Berita mengenai munculnya antraks di Gunungkidul telah menjadi berita nasional, setelah setahun sebelumnya muncul penyakit PMK. Beberapa liputan berita menyebutkan bahwa penyebaran berawal dari kasus menyembelih dan membagikan bangkai sapi yang mati karena sakit untuk dikonsumsi oleh warga. Kasus kematian terjadi juga pada warga yang terlibat dalam proses penyembelihan hewan sapi yang sudah mati. Gejala awal yang dirasakan biasanya adalah gatal, bengkak, dan luka yang spesifik dengan gejala antraks. [1],[2]
BACA JUGA : Penyakit Mulut dan Kuku di Indonesia: Apakah Daging dan Susu Masih Aman?
Padahal, berdasarkan penelitian, menyentuh hewan ternak di daerah yang terjangkit antraks berisiko 6 kali lebih rentan untuk tertular dibandingkan dengan yang tidak menyentuh. Menangani daging hewan ternak yang terjangkit antraks berisiko 5 kali untuk tertular dibandingkan dengan yang tidak menangani daging.[3]
APA ITU ANTRAKS?
Antraks merupakan salah satu penyakit infeksi akut yang penyebabnya adalah bakteri Bacillus anthracis yang membentuk spora. Penyakit ini telah tersebar di seluruh dunia dan Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki angka kejadian cukup tinggi. Penyakit ini tidak hanya menyerang semua hewan berdarah panas, tetapi juga manusia. Penularan ke manusia terjadi setelah paparan ke jaringan pada tubuh dari hewan terinfeksi, seperti memegang hewan yang sakit, mengkonsumsi dagingnya, bahkan jika hanya menghirup udara di dekat hewan yang terserang antraks.[4]
Bangkai hewan yang mati karena antraks menunjukkan tanda-tanda antara lain adanya darah yang keluar dari lubang tubuh seperti mulut, telinga, hidung, dan anus. Selain itu, limpa terlihat membesar berwarna merah kehitaman. Pada manusia, penemuan kasus yang paling sering ada di Indonesia adalah antraks kulit, sedangkan kasus antraks saluran pernafasan dan injeksi jarang jarang ada.
TINDAKAN PENCEGAHAN ANTRAKS
Bagaimana mencegah penularan penyakit ini? antara lain dengan menghindari mengonsumsi daging ternak yang kurang matang dan dengan melakukan pengecekan kesehatan berkala kepada hewan ternak. Pengobatan pada hewan yang terserang antraks dapat menggunakan penisilin, tetrasiklin, dan preparate sulfa. Langkah selanjutnya adalah melakukan vaksinasi setelah pengaruh obat sudah hilang, sebab melakukan pengobatan bersamaan dengan vaksinasi dapat mematikan endospora yang terkandung dalam vaksin, sehingga kinerja vaksin kurang maksimal.
Untuk memutus rantai penularan, wajib untuk melakukan pemusnahan terhadap bangkai ternak yang terkena antraks dan semua alat dan material yang berisiko tercemar atau terkena kontak atau bersinggungan dengan hewan penderita dengan cara membakar dan menguburnya dalam-dalam serta melapisi bagian atas dari lubang kubur dengan batu kapur. Area penguburan wajib memiliki tanda supaya tidak ada manusia yang menggembalakan dan memelihara hewan ternak yang di area sekitar penguburan. Penularan pada hewan dan manusia dapat terjadi karena menelan, masuk melalui luka pada kulit, bahkan menghirup spora.
Hewan herbivora seperti sapi biasanya terinfeksi saat menelan cukup banyak spora di tanah atau pada tanaman di padang rumput. Spora antraks dapat bertahan selama puluhan tahun di tanah atau produk hewani seperti kulit kering, kulit olahan, dan wol. Spora juga bisa bertahan selama dua tahun dalam air, sepuluh tahun dalam susu, dan bahkan sampai 71 tahun pada benang sutera.[4]
PRAKTIK BUDAYA
Kondisi kehidupan dan praktik budaya yang melekat pada masyarakat mempengaruhi kejadian penularan antraks ke manusia. Sulit untuk menghilangkan kebiasaan menyembelih dan mengkonsumsi ternak yang sakit oleh peternak di negara berkembang seperti Indonesia, mengingat masih banyak pelaksanaan penyembelihan ternak selain di tempat pemotongan resmi. Ada dugaan bahwa penularan yang terjadi Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta merupakan akibat dari tradisi serupa yang bernama brandu atau purak. Tradisi ini terdiri dari pemotongan sapi dan kambing sakit, kemudian memperjualbelikan daging ke tetangga dengan harga di bawah standar, yang bertujuan agar peternak tidak rugi besar. Padahal daging yang terkontaminasi sangat berbahaya untuk dikonsumsi bahkan hanya sekedar disentuh.[5], [6]
Pengendalian penyakit antraks pada ternak lebih efektif dan efisien dengan melakukan edukasi pada peternak secara teratur, yang juga merupakan kunci dalam upaya mengurangi kasus penularan pada manusia. Oleh karena itu, Pekerja di bidang peternakan harus mulai memperhatikan hal ini, serta pemegang kebijakan juga sebaiknya memberi perlindungan bagi para pekerja di sektor ini terutama dalam aspek keselamatan kerja
REFERENSI
[1] Ika Suryani Syarief . 2023. https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2023/tiga-meninggal-begini-kronologi-penyebaran-antraks-di-gunung-kidul/ Diakses 10 Juli 2023
[2] Agisna Riawan, A. 2023. https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-6813720/3-pasien-antraks-meninggal-di-gunungkidul-disebut-gegara-sembelih-ternak-sakit akses 10 Juli 2023
[3] Basri, C. dan Kiptiyah, N. M. . 2010. Memegang Hewan Rentan dan Menangani Produknya Berisiko Besar Tertular Antraks Kulit di Daerah Endemis. Jurnal Veteriner. 11(4):226-231
[4] Clarasinta, C. dan T. U. Soleha. 2017. Penyakit Antraks: Ancaman untuk Petani dan Peternak. Majority. (7)1: 158-163
[5] Eny Martindah . 2017. Faktor Risiko, Sikap dan Pengetahuan Masyarakat Peternak dalam Pengendalian Penyakit Antraks. Wartazoa. 27(3):135-144 [6] Andry Novelino. 2023. Mengenal Tradisi Brandu, Biang Kerok Penularan Antraks di Gunungkidul. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20230707175026-284-970857/mengenal-tradisi-brandu-biang-kerok-penularan-antraks-di-gunungkidul Diakses 10 Juli 2023
APA ITU ANTRAKS?