-Sebuah perspektif tentang berpikir rasional –
Jika kamu sering meluangkan waktu untuk bersosialisasi, membaca sejarah, atau merefleksikan diri, mungkin kamu sadar bahwa manusia bukanlah makhluk yang rasional. Sering kali kamu melihat orang-orang berperilaku konyol dan tidak masuk akal, seperti percaya pada konspirasi bumi datar, COVID-19 itu hoax, vaksin penyebab autisme, dll. Mungkin juga kamu memiliki teman yang sering mengambil tindakan tidak logis karena mengandalkan perasaannya. Bagimu, mereka yang berpikir menggunakan perasaan ini adalah feeler, sedangkan mereka yang berpikir menggunakan akal rasional ini adalah thinker. Tapi tahukah kamu bahwa para thinker ini sekalipun tidak pernah mengambil tindakan berdasarkan rasionalitas?
Manusia-manusia ini menganggap bahwa mereka selalu berpikir logis dan objektif sehingga mereka mampu membuat keputusan yang rasional. Kenyataannya justru sebaliknya, manusia (terlepas dari gendernya) selalu menggunakan perasaannya dalam menentukan pilihan, kemudian merasionalkan keputusan tersebut setelahnya.
“Human is a feeling being first, logical being second.”
Mengapa kita tidak rasional?
Hal ini karena otak manusia berevolusi untuk membantu kita bertahan hidup dalam lingkungan sosial, bukan untuk mengetahui suatu hal secara faktual. Akibatnya, otak kita lebih baik dalam merespon dinamika sosial dan kesukuan dibandingkan dengan analisis intelektual. Contohnya, jika dalam suatu suku semua orang mempercayai bahwa bumi itu datar, maka akan lebih aman bagi individu tersebut untuk mempercayai anggapan bahwa bumi itu datar. Terlepas dari ketidakakuratannya, keamanan individu dalam komunitas akan lebih terjaga apabila memegang ideologi yang homogen.
Evolusi sosial yang dibangun oleh otak kita juga erat kaitannya dengan identitas. Secara insting, kita akan selalu berusaha melindungi identitas kita dengan menjaga cara pandang kita terhadap dunia. Pada dasarnya kita dirancang sebagai makhluk yang close-minded, dimana otak kita memproses sinyal ancaman dan sikap agresif ketika argumen kita ditantang dan pandangan kita dibuktikan salah. Dalam teori backfire effect, dijelaskan bahwa jika seseorang diberikan argumen yang berlawanan dengan pandangan pribadinya, seseorang malah akan bertambah yakin dengan apa yang ia yakini sekarang. Mengutip dari Social Good Now (2017), “Fighting ignorance with facts is like fighting grease fire with water, it seems like it should work, but it actually just makes the whole thing explode.”
Teori empati komunitas menjelaskan mengenai keyakinan ini. Ketika kita membagi manusia ke dalam kelompok apapun, secara instingtual empati kita pada kelompok lain akan berkurang. Ini adalah bentuk survival skill kita. Karena itu juga manusia umumnya hanya mau mendengar perkataan orang yang diposisikan sebagai tetua dalam komunitasnya (misalnya pemimpin agama) dibandingkan dengan orang dari luar komunitas terlepas dari faktualisasinya.
Mirisnya, perilaku seperti ini juga terjadi dalam komunitas sains. Kelompok yang mengaku berpikir rasional, bahkan yang telah melepas pemahaman spiritual sekalipun, nyatanya tidak lepas dari pola pikir ini. Seperti apa?
Spekulasi Dalam Sains
Akibat adanya asumsi bahwa sains pasti bersifat objektif karena berasal dari pengamatan empiris, banyak penggemar sains yang langsung menerima hasil penelitian ilmuwan secara mentah-mentah saja tanpa melakukan pemeriksaan informasi maupun penelitian lebih lanjut. Padahal, kunci yang membedakan sains dengan kepercayaan spiritual terletak pada kemampuannya untuk dapat bersikap kritis dan selalu beradaptasi dengan perubahan.
“The key difference between science and spirituality is the ability to adapt to change.”
