Ada sesuatu yang berbeda dari puasa yang dilakukan pemeluk agama Islam dibanding puasa jenis lain. Memang, ritual puasa itu terdapat pada hampir semua agama. Baik itu agama samawi, maupun agama non-samawi. Namun, puasa yang akan dibahas pada judul artikel ini yaitu puasa pada agama Islam. Secara teknis, puasa yang dilakukan umat Islam memiliki perbedaan dengan yang dilakukan agama lainnya, yakni berbeda dari segi teknis menahan kegiatan konsumsi, durasi waktu, dan jadwal. Puasa dalam Islam, secara fisik mengharuskan seseorang untuk tidak makan dan minum atau melakukan sesuatu hal yang dapat membatalkan. Sedangkan, secara ruhani seseorang diharuskan untuk menghentikan kegiatan yang negatif [1]. Durasi puasa dalam Islam telah ditentukan oleh perhitungan dari waktu terbit fajar (shadiq) sampai tenggelam matahari—ini berlaku untuk semua jenis puasa seperti puasa wajib pada bulan Ramadan, puasa sunnah (voluntary) Senin dan Kamis, Puasa Daud (berselang) dan lain sebagainya [2]. Berikut akan Penulis rangkum serba-serbi puasa yang ada pada umat Islam.
Puasa dapat Meredam Kemarahan
Puasa tidak hanya menahan diri untuk tidak makan, minum, atau melakukan hal yang membatalkan lainnya, misal yang berkaitan dengan syahwat, tetapi juga menahan sesuatu hal yang negatif—misalkan rasa marah. Dengan adanya puasa, seseorang orang yang sering berpuasa secara efektif dapat mengontrol regulasi kemarahannya dibanding orang yang tidak rajin berpuasa [3]. Dengan adanya kajian biopsikologi, dapat disimpulkan bahwa regulasi kemarahan secara psikologis berkaitan dengan pengendalian komposisi hormon serotonin, dopamine dan noradrenalin dengan baik pada otak. Oleh sebab itu, dalam Islam dikatakan bahwa puasa juga harus dilakukan secara batin (psikis) bukan hanya fisik saja.
Ibadah Pengiring Puasa yang Fleksibel
Ada hal spesial yang terdapat puasa Ramadan yaitu ibadah pengiringnya, yakni salat tarawih. Shalat tarawih merupakan salat yang dilakukan pada malam (setelah Isya) di bulan Ramadan[4]. Salat tarawih dikenal sebagai ibadah yang fleksibel pada bulan Ramadan. Selain jumlah rakaatnya yang opsional (antara 8, 20, 36 dan seterusnya), tarawih juga dapat dilakukan secara fleksibel tempat. Tarawih dapat dilakukan secara sendiri-sendiri atau berjemaah (lebih utama), bertempat di Rumah atau di Masjid [5]. Jika fenomena wabah COVID-19 yang saat ini terjadi, maka salat tarawih yang biasa dilakukan di Masjid, dapat dilakukan di rumah. Oleh karena itu, Islam memberikan toleransi, mengingat Rasulullah dahulu juga pernah melakukannya di rumah.
Puasa dari Segi Kesehatan
Penulis sudah banyak menemukan berbagai penelitian mengenai manfaat puasa. Mulai dari jenis penelitian psikologi, sampai kedokteran dan biomolekuler. Kementerian Kesehatan pernah merangkumnya dalam artikel yang dimuat pada laman kemkes.go.id, yang di dalamnya dijelaskan perihal puasa Ramadan yang bermanfaat bagi kesehatan, salah satunya bagi kesehatan jantung [6]. Selain puasa Ramadan, puasa jenis lain seperti puasa Daud pun juga bermanfaat. Pada tanggal 14 Februari 2020, Mochamad Afifudin dari Kedokteran UII, Yogyakarta presentasi mengenai puasa Daud di Simposium acara Islamic Science Day, Universitas Indonesia. Menurutnya, puasa Daud ini dalam tinjauan kedokteran modern sama halnya dengan puasa berselang (intermittent fasting)—persis dari segi pelaksanaannya. Puasa berselang (intermittent fasting) bermanfaat sebagai pengontrol hormon insulin dan gula darah dalam tubuh [7] [8]. Peran hormon insulin ini penting pada pengendalian gula darah dengan menstimulus hati agar menyerap gula.
Toleransi Berpuasa Bagi Orang Sakit
Salah satu syarat puasa yang galib diketahui salah satunya yaitu mampu (kuat menjalankan). Ada toleransi bagi orang yang tidak mampu menjalankannya, salah satunya karena faktor sakit. Orang sakit yang tidak diperkenankan berpuasa, dapat menggantinya di lain waktu [9]. Mengapa Islam memperhatikan hal ini? Sebab perihal kesehatan dalam berpuasa sangat urgen. Penulis mencontohkan salah satu kasus sakit, misalnya sakit diabetes. Orang yang mengidap diabetes sebelum berpuasa seyogyanya memeriksakan diri ke Dokter. Orang yang memiliki riwayat diabetes direkomendasikan untuk melakukan pendidikan diabetes (pra-Ramadan) terkait hipoglikemia atau hiperglikemia. Dengan melakukan pemantauan kadar glukosa dalam darah orang pengidap diabetes. Hal ini dinilai lebih baik daripada tidak melakukannya sama sekali. Artinya, apabila hasil cek kesehatan mengatakan orang tersebut berisiko komplikasi ketika berpuasa Ramadan, maka disarankan untuk tidak berpuasa dan menggantinya [10].
Semoga artikel ini dapat menjadi informasi yang valid untuk sahabat warstek.com yang menjalankan ibadah puasa atau ibadah lainnya di bulan Ramadan.
Baca juga artikel mengenai tinjauan medis di balik anjuran berbuka menggunakan kurma.
Referensi
[1] Subrata, S.A & Dewi, M.V. (2017). Puasa Ramadhan Dalam Perspektif Kesehatan: Literatur Review, Khazanah, 15(1), pp. 235-256
[2] Golbidi, S., et.al. (2017). Health Benefits of Fasting and Caloric Restriction, Curr Diab Rep. 2017, 17:123 https://doi.org/10.1007/s11892-017-0951-7
[3] Very Julianto, Pipih Muhopilah Very Julianto, Pipih Muhopilah), Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi Juni 2015, Vol. 2, No. 1, Hal: 32 – 40
[4] Kamus Besar Bahasa Indonesia, lihat https://kbbi.web.id/Tarawih
[5] Gani, B.A. (2016). Pemahaman Hadis Seputar Shalat Tarawih di Kalangan Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama, Al-Mu’ashirah, 13(2), pp.157-181
[6]https://www.kemkes.go.id/development/site/dinas-kesehatan/index.php?cid=1-15112600011&id=12-manfaat-puasa-bagi-kesehatan-tubuh, diakses pada 4 Mei 2020
[7] Cho, Y., et.al. (2019). The Effectiveness of Intermittent Fasting to Reduce Body Mass Index and Glucose Metabolism: A Systematic Review and Meta-Analysis, J. Clin. Med. 2019, 8, 1645; doi:10.3390/jcm8101645
[8] Cabo, R.D & Mattson, M.P. (2019). Effects of Intermittent Fasting on Health, Aging, and Disease, The New England Journal of Medicine, 381(26),pp. 2541-2551
[9] QS.[2]:185, lihat https://quran.com/2/185
[10] Natalia, A & Sulistiyaningsih. (2018). Review : Puasa Ramadhan dan Diabetes Melitus, Farmaka Suplemen, 16(1), pp. 331-336