Ditulis oleh Dani Abdul Aziz Nurroyan, Daniel Christian Valentino, Gian Fadhlurrahman*
Tahun 2021 menjadi tahun yang sulit di Eropa. Dalam rentang waktu tersebut, terjadi kekurangan suplai gas dan energi global. Ada dua alasan utama mengapa terjadi krisis di Eropa. Pertama, Eropa merasakan dampak panjang akibat dari musim dingin tahun lalu yang menghabiskan lebih banyak persediaan gas dibanding tahun-tahun sebelumnya. Data dari Badan Energi Internasional menunjukkan bahwa konsumsi gas di Eropa meningkat sekitar 25% pada kuartal kedua tahun 2021 (peningkatan kuartalan terbesar sejak tahun 1985). [1] Kedua, adanya kenaikan Liquified Natural Gas (LNG) di Asia, terutama di China, juga akibat dari musim dingin yang lalu. Dua alasan ini menyebabkan kenaikan harga listrik, terutama untuk dua benua ini. [2]
Untuk mengatasi masalah ini, Presiden Rusia, Vladimir Putin, berusaha untuk menyeimbangkan pasar kembali. Rusia telah menyiapkan cadangan gas alam untuk Eropa, demi mengatasi krisis energi disana. Kerjasama antara uni eropa dan Rusia dalam hal energi layaknya simbiosis mutualisme. Sehingga pada akhir tahun 2021, sebanyak 40% gas alam yang dibakar di Eropa berasal dari Rusia.[3] Diantara beberapa negara eropa yang mengimpor energi dari Rusia, jumlah tertinggi dimiliki oleh Jerman, Belanda, dan Polandia. Jerman menjadi negara dengan import minyak mentah terbanyak sebesar 555.000 barel per hari, disusul Polandia dengan 300.000 barel per hari.
Hubungan baik antara Eropa dan Rusia mulai merenggang setelah adanya invasi Rusia ke Ukraina. Eropa mengumumkan bahwa mereka akan memutus sampai dua pertiga pasokan gas dari Rusia pada akhir tahun, sekaligus mempercepat tujuan Eropa dalam mencapai independensi bahan bakar fosil dari Rusia pada tahun 2030. Namun ini menjadi penjegal langkah Eropa dalam jangka pendek, karena mereka akan menghadapi mimpi buruk yaitu ancamanan kegelapan ketika musim dingin tiba. Dengan dipotongnya pasokan gas alam dari Rusia, Eropa terancam tidak dapat memenuhi kebutuhan energi mereka sewaktu musim dingin tiba. Selain itu, dengan ditutupnya beberapa PLTN, semakin memperparah krisis energi di Eropa.[4][5][6]
Negara-negara uni eropa (EU) dan OECD telah menandatangani Paris Agreement untuk mengurangi emisi karbondioksida sebesar 55% pada tahun 2030, dengan perbandingan angka emisi pada tahun 1990. Hal ini untuk mencapai global warming sebesar 1,5 °C pada tahun 2100.[7] Mau tidak mau, penggunaan energi fosil harus dikurangi dan mulai diganti dengan energi terbarukan. Pada proses transisi ini, masalah mulai bermunculan. Energi terbarukan memiliki kelebihan pada limbahnya yang tidak memberikan dampak besar pada perubahan iklim. Namun perlu diketahui juga bahwa terdapat 2 jenis energi terbarukan, yaitu angin dan matahari yang tidak memiliki base load energy. Base load energy adalah jumlah minimum energi yang diperlukan pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu, misalnya satu minggu. Sejauh ini hanya batu bara, gas alam, dan nuklir saja yang dapat memenuhi constant and reliable energy sebagai pembangkit daya beban dasar. Sementara energi terbarukan yang bisa memenuhi base load energy (seperti PLTA dan PLTP) sangat terbatas oleh kondisi geografis [8].