Sains itu dinamis, yang dinilai sebagai “kebenaran objektif” sekalipun bisa berubah sewaktu-waktu. Dalam sebuah pedebatan mengenai kreasionisme, saya pernah mendengar seseorang mengemukakan kalimat ini: “Everything in this world is either a hypothesis or a proven hypothesis“. Menurut saya itu adalah argumen yang cermat, suatu saat pemahaman kita tentang alam semesta memang akan terus berubah-ubah. Kita bisa salah, bisa benar. Sebelum semuanya terbukti jelas, ya semuanya hipotesis. Kita tidak bisa memaksa orang untuk menerima itu sebagai sebuah fakta yang jika orang lain tidak percaya kita hina. Kemampuan berpikir kritis seperti itu sangat penting untuk perkembangan peradaban kita.
Namun, hanya karena kebenaran sains tidak absolut, bukan berarti kita tidak bisa mengandalkan sains. Dalam kehidupan ilmiah, kita selalu membuang apa yang sudah tidak lagi cocok atau telah terbukti salah (ex: flat earth, geocentric system, steady state universe, etc) dan meneruskan dengan apa yang mendukung/ didukung oleh bukti empiris.
Lalu bagaimana cara ilmuwan menentukan hal ini? Dari sini lah ilmu speculative science berasal. Coba kamu pikirkan: Apa sih beda possibility dengan probability? Possibility hanya memiliki dua kemungkinan, ya atau tidak. Apakah kamu sudah makan? Mungkin iya, mungkin tidak.
Contoh sederhananya, jika kamu bertanya-tanya “Peluang doi chat duluan berapa ya?” dan temanmu bercanda menjawab “50%, antara dia chat duluan atau tidak”, itu sebenarnya bukan peluang (probability) tapi kemungkinan (possibility).
Lalu probability itu apa?
Probability adalah peluang yang dapat kita hitung berdasarkan variabel-variabel pendukung yang kemudian dapat dibuktikan secara empiris.
Misalnya, alien itu ada atau tidak? Para ilmuwan berspekulasi ada peluang yang tinggi bahwa ada kehidupan di luar Bumi. Kita mendapat perhitungan peluang ini dari berbagai variabel, yaitu: rata-rata laju terjadinya formasi bintang, fraksi bintang yang memiliki planet, rata-rata jumlah planet yang dapat mendukung kehidupan untuk setiap bintang yang memiliki planet, fraksi planet pendukung kehidupan yang telah mengembangkan bentuk kehidupan, fraksi planet dengan kehidupan yang berhasil mengembangkan bentuk peradaban inetelektual, fraksi peradaban intelektual yang dapat mengembangkan alat komunikasi, serta lama waktu yang dibutuhkan untuk berkomunikasi. Variabel-variabel ini kemudian disusun dalam rumusan yang dikenal dengan nama “Drake Equation”.
Contoh sederhana
Berapa kemungkinan unicorn itu nyata? 50%, mungkin ada, mungkin tidak.
Berapa peluang unicorn itu nyata? 0%, tidak ada variabel yang mendukung.
Dari probabilitas ini lah ilmuwan bisa menentukan kebenaran objektif dari eksistensi suatu hal. Ketika suatu hal tidak memiliki variabel pendukung, maka secara objektif hal tersebut tidak memiliki eksistensi. Jika kita mau mempercayai semua hal yang bisa kita pikirkan, maka tidak akan ada batasnya, misalnya bagaimana kita bisa yakin bahwa tidak ada ras manusia dengan dua kepala? Atau bahwa tetangga kita sebenarnya adalah alien yang menjelma? Atau bahwa matahari akan meledak besok? Maka dari itu aturan sederhananya adalah jika tidak ada bukti, maka tidak ada alasan untuk percaya pada suatu hal. Sudah sangat jelas bahwa tidak ada bukti fisik, tubuh, maupun kerangka fosil yang menunjukkan keberadaan unicorn, maka unicorn tidak ada.
Tapi bagaimana JIKA kita hanya belum menemukannya?
Bagaimana kalau ilmu sains dan teknologi kita belum sanggup untuk mendeteksi keberadaan unicorn?
Ya, tentunya secara objektif unicorn akan dinyatakan tidak ada sampai ditemukan nanti. Sampai ada variabel yang mendukung, maka keberadaan unicorn dinilai irelevan dan tidak perlu ditelusuri lebih lanjut.
Tapi kok ilmuwan bisa yakin kalau unicorn itu tidak ada?
