Manusia adalah makhluk yang indah. Masing-masing manusia itu pun memiliki manusia lain yang ia anggap terindah. Anda mungkin juga memiliki manusia seperti itu, atau mungkin juga telah menjadi manusia terindah baginya. Saya pun memilikinya, dan dia pun menganggap saya menjadi yang terindah. Semua inilah yang menjadikan hidup makin estetik, dalam situasi apapun, termasuk situasi saat ini.
Kita semua dihadapkan pada situasi dimana orang-orang terindah kita berada dalam situasi tak indah. Terusik oleh suatu hal, bukan makhluk hidup, bukan pula benda mati, dalam biologi kita dikenalkannya dengan sebutan virus. Apapun namanya, selama itu hal yang bisa mengganggu kebersamaan kita dengan orang-orang terindah, maka jelas bukanlah sesuatu yang boleh berlangsung lama.
Manusia memang makhluk yang indah, namun kontras dengan itu, tanpa melihat bentuknya, dalam fisika justru kadang hanya dianggap sebagai sebuah “partikel” atau justru hanya “benda titik”. Saya yang hanya berbentuk seperti ini dan dia yang seindah itu, keduanya hanya dianggap sebuah “partikel”; hingga keindahan keduanya hanya benar-benar bisa ditandai oleh jarak antar keduanya.
Situasi tak indah sekarang ini memaksa kedua partikel saling menjaga jarak, namun jarak seperti apa yang membuat kedua partikel dapat tetap terlihat indah? Kita sedikit meminjam beberapa konsep fisika.
Manusia senang bergerak ke sana kemari. Kita menganggap manusia ini layaknya partikel yang dianggap berbentuk titik secara geometris dan dapat berpindah dari satu ujung ke ujung yang lain dari suatu wilayah tanpa berinteraksi secara fisik dengan manusia yang lain. Kita kemudian juga dapat mengasumsikan manusia memiliki ruang lingkup interaksi fisik dengan daerah sekitarnya, yang kita asumsikan ruang tersebut berbentuk bola yang menggambarkan jangkauan interaksinya. Jika kedua ruang bola tersebut saling tumpang tindih, maka interaksi fisik manusia terjadi. Mari kita sebut kedua manusia yang berinteraksi fisik tersebut sebagai “kau” dan “dia”. Jika jarak antara kau dan dia sama dengan diameter dari bola tersebut, maka interaksi fisik dapat terjadi. Untuk memudahkan analisis kita, selanjutnya kita menganggap bahwa hanya satu dari manusia tersebut yang memiliki ruang bola interaksi; namun memiliki jari-jari dua kali lipat dari yang sebelumnya, jari-jari tersebut kita simbolkan dengan d. Atau lebih akrabnya, kita menyebutnya dengan jarak social distancing.
Nah, sekarang kita membayangkan bahwa “kau” membawa virus ini di tengah banyak manusia “dia” yang lainnya di tengah suatu wilayah yang memiliki dimensi panjang L2 dan lebar Δx. Wilayah ini di dalamnya terdapat beberapa manusia sang pembawa virus (berwarna biru tanpa disertai ruang batas interaksi) dan manusia yang belum membawa virus (berwarna jingga disertai ruang batas interaksi) sebanyak N, yang kita anggap terdistribusi secara rambang dalam wilayah tersebut
Sekilas mungkin kita berpikir bahwa kebanyakan manusia akan tetap aman pada saat tertentu, namun sebagian pasti akan ikut terpapar virus. Rasio banyaknya interaksi fisik, ΔN, terhadap jumlah manusia yang belum terpapar, N, sama dengan rasio luas area jangkauan interaksi terhadap luas wilayah, secara matematis:
Luas jangkauan interaksi untuk masing-masing manusia setara dengan luas sebuah lingkaran dengan jari-jari d:
Total luas wilayah jangkauan interaksi merupakan hasil kali luasan di atas dengan banyaknya manusia yang belum terpapar virus dalam wilayah tersebut. Jika n merupakan kerapatan jumlah manusia yang belum terpapar dalam suatu wilayah dengan volume L1L2Δx; maka total luas wilayah jangkauan interaksi yakni:
Sehingga persamaan (1) dapat kita tulis menjadi:
Kuantitas nL1L2Δx tidak lain merupakan banyaknya manusia yang belum terpapar virus dalam suatu wilayah. Setiap interaksi fisik kita asumsikan menyebabkan paparan virus, dan mengurangi banyaknya manusia yang belum terpapar, sehingga selanjutnya kita interpretasi ΔN bukan sebagai banyaknya interaksi fisik, namun sebagai “banyaknya pengurangan manusia yang belum terpapar”, secara matematis, kita dapat menulis persamaan (4) menjadi:
atau
Pada kenyataannya, N berkurang secara bertahap ketika interaksi fisik terjadi, namun jika jumlah manusia dalam wilayah yang cukul luas (yang tentunya juga terdapat manusia yang banyak pula); maka kita bisa menganggapnya sebagai fungsi kontinyu, sehingga persamaan (5) dapat kita tulis menjadi:
Integralkan kedua sisi menghasilkan
Jika pembawa virus belum berjalan, yakni ketika x=0, maka belum ada manusia yang terpapar dalam suatu wilayah tersebut, atau N=N0, sehingga
Ini bisa juga kita sebut dengan persamaan survival. Ini merepresentasikan jumlah manusia N yang belum terpapar virus setelah pembawa virus berjalan sejauh x.
