The Great Chinese Famine: Sebuah Tragedi Akibat Adaptasi Sistem Pertanian yang Mengakibatkan Ketidakseimbangan Ekosistem di Cina

Peristiwa The Great Chinese Famine yang terjadi antara tahun 1959 hingga 1961 merupakan salah satu bencana kelaparan paling parah dalam […]

Sistem pertanian yang mengakibatkan kelaparan

Peristiwa The Great Chinese Famine yang terjadi antara tahun 1959 hingga 1961 merupakan salah satu bencana kelaparan paling parah dalam sejarah manusia. Dipicu oleh kombinasi kebijakan ekonomi yang radikal seperti Great Leap Forward, perubahan iklim yang ekstrem, serta kesalahan dalam manajemen pertanian, bencana ini menyebabkan penurunan drastis produksi pangan dan kematian massal yang menjadi sejarah kelam.

Penyebab dan Dampak Kelaparan

Pemicu tragedi kemanusiaan ini adalah kebijakan ekonomi dan sosial yang diterapkan oleh pemimpin Tiongkok saat itu, Mao Zedong. Salah satu faktor yang berkontribusi pada kelaparan ini adalah kampanye pembasmian burung gereja, yang diluncurkan sebagai bagian dari program “Great Leap Forward” (Lompatan Besar ke Depan).

Sumber: nytimes.com

Kampanye ini bertujuan untuk mempercepat industrialisasi dan kolektivisasi pertanian di Tiongkok. Namun, kebijakan ini tidak hanya mengakibatkan kegagalan produksi pangan yang masif, tetapi juga menciptakan kondisi sosial yang sangat buruk. Mengutip dari BBC, Sejarawan Frank Dikötter memperkirakan bahwa antara 15 hingga 45 juta orang tewas akibat kelaparan selama periode ini.

Kampanye Pembasmian Burung Gereja untuk Sistem Pertanian

Sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan hasil pertanian, Mao Zedong menganggap burung gereja sebagai hama yang harus dibasmi karena mereka dianggap memakan biji-bijian yang seharusnya menjadi makanan bagi rakyat. Dalam konteks ini, burung gereja dimasukkan dalam daftar “empat wabah” bersama dengan tikus, nyamuk, dan lalat.

Sumber: bbc.com

Kampanye ini melibatkan mobilisasi massal dimana seluruh warga negara diminta untuk membunuh burung gereja dengan berbagai cara. Namun, tindakan ini berujung pada konsekuensi ekologis yang serius. Dengan hilangnya burung gereja, populasi serangga meningkat pesat, yang pada gilirannya merusak tanaman pertanian dan memperburuk keadaan kelaparan.

Konsekuensi Ekologis dan Kemanusiaan

Akibat dari pembasmian burung gereja dan kebijakan pertanian yang buruk, Tiongkok mengalami penurunan drastis dalam produksi pangan. Dalam waktu singkat, negara tersebut tidak hanya kehilangan sumber daya alamnya tetapi juga terpaksa mendatangkan kembali burung gereja dari negara lain untuk mengembalikan keseimbangan ekosistem. Tragedi ini menunjukkan bagaimana keputusan politik yang hanya berdasarkan pada ideologi dapat memiliki dampak kehancuran terhadap masyarakat dan lingkungan.

Menurut penelitian, dalam kurun waktu tiga tahun, produksi pangan nasional menurun hingga 30%, menyebabkan jutaan orang mengalami kelaparan. Diperkirakan sekitar 30 juta orang meninggal akibat kelaparan ini, yang jauh melampaui jumlah korban dalam Perang Dunia I. Dampak dari bencana ini tidak hanya terbatas pada aspek pangan dan demografi tetapi juga mencakup dampak jangka panjang terhadap psikologi individu dan kebijakan pertanian di masa depan.

Efek Jangka Panjang terhadap Adopsi Teknologi Pertanian

Jurnal oleh Hu, et al. (2022) menunjukkan bahwa pengalaman traumatis selama kelaparan telah memberikan dampak psikologis yang mendalam terhadap rumah tangga pertanian di Cina, khususnya dalam hal pengambilan risiko dan adopsi teknologi baru. Studi ini menemukan bahwa individu yang mengalami kelaparan di masa kecil dan remaja cenderung memiliki tingkat penghindaran risiko yang lebih tinggi, yang pada gilirannya menghambat adopsi teknologi pertanian modern.

Melalui metode difference-in-differences, penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat paparan terhadap kelaparan selama masa kanak-kanak dan remaja berhubungan dengan penurunan probabilitas adopsi teknologi pertanian sebesar 0,137% untuk setiap peningkatan 1% dalam eksposur terhadap kelaparan. Petani yang selamat dari kelaparan cenderung lebih memilih pendekatan konservatif dalam praktik pertanian mereka dan kurang bersedia untuk mengambil risiko dalam mengadopsi teknologi baru seperti benih unggul atau pupuk modern.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Teknologi Pertanian

Studi ini juga menunjukkan bahwa selain trauma masa kecil, faktor lain seperti akses terhadap pelatihan pertanian, tingkat pendidikan, dan kehadiran teknisi pertanian di desa juga berperan penting dalam mendorong adopsi teknologi. Kabupaten-kabupaten yang memiliki kepadatan teknisi yang lebih tinggi cenderung mengalami tingkat adopsi teknologi yang lebih baik karena mereka menyediakan informasi yang dibutuhkan untuk mengurangi ketidakpastian dan risiko yang dirasakan oleh petani.

