Ditulis oleh Jaki Umam
Einstein mencetuskan prinsip relativitas pada 1905 dan melengkapinya satu dekade kemudian [1]. Prinsip ini memperlihatkan bahwa perilaku alam semesta bersifat invarian serta kecepatan cahaya selalu konstan ditinjau dari sembarang pengamat. Buat kamu yang belum tahu, invarian berarti tergantung pada situasi dan kondisi pengamat yang bersangkutan, sedangkan konstan sama sekali tidak tergantung pada situasi dan kondisi pengamat yang bersangkutan.
Misalnya jika sebuah mobil bergerak 20 km per jam diukur seorang pengamat yang diam (artinya bergerak 0 km per jam) maka kecepatan mobil itu akan sedikit berbeda oleh seorang pengamat yang tak diam (artinya bergerak x km per jam), misalnya pengamat yang bergerak 5 km per jam akan mengukur kecepatan mobil tersebut sebesar 20,000000000000001 km per jam. Mungkin koreksinya tidak berarti jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, namun akan menjadi signifikan jika diterapkan dalam dunia partikel elementer yang bergerak mendekati kecepatan cahaya. Hasil ini memang sedikit aneh, namun generalisasi prinsip Einstein sangat meyakinkan berlaku untuk semua hukum fisika, tanpa kecuali.
Heisenberg[2] menemukan prinsip baru pada 1926 yang jauh lebih janggal yang terbukti harus pula diperhitungkan dalam dunia atom dan partikel elementer, dikenal dengan prinsip ketidakpastian. Prinsip ini memperlihatkan bahwa perilaku alam semesta bersifat tak pasti sampai ia diukur.
Heisenberg melakukan eksperimen dengan menggunakan tabung sinar gamma untuk meneliti perilaku elektron. Posisi elektron yang diukur dengan menggunakan teleskop sinar gamma selalu tidak akurat jika dilakukan bersamaan dengan pengukuran momentumnya. Ketidakakuratannya bersifat konstan, yakni sebesar setengah konstanta Planck yang terpolarisasi. Meskipun terkesan aneh, namun generalisasi prinsip ini juga terbukti berlaku untuk semua hukum fisika, sama seperti prinsip Einstein.
Persamaan kedua prinsip tersebut adalah karena interaksi selalu melibatkan media cahaya, sehingga pengukuran apapun menjadi relatif dan tak pasti. Namun, ada satu ganjalan ketidaksinkronan yang menyulitkan fisikawan sejak dulu, yakni munculnya interaksi seketika bahkan dalam perumusan mekanika kuantum yang sangat sederhana, yakni spin elektron.
Sepanjang dihelatnya beberapa kali konferensi fisika paling penting abad lalu, Konferensi Solway, topik ketidaksinkronan kedua prinsip utama tersebut mengisi berbagai sesi debat. Debat paling terkenal terjadi pada Konferensi Solway ke-5 di Brussel pada 1927 ketika Einstein dan Bohr berseteru mengenai prinsip ketidakpastian. Einstein menolak prinsip tersebut. Debat ini berujung pada diusulkannya Paradoks EPR[3] pada 1935 oleh Einstein dan dua koleganya.
Einstein membayangkan dua elektron A dan B dengan spin yang berpasangan. Jika mengacu pada prinsip ketidakpastian, perilaku elektron-elektron itu bersifat tak pasti sampai mereka diukur. Karena kedua spin elektron berpasangan, pengukuran yang satu, misalnya A, akan mempengaruhi pengukuran lainnya, yakni B. Permasalahannya muncul manakala sepasang elektron berpasangan harus memiliki spin yang berpasangan pula, yakni “atas” dan “bawah.” Oleh karena itu, hasil pengukuran yang satu akan mempengaruhi pengukuran lainnya secara seketika sehingga bertentangan dengan prinsip relativitas yang menolak adanya kecepatan seketika.
Berpuluh tahun kemudian, bermula pada 1964, Bell[4] mengusulkan gagasan ketidaksamaan antara keterbelitan dan lokalitas. Usul tersebut bersifat teoretis sehingga Freedman dan Clauser[5] pada 1972 pertama kalinya dapat mempersiapkan dua partikel yang secara quantum berpasangan.
