Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) baru-baru ini melaporkan kabar yang mengejutkan: Tuberkulosis (TBC) telah menyalip Covid-19 sebagai penyebab kematian tertinggi akibat penyakit menular di dunia. Berpindahnya mahkota “penyakit menular paling mematikan” dari Covid-19 ke TBC menimbulkan kekhawatiran serius bagi banyak negara yang sedang berupaya pulih dari dampak pandemi. Dengan lonjakan kasus TBC yang mematikan, dunia dihadapkan pada tantangan baru di tengah upaya pemulihan kesehatan global. Tapi, siapkah kita menghadapi ancaman ini?
Apa Itu Tuberkulosis (TBC)?
TBC adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, paling sering menyerang paru-paru. Penyakit ini menyebar melalui udara ketika penderita TB batuk, bersin, atau meludah. Gejala umum TBC yang seringkali muncul antara lain batuk berkepanjangan (kadang disertai darah), nyeri dada, lelah, lemah, turun berat badan, demam, dan keringat malam. Gejala yang dialami orang bergantung pada bagian tubuh mana yang terkena TBC. Biasanya penyakit ini menyerang paru-paru, tetapi juga dapat menyerang ginjal, otak, tulang belakang, dan kulit. TBC dapat menyebabkan kerusakan paru-paru yang parah, gagal nafas, dan dalam kasus yang tidak tertangani mengakibatkan kematian. Berdasarkan data WHO, diperkirakan 10,8 juta orang di seluruh dunia terjangkit TBC, sebanyak 1,25 juta orang diantaranya meninggal dunia.
Ancaman Terbesar : Multidrug-resistant TB
Salah satu ancaman terbesar dari TBC adalah Multidrug-resistant TB atau dikenal dengan MDR-TB. MCR-TB merupakan tuberkulosis yang sudah resisten atau kebal terhadap dua jenis antibiotik yang paling efektif untuk menangani TB, yaitu isoniazid dan rifampicin. Resistensi obat muncul ketika obat TBC tidak digunakan secara tepat, melalui resep yang salah oleh penyedia layanan kesehatan, obat berkualitas buruk, atau pasien menghentikan pengobatan sebelum waktunya.
Strain ini membuat pengobatan menjadi lebih mahal, lebih lama, dan lebih sulit. Secara umum, pengobatan TB MDR akan menggunakan obat antituberkulosis (OAT) lini kedua, seperti ciprofloxacine, levofloxacin, ofloxacine, dan amikacin. Hanya sekitar 2 dari 5 orang penderita MDR-TB yang mendapatkan pengobatan pada tahun 2023. Bahkan, pasien MDR-TB sering kali harus menjalani pengobatan dengan obat-obatan keras selama 9-20 bulan, dengan tingkat keberhasilan pengobatan yang lebih rendah dibandingkan dengan TBC biasa.
Mengapa TBC Bisa Menyalip Covid-19?
Selama pandemi Covid-19, banyak negara yang memfokuskan sumber daya kesehatan mereka untuk menanggulangi penyebaran virus SARS-CoV-2. Banyak layanan kesehatan yang biasanya digunakan untuk deteksi dan pengobatan penyakit menular lain, termasuk TBC, terganggu atau dialihkan. Akibatnya, program skrining, vaksinasi, dan pengobatan TBC mengalami penurunan drastis, terutama di negara-negara dengan jumlah kasus TBC yang tinggi. Data WHO menunjukkan bahwa pandemi memperburuk situasi TBC, menyebabkan lebih banyak orang terlambat terdiagnosis atau bahkan tidak terdeteksi sama sekali. Keterlambatan diagnosis ini membuat TBC menjadi lebih sulit diobati, meningkatkan risiko penyebaran, dan memperparah tingkat keparahan penyakit.
Di Indonesia, terdapat sebuah Penelitian The Domino Study yang dilakukan oleh Pusat Kedokteran Tropis (PKT) UGM, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, University of New South Wales (UNSW), Australia, dan London School of Health Tropical Medicine, Inggris. Salah satu peneliti utama The Domino Study, Prof. dr. Ari Probandari, MPH, Ph.D, mengatakan bahwa penelitian ini dilakukan lebih dari 2 tahun terhadap layanan HIV dan TBC di Kota Yogyakarta dan Bandung, sebelum dan selama pandemi. Dipilihnya kedua kota sebagai lokasi penelitian dikarenakan jumlah kasusnya yang cukup tinggi. Pihaknya mengumpulkan data dari sistem informasi TBC dan HIV di kedua wilayah tersebut. Dari penelitian ini, diketahui terjadinya penurunan jumlah pasien yang menjalani tes TBC hingga 38 persen. Padahal penemuan kasus merupakan unsur penting dalam upaya eliminasi TBC di Indonesia. Selain itu, angka pengobatan yang tidak berhasil juga naik satu setengah kali lipat.