Dengan memasukkan persamaan (6) ke persamaan (5), diperoleh:
Dalam persamaan ini, ΔN merupakan banyaknya manusia yang melakukan kontak fisik pertamanya dengan pembawa virus, setelah si pembawa virus berjalan antara x hingga x+Δx.
Sekarang kita akan menghitung jarak rata-rata yang ditempuh sekelompok orang sebelum mereka melakukan kontak fisik pertamanya dengan si pembawa virus. Jarak rata-rata kita sebut saja dengan “jarak jalan aman”, dengan simbol l. Untuk menghitungnya, kita mengalikan x dengan banyaknya manusia yang berjalan sejauh x sebelum melakukan kontak fisik, jumlahkan keseluruhan untuk nilai x, dan bagi dengan jumlah total manusia. Dengan menggantinya dari bentuk diskrit menjadi kontinyu, kita peroleh:
Bagian integralnya menghasilkan 1/n2σ2, kita peroleh “jarak jalan aman”:
Persamaan ini kemudian kita uraikan agar lebih jelas. n merupakan rapat volume manusia, kita memilih jangkauan vertikal rata-rata manusia, t, sebagai dimensi tinggi dari suatu wilayah. Sehingga:
BNPB menyarankan jarak social distancing atau dalam analisis kita simbolkan dengan d=1 meter. Sebagai contoh perhitungan, kita memilih karakteristik wilayah Makassar, dan jangakauan vertikal manusia setinggi t=2,5 meter
Jadi hasil analisis ini memperlihatkan bahwa “jarak jalan aman” agar dapat benar-benar aman dari pembawa virus hanyalah sejauh 2,2 meter. Atau singkatnya, seseorang aman jika ia benar-benar menetap dalam suatu tempat tertentu. Ini berlaku bagi pembawa virus dan yang belum membawa virus. Benar apa yang dihimbaukan kepada kita selama ini, selain menerapkan social distancing juga harus menahan diri di dalam rumah. Hasil analisis ini seakan memberitahukan kita untuk tidak melakukan apapun, namun sebenarnya tidaklah demikian.
Pendekatan kita ini sangatlah kasar. Kita mengasumsikan bahwa setiap penduduk benar-benar aktif berpindah tempat dalam suatu wilayah tanpa adanya batasan mobilitas; kita juga mengasumsikan bahwa masing-masing manusia tidak menjaga setiap kontak fisik yang terjadi, selain itu kita juga mengasumsikan bahwa tiap kontak fisik selalu terjadi serah terima virus. Namun sekali lagi, semua perhitungan di atas dapat kita bantahkan jika asumsi-asumsi ini tidak benar-benar terjadi.
Kesimpulan dari semua ini ialah dua manusia yang dianggap layaknya partikel masih juga tetap dapat dianggap indah dengan kesesuaian jaraknya. Jarak ini harus kita sesuaikan dengan situasi tak indah ini. Layaknya pembuatan puisi yang selalu memperhitungkan jarak estetik objek, juga layaknya titik kesetimbangan pada gaya inti kuat yang tidak terlalu dekat, yang seakan mencerminkan betapa jarak estetik kehidupan kita sekarang ini benar-benar harus kita perhatikan. Tak begitu dekat, namun lebih indah. Bukan demi dirimu, tapi untuknya yang terindah.