Mahasiswa PhD atau mahasiswa doktoral adalah mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan S3. Antar negara, sistem S3 sedikit berbeda. Misalkan di Amerika Serikat, program doktoral adalah program paska sarjana yang fokus kepada penelitian sehingga untuk mengambil program doktoral tidak perlu sudah lulus program master. Bisa jadi program master adalah salah satu bagian dari program doktoral. Sedangkan di Indonesia dan Jepang, program master dan program doktoral adalah dua program yang terpisah. Beberapa program memang ada pengecualian, seperti PMDSU di Indonesia, PhD in Human Biology di Jepang atau program Humanities di US.
PhD adalah singkatan dari Philosopiae Doctor atau Doctor of Philosophy. Meskipun namanya Philosophy tetapi yang dipelajari tidak selalu filosofi. Nama ini dipertahankan karena zaman-zaman dulu, biasanya orang-orang keren dan pinter adalah mereka yang penuh dengan filosofi. Karena sulitnya program PhD atau doktoral ini. Beberapa membuat plesetan PhD dengan Pizza hut Delivery, terutama mereka yang sekolah keluar negeri dengan beasiswa tertentu. Karena beasiswa belum turun akhirnya mereka kerja paruh waktu menjadi pengantar pizza. Ada pula yang membuat plesetan Permanent head Damage. Mungkin plesetan terakhir ini lebih tepat berdasarkan hasil penelitian dari Ghent University, Belgia.
Dari survey yang dilakukan terhadap 3659 orang mahasiswa S3 di Belgia, 51% mengalami tanda-tanda setidaknya 2 masalah mental, 40% mengalami tanda-tanda setidaknya 3 masalah mental dan 32 % mengalami tanda-tanda setidaknya 4 masalah mental. 41% diantaranya merasa dalam tekanan, 30% tidak bahagia dan depresi, 28% kurang tidur dan merasa khawatir, 26% tidak mampu mengatasi kesulitan, 25% merasa tak dapat menikmati aktifitas sehari-hari, 24% merasa tidak percaya diri. Prevalensi untuk memiliki kelainan mental pada mahasiswa S3 2,43 lebih tinggi dibandingkan orang yang berpendidikan tinggi lain. Kondisi dengan minimal 2 gejala psikologis ini 34% lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Sedangkan bagi mahasiswa S3 yang berkeluarga, memiliki pasangan ataupun anak justru memiliki tingkat stress lebih rendah dibandingkan mereka yang sendiri.
Mahasiswa S3 yang belajar melalui beasiswa proyek dan mereka yang tidak tahu dananya berasal dari mana menunjukkan nilai OR (Odd Ratio) yang lebih tinggi. Odd ratio dalam hal ini adalah nilai yang mengukur peluang terjadinya stress terhadap tidak terjadi stress. Nilai Odd ratio = 1 berarti kemungkinan terjadinya stress atau tidak sama besar, sedang jika lebih besar dari 1 maka kemungkinan terjadinya stress lebih tinggi. Mereka yang mendapatkan beasiswa memiliki OR sebesar 1,256 dibandingkan mereka yang telah ditunjuk sebagai asisten pengajar. Kemudian mereka yang tertarik ke karir akademis lebih sehat dibandingkan yang tidak atau sedikit tertarik.
Seringkali kita merasa bahwa pembimbing yang terlalu mengikat membuat mahasiswanya tertekan. Tetapi, jika dilihat dari cara pembimbing memimpin, justru sistem Laissez-faire dimana mahasiswa dibiarkan bebas menunjukkan tingkat stress yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang dibimbing dengan cara autokrat. Mereka yang yakin bahwa S3 akan memberikan nilai tambah atau menyiapkan mereka dalam berkarir di luar akademis lebih baik kesehatan mentalnya. Lingkungan kerja dalam laboratorium seringkali ada kesalahpahaman antar anggota. Tetapi, konflik antar tim tidak menunjukkan asosiasi dengan stress.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak mampunya menjawab apakah lingkungan kerja universitas tidak baik untuk kesehatan mental atau justru mereka yang masuk universitas lebih rentan terhadap kesehatan mental. Penelitian ini juga diambil terhadap mahasiswa S3 yang ada di Belgia yang memiliki sistem S3 yang mungkin akan berbeda jika dibandingkan dengan negara lain. Seperti Amerika Serikat, Jepang atau Indonesia.
Tetapi yang lebih penting dari semua itu adalah bahwa dengan menyakini bahwa menjadi mahasiswa S3 identik dengan stress justru akan membawa efek plasebo kepada kita bahwa kita juga akan ikutan stress. Karena itu, tetap berpikir positif dengan segala yang kita alami.
Ref.
- Levecque, K. dkk, Research Policy 46 (4), 2017, 868-879
- Crum, A. dkk, Journal of Personality and Social Psychology 104 (4), 2013, 716-733
- Crum, A. & Lyddy, 2014, C. De-stressing Stress: The Power of Mindsets and the Art of Stressing Mindfully. dalam A. Ie, C. T. Ngnoumen, & E. J. Langer (Eds.), The Wiley Blackwell Handbook of Mindfulness. New Jersey: Wiley-Blackwell
Anda merasa artikel ini bermanfaat? Mari bantu Warstek untuk bisa bermanfaat lebih besar dengan cara memberikan donasi.
Menamatkan program ST dan MT di Jurusan Teknik Kimia ITS. Sedang menempuh PhD di University of Tsukuba. Meneliti pemanfaatan bio-nanomaterial untuk pengolahan limbah cair.