Tantangan dalam Penanganan TBC
Meskipun TBC merupakan sebuah penyakit yang dapat dicegah dan diobati, ada beberapa kendala besar dalam upaya penanggulangan global, antara lain:
1. Ketidaksetaraan Akses Pelayanan Kesehatan
Di banyak negara, layanan untuk diagnosis dan pengobatan TBC masih terbatas, terutama di wilayah pedesaan dan daerah miskin. Hal ini memperlambat upaya deteksi dini dan pengobatan yang efektif.
2. Stigma Sosial
Di banyak tempat, penderita TBC seringkali dihindari atau diperlakukan tidak adil karena stigma. Ini membuat banyak pasien enggan untuk mencari pengobatan atau bahkan melaporkan gejala yang dialami.
3. Resistensi Obat
Strain TBC yang kebal terhadap obat, termasuk MDR-TB dan XDR-TB (extensively drug-resistant TB), semakin meningkat. Hal ini menyulitkan dokter untuk memberikan pengobatan yang efektif dan meningkatkan biaya pengobatan.
4. Dampak Pandemi Covid-19
Pandemi tidak hanya mengalihkan perhatian dari TBC tetapi juga mengganggu rantai pasokan obat-obatan, vaksin, dan layanan kesehatan yang krusial.
Langkah Global untuk Menghadapi Ancaman TBC
Menanggapi situasi ini, WHO dan berbagai lembaga kesehatan telah memperkuat kembali fokus mereka pada TBC. Langkah-langkah utama yang diambil meliputi:
- Peningkatan Akses Layanan TBC
WHO berupaya mendorong negara-negara untuk memperluas akses terhadap layanan skrining, diagnosis, dan pengobatan TBC. Salah satu langkahnya adalah dengan memperkenalkan teknologi diagnostik terbaru yang memungkinkan deteksi TBC dalam hitungan menit.
- Pendanaan untuk Penelitian dan Pengembangan Vaksin TBC
Meskipun vaksin Bacille Calmette-Guérin (BCG) telah ada sejak lama, efektivitasnya terbatas pada anak-anak dan tidak memberikan perlindungan penuh bagi orang dewasa. Oleh karena itu, WHO dan lembaga penelitian lainnya mendorong penelitian vaksin baru yang lebih efektif untuk melindungi semua kelompok usia.
- Pengurangan Stigma
Edukasi masyarakat tentang TBC dan upaya mengurangi stigma menjadi prioritas utama. Kampanye kesehatan masyarakat yang efektif sangat penting untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang TBC, agar pasien lebih nyaman mencari bantuan medis.
- Mempercepat Pengobatan MDR-TB
WHO kini merekomendasikan rejimen pengobatan baru yang lebih singkat dan efektif untuk MDR-TB, guna meningkatkan tingkat keberhasilan pengobatan.
Kesimpulan: Kesiapan Menghadapi Tantangan Baru
Meski kita berhasil menghadapi pandemi Covid-19, ancaman TBC menunjukkan bahwa perjuangan melawan penyakit menular belum berakhir. TBC mengajarkan kita pentingnya sistem kesehatan yang tangguh, mampu beradaptasi terhadap tantangan baru, serta mendorong akses kesehatan yang setara bagi semua orang. Dengan langkah-langkah yang tepat, kita dapat mencegah TBC menjadi ancaman global yang lebih besar, tapi ini membutuhkan komitmen kolektif yang kuat dari seluruh masyarakat dan pemangku kebijakan kesehatan global.
Referensi
[1] Azizah, Khadijah Nur. WHO Sebut TBC ‘Salip’ COVID-19 Jadi Penyakit Menular Penyebab Kematian Utama. Diakses pada 7 November 2024 https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7616672/who-sebut-tbc-salip-covid-19-jadi-penyakit-menular-penyebab-kematian-utama
[2] Tuberculosis. Diakses pada 7 November 2024 https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/tuberculosis
[3] Gejala TBC. Diakses pada 8 November 2024 https://www.alodokter.com/tuberkulosis/gejala
[4] Apa itu TB MDR? Ini Penyebab, Gejala, dan Pengobatannya. Diakses pada 8 November 2024 https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/apa-itu-tb-mdr
[5] Pasca Pandemi, Layanan TBC dan HIV Perlu Ditingkatkan Lagi. Diakses pada 8 November 2024 https://ugm.ac.id/id/berita/pasca-pandemi-layanan-tbc-dan-hiv-perlu-ditingkatkan-lagi/