Permasalahan ini menjadi semakin jelas di negara Jerman. Penutupan satu-persatu PLTN akibat dari insiden Fukushima-daiichi, menyebabkan peningkatan emisi karbondioksida dan polusi udara lokal. PLTN yang selama ini memenuhi base load energy Jerman, digantikan oleh batu bara dan gas alam. Sebagai efek lanjutannya, harga listrik menjadi naik karena adanya transisi. Ini akan menguntungkan bagi para produsen listrik, tapi konsumen akan merasakan kerugian akibat adanya kenaikan tarif listrik.[9]
Lalu, solusi seperti apa yang dapat dilakukan Eropa untuk mengatasi krisis energi sekaligus mengatasi isu perubahan iklim? Pertama, negara-negara di Eropa yang menghentikan operasi PLTN mereka dengan alasan politik, harus mulai mengaktifkan kembali fasilitas tersebut. Hal ini ditujukan untuk memenuhi base load energy yang dibutuhkan, serta mengurangi ketergantungan import listrik dari negara lain. Menurut Barry Moloney, sebanyak sepertiga dari total keseluruhan PLTN di Eropa akan mulai dihentikan operasinya pada akhir tahun 2025.[10] Apabila jumlah ini terus meningkat namun tidak sejalan dengan peningkatan energi terbarukan, maka penggunaan energi fosil akan meningkat. Hal tersebut pula dapat menyebabkan perubahan iklim terjadi lebih dulu.
Kedua, membangun serta meningkatkan kualitas dari PLTN yang sudah ada. Beberapa alasan yang dapat memperkuat hal ini seperti luas lahan di Eropa yang cenderung lebih sempit dibanding benua-benua yang lain. Dalam pembangunan fasilitasnya, PLTN tidak membutuhkan area yang terlalu luas yakni sekitar 6 hektar untuk pembangkit dengan kapasitas 225 MW dan 16 hektar untuk pembangkit berkapasitas 360 MW. Luas fasilitas ini dapat berkurang apabila PLTN dibangun di dekat wilayah perairan. Bandingkan dengan salah satu pembangkit listrik energi terbarukan yakni pada PLTA Kedung Ombo dengan kapasitas 22,5 MW, dibutuhkan lahan sampai 6 ribu hektar. Selain dibutuhkan luas area yang besar, juga pembangunan fasilitas tersebut akan mengubah kondisi lingkungan yang bersangkutan.
Ketiga, memperbaiki sisi sosial-politis dari nuklir yang sering kali menimbulkan permasalahan bagi fasilitas PLTN. Ketakutan akan kecelakaan nuklir yang terjadi di Chernobyl, Three Mile Island, dan Fukushima Daiichi masih membayangi hampir seluruh orang di dunia. Beberapa kelompok bahkan menghentikan paksa penggunaan nuklir demi mencegah kecelakaan terjadi. Hal ini akan menghentikan perkembangan PLTN apabila terus dibiarkan terjadi. Selain itu dalam pengoperasian fasilitas pengayaan, perlu dilakukan pengawasan yang sangat ketat karena salah satu produk turunannya dapat digunakan sebagai bahan pembuatan senjata nuklir. Negara yang cukup sulit diinspeksi oleh IAEA seperti Korea Utara dan Irak, tentu dapat menimbulkan kecurigaan akan pemanfaatan pembangkit listrik tenaga nuklir.[11]
Dalam menghadapi krisis energi saat ini, Eropa tidak dapat menggantungkan diri dari import energi negara lain. Penggunaan energi fosil yang berlebihan juga tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut. Isu perubahan iklim juga menjadi ancaman serius bagi seluruh dunia, tidak hanya Eropa. Pembangkit listrik tenaga nuklir dapat mengatasi dua problem tersebut dengan risiko paling rendah. Energi yang dihasilkan dari operasi puluhan reaktor dapat meningkatkan listrik yang dihasilkan, mengatasi masalah kekurangan energi akibat kurangnya pasokan energi fosil ke Eropa. Polusi yang dihasilkan juga tidak banyak memberikan dampak ke lingkungan, mengatasi problem perubahan iklim sebagai akibat emisi gas rumah kaca. Semua pihak perlu dilibatkan dalam krisis energi ini, tentunya dengan menahan ego dari masing-masing pihak. Tidak ada pilihan yang tidak menghasilkan risiko, namun menggunakan PLTN dalam menghadapi krisis energi di Eropa sekiranya dapat menjadi solusi terbaik dalam jangka pendek maupun jangka panjang bagi seluruh masyarakat Eropa.
