Amoxilin, tetrasikilin, dan eritromisin. Pasti sering mendengar dan menerima obat tersebut bukan? Akan tetapi, apakah kesamaan dari ketiga obat tersebut? Tentu saja, mereka semua adalah golongan obat yang disebut dengan nama antibiotik. Antibiotik merupakan jenis obat yang bertujuan untuk membunuh bakteri yang sering menjadi penyebab penyakit. Lalu, bagaimana bisa jenis obat ini menjadi sangat penting dan ditemukan? Berikut sejarahnya:
Perkembangan awal antibiotik
Suatu hari di Bulan September 1928, Alexander Fleming melupakan cawan petri penuh bakteri miliknya di jendela selama berhari-hari. Setelah kembali, dia menemukan kapang tumbuh di dalamnya dan hidup bersama bakteri. Akan tetapi, sebuah area jernih muncul di dalam cawan tersebut yang berada di antara bakteri dan fungi. Fleming pun melihat bahwa, bakteri di sekitar area tersebut mengalami kematian akibat senyawa yang dihasilkan kapang tersebut.
Lukisan Fleming di dalam Laboratoriumnya oleh Ethel Léontine Gabain (sumber: Wikimedia Common)
Senyawa inilah yang menjadi cikal bakal antibiotik dan memulai salah satu penemuan penting di abad 20 yang dikenal dengan nama “Penisilin”. Nama Penisilin diadaptasi dari genus kapang yang memiliki senyawa anti bakteri tersebut, yaitu Pennicilium.
Penisilin membunuh bakteri dengan cara meledakkan dinding sel pada bakteri. Peledakan dinding sel disebabkan oleh penisilin yang menghambat proses pembentukan ikatan silang yang terjadi dalam proses penyusunan peptidoglikan yang merupakan makromolekul penyusun dinding sel bakteri. Penyusunan peptidoglikan yang terhambat, menyebabkan
peptidoglikan menjadi rapuh sehingga menyebabkan tekanan air masuk ke dalam tubuh sel sehingga membengkakkan dinding sel sampai akhirnya meledak.
Proses pemurnian Florey dan Chain
Namun, Fleming tidak memiliki kemampuan untuk memurnikan senyawa tersebut lebih lanjut. Kemurnian senyawa merupakan syarat awal senyawa agar dapat dilakukan uji klinis dengan memberikannya kepada hewan uji untuk melihat efeknya. Karena hambatan tersebut, penemuannya kehilangan perhatian dalam waktu yang cukup lama. Setelah satu dekade berlalu, penisilin kembali mendapatkan perhatian. Tepatnya setelah Howard Florey dan Ernst Boris Chain yang bekerja sama dengan Norman Heatley berhasil menemukan teknik pemurnian yang tepat untuk penisilin. [1]
Sebuah obat harus melewati uji klinis agar bisa dipercaya untuk digunakan sebagai obat. Uji klinis pertama kali berhasil dilakukan kepada mencit pada awal tahun 1941 dan mereka membutuhkan uji kepada manusia untuk mengetahui efektivitas terhadap manusia agar lebih dipercayai efektivitasnya. Pasien pertama merupakan seorang polisi. Namanya adalah Albert Alexander yang tiba dalam keadaan cukup parah dengan kedua mata yang sudah buta hanya karena infeksi yang disebabkan oleh goresan duri bunga mawar.[1]
Setelah pemberian antibiotik, Alexander perlahan membaik dan stabil untuk beberapa saat. Akan tetapi, karena pasokan antibiotik yang tidak cukup, Alexander pun meninggal pada tanggal 15 Maret 1941 dan meninggalkan penyesalan terhadap para peneliti. Warisan hasil positif penisilin pada kasus Alexander memberikan harapan dan saat itu mereka mulai berpikir bagaimana untuk memproduksi antibiotik lebih banyak.[1]