Jika ketidakadaan faktor pendukung tidak cukup, faktor penentang juga dapat berperan dalam menentukan eksistensi suatu hal. Misalnya, kita spekulasikan bahwa unicorn adalah kuda bertanduk satu. Nah, apakah tanduk satu ini mendukung survival rate kuda? Apakah fitur ini penting dalam evolusi kuda? Untuk spesies seperti kuda, tanduk justru merugikan. Tanduk mengakibatkan resistansi udara yang besar, sehingga menghambat kecepatan kuda. Membuat tanduk juga membutuhkan biaya metabolisme yang besar. Selain itu, spesies yang bertanduk biasanya hanya jantan karena digunakkan untuk seleksi seksual, sedangkan persaingan seksual antar kuda didasarkan pada perilaku, bukan struktur tampilan. Kuda bertarung dengan kuku dan giginya, bukan dengan kepala. Tidak pernah ada kebutuhan yang mendorong terbentuknya tanduk pada evolusi kuda.
Sebaliknya, apabila banyak variabel yang terpenuhi, maka hal tersebut dinilai sebagai benda hipotesis. Misalnya, keberadaan black hole telah diprediksi oleh Prof. Albert Einstein pada tahun 1916 dalam teori relativitas umum. Tetapi meskipun semua variabel pendukung telah terpenuhi, black hole tetap menjadi benda hipotesis hingga foto pertama black hole diambil pada tahun 2019.
Rationalitas Dalam Gender
Gender tidak membatasi rasionalitas. Pria tidak lebih rasional dari wanita, dan wanita tidak lebih emosional dari pria. Ini hanyalah hasil konstruksi sosial. Universitaire En Santé Mentale de Montréal menemukan bahwa mayoritas pria terdengar lebih rasional karena adanya interaksi yang kuat antara amyglada (bagian otak yang bertanggungjawab atas perasaan) dengan dorsomedial prefrontal cortex/ dmPFC (bagian otak yang bertanggungjawab atas rasionalitas).
Seperti yang telah kita bahas sebelumnya, emosi kita mempengaruhi decision-making kita. Namun, karena adanya tempaan sosial, pria lebih terlatih untuk meredam emosinya.
Caranya adalah dengan berusaha merasionalkan emosi.
Perilaku ini mengasah kemampuan otak untuk membuat interaksi antara kedua bagian otak tadi. Jika kita menerapkannya secara berkala, akan terjadi penurunan rangsangan emosional. Hal ini lah yang sering terjadi dalam masyarakat kita.
Siapapun bisa menerapkan cara ini, dengan demikian wanita dapat menurunkan kadar sensitivitasnya seperti pria. Sayangnya, banyak wanita yang menganggap menjadi makhluk emosional adalah sebuah “takdir” dan tidak pernah berpikir untuk mengubahnya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menikmatinya sebagai privilege dengan menuntut setiap orang untuk memikirkan perasaannya. Saya rasa kita perlu menghapus stigma pada gender ini. Kita memang tidak bisa memilih emosi kita, tetapi kita dapat merasionalkan emosi untuk dapat mengontrol respon kita.
“While we can’t choose our emotions because they originate unconsciously, we can control our response. We are not rational. We are rationalizers.”
Daftar Pustaka
- Baird, Christoper S. (2014). Why is speculation forbidden in science? Science Questions With Surprising Answers. Retrieved from https://wtamu.edu/~cbaird/sq/2014/01/27/why-is-speculation-forbidden-in-science/
- Buckham, John W. (1917). Speculation in Science and Philosophy. The Open Court: Vol. 1917 : Iss. 12 , Article 2.
- Palm, Oliver. (1991). ‘What do Girls Know Anyway?’: Rationality, Gender and Social Control. Journals Sagepub, Vol: 1 (3), page(s): 339-360. Doi:Â 10.1177/0959353591013003
- Praet, Douglas. (2013). The End Of Rational Vs. Emotional: How Both Logic And Feeling Play Key Roles In Marketing And Decision Making. Fast Company, Industry POV. Retrieved from https://www.fastcompany.com/1682962/the-end-of-rational-vs-emotional-how-both-logic-and-feeling-play-key-roles-in-marketing
- Social Good Now. (2017). Why Facts Don’t Convince People (and what you can do about it). YouTube. Retrieved from https://www.youtube.com/watch?v=S74C-XF9kYY
Keywords: rationality, gender, spirituality, speculative science, decision-making, social evolution, community
Bagaimana Sains dpt membentuk manusia yang rasional dan praktis?
hanya jika manusia itu menghendaki
Seberapa pentingkah bagi manusia untuk melatih rasionalitas?