan atas keberhasilannya dalam mengekstraksi senyawa artemisinin untuk dijadikan sebagai obat herbal penyakit malaria.

Karena totalitasnya dalam mengabdi, dengan sukarela dia mengorbankan kehidupan pribadinya demi orang banyak, dan bahkan menjadi orang yang pertama dalam uji coba obat yang ditemukannya itu. Maka sangat pantas jika ia dikatakan sebagai pahlawan yang menyelamatkan jutaan nyawa manusia.

Dari seluruh pencapaian perempuan diatas, bukan tidak mungkin jika dimasa depan kaum perempuan dapat memimpin dunia seperti yang diyakini oleh pengarang komik Wonder Woman tadi. Sebab perempuan juga dapat bersaing dengan laki-laki dalam hal ilmu pengetahuan, sehingga narasi diskriminatif yang menyatakan perempuan hanya sebagai pembantu laki-laki dalam mengurus pekerjaan rumah tangga harus dihilangkan.

Referensi:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top