Yuk, Kenali Dampak Negatif Sinar Tampak terhadap Kulit dari Beberapa Jurnal Penelitian!

Sinar tampak ini ternyata memberikan efek biologis terhadap kulit. Begitu pun bluelight yang panjang gelombangnya terdapat dalam rentang panjang gelombang sinar tampak juga memberikan dampak buruk bagi kulit.

Mengenal Dampak Negatif Sinar Tampak terhadap Kulit

Sampai saat ini, hanya gelombang UV yang terkenal memiliki efek biologis terhadap kulit. Gelombang UVB (280-320 nm atau 280-315 nm) yang diserap oleh kulit dapat menyebabkan eritema, kulit terbakar, bahkan kanker kulit. Selain itu, UVA (320-400 nm atau 315-380 nm) merupakan komponen utama radiasi UV matahari yang bersifat karsinogenik lemah dapat menyebabkan penuaan dan kerutan pada kulit (Matsumura et al., 2004). Oleh karena itu, banyak perusahaan skincare yang memproduksi UV protection untuk diaplikasikan di permukaan kulit. Hal tersebut dapat meminimalisasi dampak negatif dari sinar UV.

Namun, tahukah Anda? Bahwa komponen penyusun sinar matahari bukan hanya UV. Persentase sinar UV sebagai komponen penyusun sinar matahari hanyalah 5% (Krutmann et al., 2017) yang terdiri dari UVA, UVB, dan UVC dimana UVC tidak sampai ke permukaan bumi, karena telah terfilter oleh lapisan ozon. Justru komponen penyusun sinar matahari paling banyak adalah gelombang sinar tampak atau visible light (VL), yaitu sekitar 50% dari total penyusun sinar matahari (Krutmann et al., 2017).

Sinar tampak ini ternyata memberikan efek biologis terhadap kulit. Begitu pun bluelight yang panjang gelombangnya terdapat dalam rentang panjang gelombang sinar tampak juga memberikan dampak buruk bagi kulit. Selain dipancarkan oleh sinar matahari, blue light juga dipancarkan oleh sumber pencayaan buatan atau artificial light, seperti lampu LED, lampu neon, lampu pijar, dan juga sinar yang dipancarkan oleh TV, monitor, tablet, dan smartphone (Smick et al., 2013). Sehingga, pada malam hari manusia masih dapat terpapar bluelight dari penggunaan gadget atau lampu yang juga dapat memberikan efek negatif terhadap kulit.

Apa Itu Sinar Tampak dan Bluelight?

Bluelight (415-455 nm) adalah gelombang elektromagnetik yang panjang gelombangnya terletak pada rentang panjang gelombang sinar tampak(380-780 nm)(Smick et al., 2013). Sinar tampak atau visible light ini merupakan gelombang elektromagnetik yang dapat terlihat oleh mata manusia. Seperti gelombang elektromagnetik lainnya, visible light memiliki energi yang merupakan fungsi dari panjang gelombang. Semakin pendek panjang gelombangnya maka semakin besar energinya. Bluelight memiliki panjang gelombang paling kecil setelah violet, sehingga bluelight memiliki energi yang tinggi. Oleh karena itu, gelombang blue-violet light biasa disebut dengan High Visible Light (HVL).

Kemampuan suatu gelombang elektromagnetik menembus ke dalam kulit ini berbeda-beda. Radiasi UVB adalah radiasi yang paling tinggi energinya, tetapi hanya menembus lapisan kulit bagian atas, yaitu lapisan basal epidermis. Radiasi UVA dibagi menjadi UVA2 (315–340 nm) dan UVA1 (340–400 nm). Kebanyakan, UVA1 ini menembus ke bagian yang lebih dalam, yaitu ke bagian dermis. Visible light menembus jauh ke dalam kulit dan sekitar 20% mencapai hipodermis. Terakhir, 65% radiasi IR mencapai dermis dan 10% hipodermis (Krutmann et al., 2017). Sehingga didapatkan kesimpulan bahwa gelombang yang dapat menembus lapisan kulit paling dalam adalah gelombang sinar tampak.