Produksi Massal Penisilin
Pada percobaan awal, Florey dan rekannya meminta bantuan kepada perusahaan besar yang ada di Inggris yang menjadi negara tempat tinggal mereka. Sayangnya, Inggris tidak sanggup karena harus menghadapi Perang Dunia II. Akhirnya, mereka meminta bantuan kepada Amerika Serikat.[2]
Tokoh yang menjadi tujuan adalah Warren Weaver yang merasa tertarik dengan potensi obat baru tersebut. Weaver merupakan kepala dari Yayasan Rockefeller yang merupakan yayasan kemanusiaan yang terpusat di Amerika Serikat. Yayasan ini rutin memberikan bantuan yayasan dan dana untuk kepentingan umat manusia.[1]
Pada tanggal 1 Juli 1941, mereka berdua berangkat menuju Amerika Serikat dan melanjutkan penelitian produksi
massal penisilin di Laboratorium Departemen Pertanian Daerah Selatan Peoria, Illinois. Keputusan bekerja di tempat ini merupakan keputusan yang tepat karena para peneliti di sana telah memiliki pengalaman yang cukup banyak dalam meneliti jamur dan organisme sejenis. Tempat ini juga dekat dengan ladang jagung yang merupakan penghasil medium yang tepat untuk perkembangan bakteri.[1]
Pencarian galur baru
Pada akhirnya, proyek ini mendapatkan dukungan dari Militer Amerika Serikat dan beberapa perusahaan obat besar seperti Merck and Pfizer setelah beberapa saat. Akan tetapi, penelitian menemui hambatan kembali karena membutuhkan galur kapang yang memiliki produktivitas yang lebih baik dari kapang yang dimiliki. Pencarian pun dilaksanakan hingga ke seluruh dunia yang pada puncaknya berhasil mengumpulkan 135.000 galur.
Uniknya, galur kapang terbaik ditemukan dekat dengan lokasi penelitian. Kapang tersebut ditemukan oleh Mary Hunt yang menemukannya di sebuah belewa busuk di sekitar pasar petani di Kota Peoria. Akibat jasanya ini, Mary dijuluki sebagai ‘Moldy Mary’ (Mary Berkapang).[3]
Galur tersebut memiliki 6 kali lipat produktivitas yang lebih baik dibandingkan galur yang sebelumnya digunakan. Akhirnya produksi dapat dilanjutkan dan rampung diproduksi. Akhirnya pada tahun 1943, persediaan penisilin mampu memenuhi permintaan Pasukan Sekutu untuk persiapan Perang Dunia II. [2]
Kehidupan-kehidupan yang diselamatkan penisilin
Penisilin membuka jalan dalam revolusi besar-besaran di dalam dunia kedokteran. Karena sebelum penemuan antibiotik,
TBC menjadi penyakit yang menyebabkan tingkat kematian yang tinggi. Tingkat kematian ini disebabkan karena penanganan TBC yang hanya mampu ditangani dengan hanya pemberian udara segar dan makanan sehat yang tidak terlalu efektif dalam membunuh bakteri yang menjadi penyebab penyakit TBC.[4]
Antibiotik juga merevolusi proses transplantasi organ yang kini dapat dilakukan lebih aman. Sebelum penemuan antibiotik, dokter mengalami hambatan dalam mentransplantasikan organ karena sistem imun pasien menyerang organ baru yang ingin ditransplantasikan. Berkat antibiotik, sistem imun tersebut dapat dilemahkan sehingga organ dapat ditransplantasikan dengan lancar.
