Alasan Mengapa Kasus Keracunan MBG pada Pelajar Perlu Penanganan Serius Pemerintah

Masyarakat Indonesia sedang disibukkan dengan polemik program penyediaan makanan bertajuk Makanan Bergizi Gratis. Pada pelaksanaannya, program yang diusung untuk pemerataan […]

Keracunan makanan

Masyarakat Indonesia sedang disibukkan dengan polemik program penyediaan makanan bertajuk Makanan Bergizi Gratis. Pada pelaksanaannya, program yang diusung untuk pemerataan gizi menuju generasi emas ini justru menjadi “bencana” bagi ribuan masyarakat yang mengalami keracunan akibat program ini.

Sumber: nasional.tempo.co

Di Amerika, sempat terjadi kehilangan umur harapan hidup sehat atau dikenal dengan istilah UHHS sekitar lebih dari ratusan ribu tahun akibat penyakit yang ditularkan melalui makanan. Pernyataan ini disampaikan oleh ahli epidemiologi Elaine Scallan dari University of Colorado School of Public Health dalam artikel yang ditulis oleh David Schradt. Temuan ini merupakan hasil kajian bersama tim peneliti dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) yang mengkonversi data penyakit, cacat, dan kematian dini menjadi ukuran tahun-tahun hidup sehat yang hilang.

Mikroorganisme Penyebab Keracunan Makanan

Dari berbagai jenis mikroorganisme yang bisa menyebabkan keracunan makanan, ada dua jenis yang umumnya paling menonjol, yaitu Salmonella dan parasit Toxoplasma gondii. Kedua mikroorganisme ini menyumbang kehilangan UHHS yang signifikan, meskipun dampaknya berbeda.

Salmonella menjadi penyebab utama karena jumlah korban yang sangat banyak serta komplikasi jangka panjang yang dialami beberapa pasien. Sebagian besar wabah keracunan makanan yang terjadi lintas negara dapat terjadi akibat kontaminasi jenis bakteri ini, yang dapat ditemukan hampir di semua jenis bahan makanan unsur hewani.

Sementara itu, Toxoplasma menyumbang banyak kasus kehilangan UHHS karena cenderung menyerang orang yang usianya di bawah 65 tahun. Parasit ini hidup dalam otot hewan dan menurut CDC telah menginfeksi lebih dari 60 juta orang Amerika. Meski kebanyakan orang tidak mengalami sakit karena sistem kekebalan tubuh mereka mampu menahan parasit tersebut, pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah infeksi parasit ini bisa sangat berat. Akibat yang ditimbulkan dapat bersifat fatal, hingga menyebabkan kerusakan otak, kebutaan, atau kondisi yang lebih serius. Seseorang bisa tertular parasit ini jika mengonsumsi daging yang kurang matang dan terkontaminasi.

Tak hanya konsumsi daging yang tidak masak sempurna, infeksi juga bisa terjadi akibat kontaminasi silang dengan daging mentah atau kurangnya cuci tangan setelah memegang daging mentah. Hal ini menyangkut perilaku juru masak hingga pramusaji saat mengolah dan menyajikan makanan pada konsumen

Baca juga artikel tentang Makanan Sehari-hari yang Mengandung Sianida, Awas Keracunan!

Efek Jangka Panjang Keracunan Makanan

Mungkin, masih ada yang beranggapan bahwa keracunan hanya mengakibatkan dampak jangka pendek seperti pusing, mual, muntah, diare, dan sebagainya. Padahal, dampak yang diakibatkan dapat lebih dari itu. Bahkan pada sebagian orang, ini justru menjadi awal dari penderitaan bertahun-tahun. Artikel yang ditulis David Schradt yang berjudul “A single bout of food poisoning can have long-lasting consequences” menguraikan kasus-kasus yang pernah terjadi di Amerika.

Berawal dari kisah hidup Mari Tardiff, yang sejak 2008 tidak bisa berjalan lagi akibat sindrom Guillain-Barré setelah mengonsumsi susu mentah yang terkontaminasi Campylobacter. Keracunan ini berakibat fatal yang mengubah kehidupan Mari selanjutnya, segala aktivitas dan rutinitasnya pun berdampak.

Lebih lanjut, keracunan akibat bakteri E. coli O157:H7, yang dikenal dengan nama “bakteri hamburger,” pernah menewaskan empat anak kecil dan menginfeksi lebih dari 700 orang, kebanyakan di bawah usia 10 tahun, pada tahun 1993. Sebagian besar korban terinfeksi akibat mengonsumsi burger yang dimasak kurang matang di restoran Jack in the Box.

Bakteri ini melepaskan racun yang jika menyebar ke aliran darah dapat menyerang beberapa organ. Jika racun mengenai ginjal, bisa menyebabkan sindrom hemolitik uremik (HUS), yang dapat berkembang menjadi penyakit ginjal kronis, hipertensi, atau gagal ginjal. Jika racun menyebar ke otak, dapat menimbulkan kerusakan neurologis. Racun juga bisa merusak saluran pencernaan. Salah satu contoh adalah seorang anak yang selamat dari HUS namun harus menjalani operasi pengangkatan sebagian besar usus besar sehingga harus memakai kantong kolostomi seumur hidup, padahal usianya baru 16 tahun.