Beberapa Penelitian terkait Dampak Negatif Sinar Tampak

1. Pigmentasi dan Eritema

Penelitian 1

Pada tahun 2010, Mahmoud et al. melakukan penelitian terkait efek dari cahaya tampak terhadap kulit yang bertujuan untuk menentukan efek cahaya tampak pada pigmentasi yang kemudian hasilnya dibandingkan dengan hasil kulit yang dipapar oleh UVA1. Kedua gelombang elektromagnetik tersebut digunakan untuk menyinari punggung 20 relawan dengan jenis kulit Fitzpatrick IV – VI dan jenis kulit Fitzpatrick II (Mahmoud et al., 2010).

Hasil Penelitian

Hasil yang didapatkan dari penelitian Mahmoud et al. untuk kulit tipe IV-VI yang diradiasi oleh UVA1 dengan dosis terkecilnya 5 J cm2 adalah adanya pigmentasi pada kulit. Semakin tinggi dosisnya, maka semakin gelap pigmentasi yang diamati. Selain itu, pigmentasi lebih intens terlihat pada sukarelawan berkulit lebih gelap. Pigmentasi yang terjadi pada sukarelawan berkulit tipe IV-VI ini diawali dengan timbulnya warna keabu-abuan pada kulit yang kemudian berubah menjadi cokelat setelah 24 jam. Kemudian pigmentasi ini memudar selama 2 minggu berikutnya (Mahmoud et al., 2010). Penelitian terkait UVA1 ini juga tidak dihasilkan eritema atau bercak kemerahan pada setiap titik waktu saat diradiasi.

Lain halnya dengan hasil penelitian untuk kulit tipe IV-VI yang diradiasi oleh sinar tampak dengan dosis terkecilnya adalah 40 J cm2. Hasilnya menunjukkan pigmentasi dengan warna cokelat gelap dari awal dan dikelilingi oleh eritema yang mulai memudar setelah setengah jam dan benar-benar memudar setelah 2 jam. Pigmentasi yang disebabkan oleh paparan sinar tampak ini pun tidak memudar selama 2 minggu berikutnya, bahkan pada dosis yang lebih rendah (Mahmoud et al., 2010).

Namun, terdapat kesamaan antara efek dari UVA1 dengan efek dari sinar tampak, yaitu pigmentasi terlihat lebih intens pada dosis yang lebih tinggi dan pada kulit yang lebih gelap. Lain halnya dengan kulit tipe II yang dipapar oleh UVA1 maupun sinar tampak. Pada kulit tipe II yang diradiasi oleh kedua gelombang tersebut tidak memberikan efek baik berupa pigmentasi maupun eritema (Mahmoud et al., 2010). Hal yang menyebabkan eritema hanya muncul pada tipe kulit IV-VI adalah adanya panas yang diproduksi pada tipe kulit ini karena adanya penyerapan sinar tampak oleh pigmen melanin. Panas ini yang menyebabkan pelebaran pembuluh darah di bawah kulit (Narla et al., 2020).

Kesimpulan Penelitian

Dari hasil penelitian Mahmoud et al. ini dapat disimpulkan bahwa efek dari sinar tampak terhadap kulit lebih buruk dibanding efek dari gelombang UVA1. Kemungkinan, VL memproduksi pigmentasi yang lebih gelap dan lebih tahan lama pada tipe kulit IV-VI (Narla et al., 2020). Selain pigmentasi, VL juga memberikan efek munculnya eritema pada kulit.

Penelitian 2

Penelitian lainnya yaitu pada tahun 2014 Duteil et al. melakukan penelitian dan berhipotesis bahwa semua panjang gelombang antara 400-700 nm tidak menyebabkan efek fotobiologis yang sama pada pigmentasi (Duteil et al., 2014). Salah satu alasannya didasarkan pada percobaan in vitro sebelumnya yang menunjukkan bahwa berbagai panjang gelombang visible light (VL) atau infrared (IR) dapat memiliki efek biologis yang berlawanan pada fibroblas manusia (Duteil et al., 2014).

