Pemateri: Sholahuddin Al-Fatih, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum di Universitas Muhammadiyah Malang; Editor in Chief Jurnal Legality (ISSN: 2549-4600); Editor di Jurnal BESTUUR (ISSN: 2722-4708)
Moderator: Abdul Halim, PhD
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) menimbulkan banyak pertanyaan, baik dari kalangan akademisi hingga mahasiswa, kalangan investor hingga buruh. Memahami peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif, maka perlu mengetahui sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia yaitu, Sistem Demokrasi Presidensial.
Tanda #MosiTidakPercaya, yang lazim ditemui pada negara-negara yang menerapkan sistem parlementer, menjadi tagar trending di berbagai media sosial selama beberapa hari berturut-turut di pekan pasca pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja oleh DPR, diikuti gelombang massa demonstrasi merata hampir di seluruh Indonesia yang digelar berbagai elemen masyarakat.
Sejarah mencatat, wacana pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat pernah terjadi dua kali dalam perjalanan bangsa Indonesia, masing-masing terjadi di era kepemimpinan Presiden Sukarno dan Presiden Abdurrahman Wahid.
Apa dan bagaimana kita sebagai bagian dari masyarakat di dalam sistem demokrasi presidensial ini dapat mengambil peran partisipasi perubahan sesuai yang berlaku dalam hukum di Indonesia? Simak paparan pemateri Siringmakar 32, Sholahuddin Al-Fatih, dalam diskusi daring webinar di Warstek TV.
Perbandingan Sistem Pemerintahan dalam Studi Kasus Pembubaran Lembaga Legislatif (DPR)