Baca juga artikel tentang Kasus Keracunan di Program Makan Bergizi Gratis? Kenali Konsep HACCP, Sistem Manajemen Keamanan dan Kualitas Pangan dalam Industri Makanan dan Pertanian

Anggapan “Toksik” tentang Kasus Keracunan

Artikel menarik yang membahas tentang kasus keracunan makanan ditulis oleh seorang Direktur Kebijakan Pangan dari Consumer Federation of America, Thomas Gremillion. Dalam tulisannya, Thomas mengkritisi anggapan keliru yang menjamur di masyarakat, bahwa untuk menanggulangi kasus keracunan cukup dengan menghindari konsumsi bahan makanan yang pernah menyebabkan keracunan, atau menganggap tubuhnya kemudian akan memiliki kekebalan terhadap makanan yang mengandung toksin (zat yang mengakibatkan keracunan) setelah mengalami keracunan.

Kebanyakan masyarakat tidak terlalu peduli pada andil pemerintah yang minim pada penanggulangan kasus keracunan. Dalam artikelnya, Thomas menuliskan dengan istilah “the government’s laissez-faire stance”. Padahal, pemerintah sebagai satu instansi yang memiliki kekuasaan terbesar, seharusnya dapat menanggulangi kasus keracunan secara jujur dan menyeluruh. Bukannya justru memunculkan pernyataan atau kebijakan yang dapat “mengalihkan”, sehingga kasus keracunan makanan akan terlihat dalam angka yang lebih kecil daripada kenyataannya atau terabaikan karena dianggap kejadian yang “biasa saja”.

Salah satu contoh nyata yang terjadi di Amerika adalah pengurangan kriteria dalam sistem pengawasan penyakit bawaan makanan (FoodNet) oleh CDC sejak 1 Juli, yang dilaporkan dari NBC News. Enam dari delapan patogen penting (seperti Listeria, Campylobacter, dan Shigella) tidak lagi dipantau secara aktif. Hal ini dapat berakibat pada lebih sulitnya deteksi peningkatan penyakit akibat bakteri, karena bergantung pada laporan negara bagian yang tidak konsisten.

Bersama seluruh aparaturnya, negara memiliki andil besar dalam penyediaan makanan sehat yang aman dikonsumsi bagi masyarakatnya. Mengingat Makanan Bergizi Gratis adalah program yang diadakan oleh pemerintah, sudah seharusnya pemerintah mengusut secara jujur dan menyeluruh kasus keracunan yang telah mengorbankan ribuan warganya yang termasuk dalam kategori usia produktif.

Keracunan Dapat Terjadi Pada Siapa Saja

Anak-anak, lansia, orang dengan sistem imun lemah, serta wanita hamil atau baru melahirkan adalah kelompok yang paling rentan terhadap efek parah dari keracunan makanan. Namun sayangnya, tidak dapat diprediksi siapa yang akan mengalami penyakit jangka panjang setelah keracunan makanan. Meski risiko akibat keracunan makanan lebih tinggi terjadi pada kelompok rentan dan mereka yang mengalami gejala berat, sekecil apapun kejadian akibat keracunan tidak dapat diabaikan begitu saja.

Oleh karena itu, penanganan serius kasus keracunan pada program penyedia makanan skala besar, seperti program penyedia Makanan Bergizi Gratis yang diusung pemerintah, wajib memiliki prosedur ketat dan pendisiplinan seluruh pihak yang terlibat, dengan harapan program ini tidak justru menjadi “bencana” bagi masyarakatnya sendiri. Jika prosedur ketat dan pendisiplinan dirasa masih belum dapat diwujudkan, maka program lain terkait pemerataan gizi masyarakat dengan minim risiko dapat menjadi pilihan, tanpa pengabaian pada usut tuntas kasus keracunan makanan.

Referensi

CNN Indonesia. Data JPPI: 1084 Anak Jadi Korban Keracunan MBG Selama 6-12 Oktober. Diakses pada 16 Oktober 2025 dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20251013082233-20-1283821/data-jppi-1084-anak-jadi-korban-keracunan-mbg-selama-6-12-oktober

Schardt, David. 2018. A single bout of food poisoning can have long-lasting consequences. Diakses pada 16 Oktober 2025 dari https://www.cspi.org/article/single-bout-food-poisoning-can-have-long-lasting-consequences

CDC. 2025. Symptoms of Food Poisoning. Diakses pada 16 Oktober 2025 dari https://www.cdc.gov/food-safety/signs-symptoms/index.html

Leonard, James. 2015. Increased risk from toxoplasmosis. Diakses pada 16 Oktober 2025 dari https://www.universityofcalifornia.edu/news/increased-risk-toxoplasmosis

Weisbecker, Andy. 2015. A 2008 Raw Milk Campylobacter Outbreak with Devistating Results. Diakses pada 16 Oktober 2025 dari https://www.foodpoisonjournal.com/foodborne-illness-outbreaks/a-raw-milk-campylobacter-outbreak-with-devistating-results

Stop Foodborne Illness. nd. My Raw Milk Experience. Diakses pada 16 Oktober 2025 dari https://stopfoodborneillness.org/mari-raw-milk-experience/

Marler Clark. 2025. Jack in the Box E. coli Outbreak Lawsuits – Western States (1993). Diakses pada 16 Oktober 2025 dari https://marlerclark.com/news_events/jack-in-the-box-e-coli-outbreak-western-states

Vaida, Bara. 2023. 30 years after Jack in the Box scandal, food safety issues still underreported. Diakses pada 16 Oktober 2025 dari https://healthjournalism.org/blog/2023/07/30-years-after-jack-in-the-box-scandal-food-safety-issues-still-underreported

Gremillion, Thomas. 2025. The Wrong Way to Make Foodborne Illness Disappear. Diakses pada 16 Oktober 2025 dari https://consumerfed.org/the-wrong-way-to-make-foodborne-illness-disappear/

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top