Eksperimen penting diselenggarakan oleh Aspect[6] pada 1982 berdasarkan hasil Freedman dan Clauser. Apa yang dilakukan Aspect berhasil mendorong para fisikawan untuk mengangkat topik lama ini dan mengulang debat. Hasil Aspect menolak konsep lokalitas. Ia mengamati bahwa dunia ini bukan semata penampakan lokal namun didukung oleh sesuatu yang tak tampak, gaib dan tak terperantarai ruang dan waktu, mirip interaksi seketika. Contoh-contoh populer fenomena non-lokal adalah voodoo di Afrika dan persepsi luar sadar manusia.
Eksperimen Aspect
Eksperimen besar selanjutnya dilakukan Hensen[7] pada 2015 yang berhasil mengobservasi fenomena loophole yang mengonfirmasi adanya kecepatan seketika. Eksperimen terbaru dipublikasi tim The BIG Bell[8] pada 2018 juga mengonfirmasi interaksi aneh tersebut. Sejauh itu memang tak ada penjelasan lain mengenai interaksi dalam keterbelitan kuantum kecuali adanya interaksi seketika yang tak didukung teori relativitas Einstein.
Hasil-hasil eksperimen yang tak sinkron mengharuskan perlunya ditambahkan sebuah prinsip yang dapat memandang alam semesta secara utuh, yakni prinsip keberpasangan.
Prinsip keberpasangan memperlakukan alam semesta yang selalu berpasangan, tidak ada lagi definisi tunggal, sehingga pengukuran dapat dilakukan hanya pada satu pihak saja. Contoh yang paling sederhana adalah kode-kode genom pada laki-laki pasti selalu berpasangan dengan perempuan. Bagaimana protein pada tubuh laki-laki membentuk penis sebagai alat kelamin laki-laki dan vagina pada perempuan seperti itu adanya. Tidak ada contoh di dunia ini genom perempuan mengkodekan protein untuk membentuk penis atau juga sebaliknya. Jadi, tak perlu dilakukan pengurutan kode genom laki-laki misalnya, jika kode genom perempuan diketahui, begitu sebaliknya.
Lebih jauh, keberpasangan memandang bahwa interaksi dua elektron akibat adanya sifat mendasar “saling berpasangan” dalam diri mereka, bukan karena ada loophole atau interaksi seketika. Spin elektron A telah terkodekan sebagai “atas” dan “bawah”tergantung dari spin elektron B, begitu sebaliknya. Jika pun sifat-sifat kedua elektron tersebut tak pasti sampai mereka diukur, maka tak perlu dilakukan pengukuran suatu elektron jika elektron pasangannya telah terukur.
Data The BIG Bell menunjukkan hampir 85% interaksi yang dikendalikan oleh para partisipan bebas saling terbelit. Keterbelitan adalah keniscayaan karena prinsip keberpasangan mengaturnya dalam semua hal yang berkaitan dengan variabel Alice dan Bob (sistem, fisik dan interaksi) sama seperti kode-kode genom yang acak pada laki-laki mengatur untuk berpasangan dengan kode-kode genom yang acak pada perempuan.
Secara sederhana bahwa paradoks EPR bukanlah paradoks, namun bagian dari sistem keberpasangan yang saling terbelit.
Lalu jika prinsip keberpasangan berhasil menjelaskan paradoks ini, apakah semuanya selesai? Tentu tidak. Prinsip ini memunculkan konsekuensi sehingga hukum-hukum fisika dasar pun harus dikalibrasi. Karena tidak ada sesuatu pun yang tunggal, semua hukum fisika juga harus bersifat berpasangan. Misalnya jika hukum ruang berpasangan dengan hukum waktu, maka fisikawan hanya perlu mendefinisikan apa itu ruang untuk mengetahui apa itu waktu, begitu pula sebaliknya. Jadi, pengukuran untuk tiap variabel yang dipersyaratkan Heisenberg gugur.
[1] Einstein, A., Ann. Phys. 17: 891-921 (1905).
[2] Heisenberg, W., Z. Phys. 43, 172 (1927).
[3] Einstein, A., Podolsky, B., Rosen, N., Phys. Rev. 47, 777 (1935).
[4] Bell, J.S., Physics 1: 195-200 (1964).
[5] Freedman, S.J., Clauser, J.F., Phys. Rev. Lett. 28, 14 (1972).
[6] Aspect, A., Dalibard, J., Roger, G., Phys. Rev. Lett. 49, 25 (1982), bisa lihat juga pekerjaan yang lain Aspect, A., Nature 446: 866–867 (2007).
[7] Hensen, B., et al. Nature 526: 682-686 (2015), bisa lihat juga pekerjaan yang lain Hensen, B., et al. Scientific Reports 6, 30289 (2016).
[8] The BIG Bell Test Collaboration, Nature 557: 212-216 (2018).