Padahal sebelum abad 20, umur harapan hidup rata-rata manusia berada di usia 47 tahun.[5] Setelah revolusi antibiotik, umur harapan hidup di Amerika Serikat mencapai rata-rata 68 tahun yang diikuti oleh negara Skandinavia berada di umur 70 Tahun. Negara timur juga mengalami peningkatan, seperti Tiongkok yang berhasil mengejar ketimpangan mereka dari Amerika Serikat yang sebelumnya sekitar 20 tahun hanya menjadi dua tahun saja. Kasus kematian ibu melahirkan di negara Inggris dan Wales juga menurun drastis dibandingkan 60 tahun lalu setelah penemuan antibiotik. Kini, Tidak ada lagi Alexander lain yang meninggal hanya karena goresan duri.[4]
Peringatan Fleming atas bahaya resistensi bakteri
“Mungkin akan tiba waktunya ketika penisilin dapat dibeli siapapun di toko. Kemudian bahaya
Alexander Fleming
muncul saat orang yang abai tersebut mungkin dengan mudahnya memberikan dirinya dosis yang
rendah dan paparan jumlah yang tidak mematikan terhadap mikroba yang ada di dalam dirinya
sehingga membuat mikroba tersebut tersebut menjadi resisten.”
Penggalan pidato ini di sampaikan oleh Fleming dalam penerimaan Penghargaan Nobel di bidang kedokteran yang dia terima bersama dengan Chain dan Florey pada tahun 1945.[6]
Judul Utama Koran The New York Times Oktober 1945 (Sumber: Amazon)
Ketakutan Fleming menjadi kenyataan berpuluh-puluh tahun kemudian. Faktanya, dunia mengalami 700.000 kematian akibat bakteri resistan antibiotik setiap tahunnya.[7] Pada tahun 2014, Indonesia telah menyumbang 140.000 kematian. Fenomena ini disebabkan oleh kurangnya pengawasan terhadap penggunaan secara berlebihan antibiotik dalam usaha peternakan sehingga residu antibiotik yang dikonsumsi manusia menyebabkan bakteri mengalami resistansi
lebih cepat.
Saat ini, ditengah cengkraman resistensi antibiotik yang terus meningkat. Bisa saja, masa sebelum adanya Penisilin akan kembali menghantui umat manusia dan mengembalikan fenomena saat manusia ketakutan hanya karena sebuah goresan. Penisilin adalah kecerobohan yang mengubah banyak kehidupan dan menyelamatkannya. Kecerobohan tersebut mungkin saja menciptakan harapan. Akan tetapi, apakah kecerobohan pengabaian penggunaan antibiotik secara berlebihan mampu menghadirkan harapan baru bagi umat manusia?
Referensi:
- 1.Johnson S . 2021. How Humanity Gave Itself an Extra Life. NYTimes. https://www.nytimes.com/2021/04/27/magazine/global-life-span.html diakses pada 2 Juni 2021.
- 2. Gaynes R.2017. The Discovery of Penicillin—New Insights After More Than 75 Years of Clinical Use. Emerging Infectious Diseases:849-853.23(5). DOI:10.3201/eid2305.161556
- 3.Farris C. 2019. Moldy Mary… Or a Simple Messenger Girl?.https://www.peoriamagazines.com/pm/2019/dec/moldy-mary-or-simple-messenger-girl diakses pada 2 Juni 2021.
- 4. Sealey T. 2015. Life before antibiotics (and maybe life after an antibiotic apocalypse). https://www.bbc.com/news/newsbeat-34866829 diakses pada 2 Juni 2021.
- 5.Adedeji W A. 2016. The Treasure Called Antibiotics. Ann Ib Postgrad Med.14(2): 56–57.PMID: 28337088
- 6. Fleming.1945. Penicilin. https://www.nobelprize.org/uploads/2018/06/fleming-lecture.pdf diakses pada 2 Juni 2021.
- 7. Lukito W. 2019. Insight: How many AMR deaths will it take before we act?. https://www.thejakartapost.com/academia/2019/07/15/insight-how-many-amr-deaths-will-it-take-before-we-act.html diakses pada 2 Juni 2021
Mahasiswa jurusan Biokimia yang berkuliah di Institut Pertanian Bogor yang sedang memproses penyelesaian skripsinya.