*Keterangan: Divisi Riset Nuklir, Dewan Energi Mahasiswa, Universitas Gadjah Mada
Email : dani.abdul.aziz@mail.ugm.ac.id
Email : daniel.christian@mail.ugm.ac.id
Email: gian.fadhlurrahman@mail.ugm.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
[1] Yana Popkostova. Europe’s Energy Crisis Conundrum [internet]. European Union Institute for Security Studies: Yana Popkostova; 2022 [updated 2022 January 28; cited 2022 July 4]. Available from: https://www.iss.europa.eu/content/europes-energy-crisis-conundrum
[2] Phoebe Koundouri. Lessons from Europe’s energy crisis [Internet]. SDG Action: Phoebe Koundouri; 2022 [ updated 2022 April 21; cited 2022 July 4]. Available from: https://sdg-action.org/lessons-from-europes-energy-crisis%EF%BF%BC/
[3] Euronews. Why is there energy crisis in Europe? [Internet]. Euronews.: Euronews; 2022 [updated 2022 February 10; cited 2022 July 4]. Available from: https://www.euronews.com/2022/02/03/europe-s-energy-crisis-why-are-natural-gas-prices-soaring-and-how-will-it-affect-europeans
[4] Fatih Birol. What does the current global energy mean for energy investment? [Internet]. IEA.org: Fatih Birol; 2022 [updated 2022 May 13; cited 2022 July 5]. Available from: https://www.iea.org/commentaries/what-does-the-current-global-energy-crisis-mean-for-energy-investment
[5] Sam Meredith. “Our product, our rules”: Russia sends alarm bells ringing over Europe’s winter gas supply [Internet]. CNBC: Sam Meredith; 2022 [updated 2022 Juny 17; cited 2022 July 5]. Available from: https://www.cnbc.com/2022/06/17/russia-sends-alarm-bells-ringing-over-europes-winter-gas-supplies.html
[6] Muhammad Nursyamsi. Rusia Ancam Hentikan Pasokan Gas ke Eropa [Internet]. Republika.co.id: Muhammad Nursyamsi; 2022 [updated 2022 March 8; cited 2022 July 5]. Available from: https://www.republika.co.id/berita/r8ep0c383/rusia-ancam-hentikan-pasokan-gas-ke-eropa
[7] Marcia Rocha, Bill Hare, Paola Yanguas Parra, Niklas Roming, Ugur Ural, Andrzej Ancygier, et. al. Implication of the Paris Agreement for Coal Use in the Power Sector. Berlin: European Climate Foundation; 2016. 1p.
[8] Energy Education. Baseload power [Internet]. University of Calgary: Eergy Education; 2020 [updated 2022 January 31; cited 2022 July 3]. Available from: https://energyeducation.ca/encyclopedia/Baseload_power
[9] Murray L. The need to rethink German nuclear power. The Electricity Journal. 2019 Jul 1;32(6):13-9.
[10] Barry Moloney, Frank Charlier, Bruno Thomauske. Decommissioning of NPP in Europe? Strategies, Risks and Opportunities – 16124. WM2016 Conference [Internet]. 2016 March [cited 2022 July 04]; page 1 – 11. Available from: http://archive.wmsym.org/2016/pdfs/16124.pdf.
[11] Jennifer Taylor. Nuclear Power and Politics [Internet]. Psu.edu: Jennifer Taylor; 2014 [Updated 2014 March 20; cited 2022 July 02]. Available from: https://sites.psu.edu/jensci/2014/03/20/nuclear-power-and-politics/
Warung Sains Teknologi (Warstek) adalah media SAINS POPULER yang dibuat untuk seluruh masyarakat Indonesia baik kalangan akademisi, masyarakat sipil, atau industri.