Percobaan Duteil et al. ini dilakukan menggunakan 2 panjang gelombang yang dinilai potensial dalam memberikan efek pigmentasi terhadap kulit, yaitu di kedua ujung spektrum cahaya tampak. Panjang gelombang blue-violet light yang digunakan adalah 415 nm dengan intensitas 30 mWcm dan panjang gelombang merah yang digunakan adalah 630 nm dengan intensitas 55 mWcm (Duteil et al., 2014). Pada penelitian ini juga dilakukan paparan menggunakan gelombang UVB sebagai referensi.

Hasil Penelitian

Hasil dari penelitian ini adalah adanya efek dosis pigmentasi yang jelas setelah diradiasi oleh bluelight dengan panjang gelombang 415 nm. Kemudian 1 jam setelahnya diikuti oleh hiperpigmentasi yang berwarna cokelat sampai 22 hari ke depan dan juga teramati adanya eritema dengan jumlah yang sedikit dan sedang. Eritema ini menghilang setelah 24 atau 48 jam bergantung subjeknya (Duteil et al., 2014). Sedangkan, pada zona yang terpapar sinar merah dengan panjang gelombang 630 nm tidak diamati adanya pigmentasi maupun eritema pada titik waktu berapapun. Dari penelitian ini juga diketahui bahwa efek radiasi UVB tidak berbeda dengan efek dari radiasi sinar dengan komposisi bluelight 100% ataupun blue light 70% / sinar merah 30 %. Hanya saja UVB menghasilkan eritema lebih banyak dibanding blue light.

Kesimpulan Penelitian

Dari penelitian Duteil et al. ini dapat disimpulkan bahwa efek pigmentasi dan eritema bukan disebabkan oleh keseluruhan panjang gelombang pada sinar tampak, melainkan sebagian besar disebabkan oleh bluelight. Selain itu, efek pigmentasi yang disebabkan oleh bluelight sama dengan efek pigmentasi yang disebabkan oleh UVB. Namun, efek eritema yang dihasilkan oleh UVB lebih tinggi dibandingkan efek eritema yang dihasilkan oleh bluelight.

2. Penuaan Kulit dan Kerusakan DNA

Pada tahun 2012, Liebel et al. melakukan penelitian efek sinar tampak terhadap respon ROS (Reactive Oxygen Species) pada kulit. ROS (Reactive Oxygen Species) adalah senyawa pengoksidasi turunan oksigen yang bersifat sangat reaktif yang terdiri atas kelompok radikal bebas dan kelompok nonradikal. Kelompok radikal bebas inilah yang berbahaya apabila adanya ketidakseimbangan antara jumlah radikal bebas dengan antioksidan. Hal ini disebut stres oksidatif yang akan menyebabkan kerusakan oksidatif pada sel.

Hasil Penelitian

Pada penelitian Liebel et al. ini, dosis sinar tampak yang digunakan adalah 65, 130, dan 180 J cm2 dan meningkatkan ROS berturut-turut yaitu 5, 9, dan 18 kali lipat. Sebagai perbandingan, dosis 6,0 J cm2 dari simulator surya meningkatkan ROS sebesar 19 kali lipat (Liebel et al., 2012). Selain itu, dari penelitian ini dapat diambil informasi bahwa sinar tampak juga dapat menyebabkan pelepasan sitokin proinflamasi dan MMP (Matriks Metalloproteinase) di kulit, mirip dengan efek UV. Adanya peningkatan ROS, sitokin proinflamasi, dan MMP di kulit, maka sinar tampak berperan dalam penuaan dini pada kulit.

Perbedaan efek UVB dan efek VL dalam penelitian ini adalah radiasi UVB dapat menyebabkan kerusakan DNA yang dihasilkan dari reaksi fotokimia yang diakibatkan oleh penyerapan langsung foton oleh basa DNA, sedangkan sinar tampak mungkin tidak diserap secara langsung oleh basa DNA tetapi masih bisa merusak DNA dalam bentuk lain, seperti 8-Oxoguanine yang merupakan bentuk teroksidasi dari basa guanine (Liebel et al., 2012).

3. Terganggunya Regenerasi Kulit pada Malam Hari

Dong et al. melakukan penelitian terkait efek bluelight dengan ritme sirkadian dan pengaruhnya terhadap kulit. Penelitian ini menguji bluelight dengan panjang gelombang yang digunakan adalah 410 nm terhadap Normal Epidemal Keratenocytes (NHEK) atau sel utama penyusun lapisan epidermis.