Implikasi pada Kebijakan Terkait Pertanian

Penelitian ini menegaskan pentingnya mempertimbangkan dampak historis dan psikologis dalam merancang kebijakan pertanian. Pemerintah perlu mengadopsi strategi yang lebih sensitif terhadap pengalaman masa lalu petani dan menciptakan insentif yang dapat membantu mereka mengatasi ketakutan akan risiko, seperti memberikan pelatihan intensif dan program asuransi pertanian yang melindungi petani dari kemungkinan gagal panen.

The Great Chinese Famine tidak hanya meninggalkan luka dalam pada sejarah Cina, tetapi juga membentuk pola pikir petani selama beberapa dekade ke depan. Upaya untuk mendorong modernisasi pertanian harus memperhitungkan faktor-faktor psikologis dan sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Baca juga: https://warstek.com/pertanian-ramah-lingkungan/

Dampak Jangka Panjang terhadap Kondisi Kesehatan

The Great Chinese Famine mengakibatkan korban jiwa dengan angka perkiraan mencapai 15 hingga 43 juta orang. Selain dampak langsung berupa kematian massal dan penderitaan, penelitian menunjukkan bahwa bencana ini juga berdampak pada kesehatan jangka panjang individu yang terpapar selama masa awal kehidupan mereka.

Dampak Terhadap Penyakit Kronis

Berdasarkan hasil tinjauan sistematis dan meta-analisis yang dilakukan oleh para peneliti, individu yang lahir selama periode kelaparan memiliki risiko lebih tinggi mengalami berbagai kondisi kesehatan kronis di kemudian hari. Beberapa penyakit yang dikaitkan dengan paparan kelaparan prenatal meliputi:

  1. Diabetes Tipe 2 dan Hiperglikemia
    Studi menunjukkan adanya peningkatan risiko diabetes tipe 2 sebesar 36% di antara mereka yang lahir selama kelaparan dibandingkan dengan mereka yang lahir setelahnya. Hiperglikemia, atau kadar gula darah tinggi, juga ditemukan lebih umum di antara kelompok yang terpapar.
  2. Sindrom Metabolik
    Individu yang mengalami kekurangan gizi pada masa prenatal cenderung memiliki risiko lebih tinggi mengalami sindrom metabolik, yaitu kombinasi dari gangguan seperti obesitas, hipertensi, dan resistensi insulin.
  3. Obesitas dan Kegemukan
    Meski malnutrisi ekstrem dialami selama kelaparan, individu yang lahir dalam periode tersebut mengalami kecenderungan mengalami kegemukan di masa dewasa. Ini kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan epigenetik yang terjadi akibat kelaparan, yang mempengaruhi metabolisme mereka di kemudian hari.
  4. Hipertensi
    Paparan kekurangan gizi sejak dini dikaitkan dengan meningkatnya risiko hipertensi di usia lanjut. Beberapa laporan menunjukkan peningkatan insiden hipertensi pada kelompok yang lahir selama kelaparan dibandingkan dengan kelompok yang lahir sebelum atau setelahnya.
  5. Schizophrenia
    Studi menemukan hubungan signifikan antara paparan kelaparan prenatal dengan peningkatan risiko skizofrenia. Mereka yang lahir selama periode kelaparan memiliki kemungkinan 1,6 kali lebih tinggi mengalami gangguan mental ini dibandingkan dengan mereka yang lahir di luar periode kelaparan.

Faktor yang Memengaruhi Risiko Kesehatan

Selain paparan kelaparan itu sendiri, beberapa faktor lain turut memengaruhi dampak jangka panjang pada kesehatan, seperti:

  • Keparahan Kelaparan Regional
    Mereka yang lahir di daerah dengan tingkat kematian lebih tinggi selama kelaparan cenderung mengalami risiko kesehatan yang lebih besar dibandingkan dengan daerah yang terdampak ringan.
  • Perbedaan Gender
    Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang terpapar kelaparan memiliki risiko yang lebih besar terhadap penyakit metabolik dibandingkan laki-laki.
  • Usia Paparan
    Paparan selama tahap prenatal dianggap paling kritis, karena gizi yang buruk pada masa ini dapat menyebabkan perubahan permanen pada perkembangan organ tubuh.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak dari The Great Chinese Famine terhadap kesehatan tidak hanya terbatas pada generasi yang mengalami langsung, tetapi juga dapat mempengaruhi keturunan mereka melalui mekanisme epigenetik. Oleh karena itu, perlu kebijakan kesehatan yang mempertimbangkan pengalaman masa lalu ini dalam upaya pencegahan penyakit kronis di masa mendatang. Intervensi seperti pemantauan kesehatan rutin untuk kelompok rentan dan program gizi untuk memperbaiki kondisi metabolik sangat diperlukan guna mengurangi dampak jangka panjang dari tragedi ini.

Referensi

BBC. 2022. Ketika China nyatakan perang dengan burung gereja dan jutaan orang mati kelaparan. Diakses pada 20 Desember 2025 dari https://www.bbc.com/indonesia/articles/cgryy25lgkyo

Hu, et al. 2022. The Great Chinese Famine (1959–1961) and farm households’ adoption of technology: evidence from China*. Aust J Agric Resour Econ, 66: 93-117. Diakses pada 20 Januari 2025 dari https://doi.org/10.1111/1467-8489.12444

Chihua Li, LH Lumey. 2017. Exposure to the Chinese famine of 1959–61 in early life and long-term health conditions: a systematic review and meta-analysis. International Journal of Epidemiology, Volume 46, Issue 4, Pages 1157–1170. Diakses pada 20 Januari 2025 dari https://doi.org/10.1093/ije/dyx013

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top