Hasil Penelitian

Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa NHEK sensitif terhadap bluelight yang kemudian berpengaruh pada sistem kerjanya. Karena kehadiran cahaya, NHEK “berpikir” bahwa saat itu masih siang hari. Hal tersebut akan memengaruhi sinkronisasi sel-sel kulit pada malam hari dan memengaruhi fungsi regenerasi yang seharusnya dapat terjadi dalam kegelapan (Dong et al., 2019).

Penelitian lainnya adalah sinar dari tablet dipaparkan terhadap NHEK selama 60 menit dan didapatkan persentase ROS yang diproduksi relatif tinggi, yaitu 88% sehingga seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, produksi ROS bisa menyebabkan stres oksidatif apabila jumahnya tidak seimbang dengan jumlah antioksidan dalam tubuh dan mengakibatkan penuaan dini pada kulit.

4. Solar Urtikaria, Erythropoietic Protophyria (EPP), dan Melasma

Solar urtikaria (SU) adalah penyakit yang dimediasi sel mast karena adanya sensitivitas terhadap UV atau VL (Narla et al., 2020). Urtikaria itu sendiri berbentuk seperti papul atau plakat eritematosa yang sedikit meninggi dengan batas jelas dan ukuran beragam disertai dengan edema dan gatal (Guo & Saltoun, 2019).

Sedangkan, erythropoietic protoporphyria atau EPP adalah fotodermatosis parah yang dikaitkan dengan fototoksisitas akut (Narla et al., 2020). Fototoksisitas ini dihasilkan dari akumulasi protoporphyrin dalam sel dan jaringan darah merah karena penurunan aktivitas enzim ferrocheletase dalam biosintesis heme. Ketika kulit terkena sinar matahari atau VL, akumulasi protoporphyrin dalam pembuluh darah diaktifkan oleh bluelight (400-410 nm) yang menghasilkan reaksi radikal bebas dan menyebabkan pada rasa sakit yang hebat, eritema, dan edema (Bolognia et al., 2012).

Melasma adalah hiperpigmentasi pada area yang terpapar sinar matahari dan umum terjadi pada wanita dengan jenis kulit yang lebih gelap (Narla et al., 2020). Melasma ini dapat disebabkan oleh sinar tampak yang menginduksi ROS sehingga terjadi pelepasan sitokin inflamasi dan MMP di kulit (Narla et al., 2020). Melasma ini sering dikenal sebagai flek hitam dan biasa terjadi pada kulit wajah.

Kesimpulan

Dari review singkat beberapa artikel jurnal di atas, sinar tampak atau Visible Light ternyata memberikan banyak dampak negatif terhadap kulit, antara lain pigmentasi, eritema, penuaan kulit, melasma, solar urtikaria, erythropoietic protoporphyria (EPP), mengganggu regenerasi kulit pada malam hari, bahkan kerusakan DNA. Oleh karena itu, selain membutuhkan UV protection, manusia juga membutuhkan VL protection untuk melindungi kulit dari paparan gelombang sinar tampak. Jadi, bagaimana perkembangan VL protection? Tunggu, ya di tulisan selanjutnya!

Referensi

10 komentar untuk “Yuk, Kenali Dampak Negatif Sinar Tampak terhadap Kulit dari Beberapa Jurnal Penelitian!”

  1. Wah baru tau saya kalau sinar tampak ada efek sebesar itu, selama ini saya kira aman” saja karena ada dimana”. Mantap mantap

  2. blank
    Lindiawan Iwan

    Bravo… Menambah wawasan… Terima kasih… Sukses selalu… Semoga bertambah object penelitiannya…👍

    1. Maaf ibuu.. mungkin maksud ibu objek penelitian orang yang saya review atau yang saya jadikan referensi ya, bu? Karena ini bukan oenelitian saya buu.. saya hanya mereview secara singkat beberapa jurnal penelitian ahli dan berusaha mengambil kesimpulannya hehe.. 🙏🏻

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *