Apa itu kloning? Secara umum, kloning berarti penggunaan metode buatan untuk menghasilkan organisme baru dari salinan genetika yang identik.
Melalui bioteknologi, penggunaan metode buatan ini dikembangkan untuk memodifikasi materi genetik organisme sehingga menghasilkan senyawa baru.
Sejak penemuan struktur DNA pada tahun 1953, ilmuwan telah banyak menggunakan metode ini untuk meningkatkan kualitas ternak dan pertanian. Namun, bagaimana dengan manusia? Benarkah kloning dan modifikasi genetika berisiko memperpendek umur makhluk hidup?
Tahukah kamu siapa sosok pada foto di atas?
Dia adalah He Jiankui, seorang peneliti biofisika dari SUSTech Shenzhen, ilmuwan pertama (yang diketahui) telah berhasil mengedit genetika bayi manusia dengan nama samaran Lulu dan Nana. He Jiankui dan timnya menargetkan studi pengeditan genome ini untuk mengeliminasi gen CCR5. Pasalnya, virus HIV memerlukan gen ini untuk masuk ke dalam sel darah putih dan menginfeksi tubuh.
Telah berlangsung dua tahun sejak bayi kembar ini dilahirkan (sejak Oktober 2018), Jiankui telah mendorong sebuah gerakan revolusioner dalam sejarah peradaban manusia.
Mirisnya, studi pengeditan genetika pada manusia ini menuai banyak konflik etis dalam dunia keilmuan. Bahkan, sempat ada beberapa ilmuwan dari institusi ternama seperti Med Harvard, Biology UCLA, Caltech, dan sebagainya yang memberikan pernyataan bahwa kedua bayi kembar ini tidak akan hidup lama. Untungnya, institusi telah mencabut artikel tidak berdasar ini dari publikasi. Jiankui juga divonis hukuman 3 tahun penjara oleh Pemerintah Provinsi Guangdong China dan didenda tiga juta yuan (Rp5,9 miliar).
Teknologi pengeditan genetik atau CRISPR (Clustered Regularly Interspaces Short Palindromic Repeats) tidak mengurangi harapan hidup makhluk apapun. Sebaliknya, selama ini campur tangan manusia dalam reproduksi buatan justru telah terbukti membantu meningkatkan keberhasilan reproduksi sebagaimana halnya fertilisasi in vitro (IVF).
Jadi, darimana anggapan salah ini berasal?
Rupanya, meluasnya anggapan ini di masyarakat berakar pada salah satu argumen mengenai sosok Domba Dolly, hewan mamalia pertama yang lahir dari hasil kloning.
Domba Dolly dianggap mati prematur, Dolly mati di usia 6 tahun sementara jangka umur tipikal bagi domba adalah 10-12 tahun. Namun, saat ini telah diketahui bahwa Domba Dolly bukan mati prematur karena dia adalah hasil kloning, tetapi karena mengikuti jangka umur maksimum induknya. Ya, sekali lagi yang perlu ditegaskan adalah kloning tidak memperpendek umur!
Jangka umur Domba Dolly lebih pendek dari domba lainnya karena dia memiliki pemrograman biologis yang sama dengan pendonor selnya. Pemrograman biologis ini menentukan jangka waktu maksimum makhluk hidup. Seperti apa?
Dalam reproduksi alamiah maupun buatan, setiap kromosom memiliki “topi” di bagian ujung yang bernama telomer. Ini adalah bagian dari kromosom yang tidak membawa sifat genetika apapun.
Apa fungsi dari telomer?
Kita membutuhkan telomer karena setiap kali sel kita melakukan pembelahan dan kromosom tereplikasi, sebagian kecil dari ujung telomer ini akan terkikis. Panjang telomer akan semakin memendek hingga habis, yang berarti pembelahan sel berikutnya akan mengalami kegagalan.
Panjang telomer akan selalu mengikuti panjang telomer dari induk pada kondisi utuh (sebelum tereplikasi). Ini berarti panjang telomer Domba Dolly saat baru lahir sama dengan panjang telomer pendonornya saat baru lahir.
Hal ini juga yang menyebabkan tingkat harapan hidup kita sangat bergantung pada panjang umur orang tua biologis kita. Ya, jangka waktu hidup maksimum kita telah ditetapkan sejak lahir. Kita hidup dengan jam pasir biologis yang telah ditetapkan untuk habis pada waktu tertentu. Suatu saat, sel kita akan berhenti membelah dan kita akan mati secara perlahan.
Kematian ini lah yang dalam dunia medis disebut kematian akibat “age-associated diseases“, yaitu penyakit yang umumnya muncul seiring bertambahnya usia, seperti kanker, alzheimer, serangan jantung, dan stroke.
Mengapa sel harus terus membelah agar kita hidup?
Menurut sebuah riset dari Stanford University (2005), sekumpulan sel dalam tubuh manusia hanya mampu bertahan hidup hingga tujuh sampai sepuluh tahun sebelum akhirnya perlu digantikan. Karena hal ini, kemampuan pembelahan sel menjadi sangat penting, bahkan beberapa organ vital kita melakukan pembaruan sel dalam jangka waktu yang lebih singkat. Proses ini disebut “cell rejuvenation” atau peremajaan sel.
Contohnya bisa kita lihat pada organ hati (liver) yang memperbarui sel-selnya setiap 150-500 hari atau pada sel darah merah yang umurnya lebih singkat, sekitar empat bulan setelah mengitari sistem peredaran darah.
Jika tubuh kita tidak segera mengganti sel-sel yang telah mati ini, maka tubuh kita akan menua dan menjadi sangat rentan terhadap penyakit age-associated deiseases tadi.
Mengapa sel hanya mampu bertahan hidup dalam jangka waktu yang singkat?
Hal ini disebabkan oleh apoptosis, yaitu pemrograman kematian sel. Pemrograman ini berguna untuk membersihkan tubuh dari sel yang tidak diperlukan atau berbahaya, seperti sel yang terinfeksi virus atau sel pada organ hati yang mendapat kerusakan akibat racun yang didetoksifikasi. Selain itu, kematian sel juga sangat menguntungkan bagi tubuh yang sedang mengandung karena energi terfokuskan pada pembentukan organ dan jaringan lain pada janin yang sedang berkembang.
Kematian sel juga bisa disebabkan oleh nekrosis, yaitu proses kematian tidak terencana akibat respon sel terhadap stressor (peristiwa penyebab stress).
Apa yang bisa sains lakukan untuk mencegah penuaan?
Saat ini, ilmuwan tengah mengembanglan Reverse Aging Technolgy, sebuah teknologi yang berfokus pada pembalikan proses penuaan. Teknologi ini telah terbukti memungkinkan untuk membalikan tipe sel tertentu dan organisme sederhana, tetapi belum hingga ke tahap organisme yang lebih kompleks seperti manusia.
Dalam sebuah studi yang menargetkan protein molekular pada tikus, ilmuwan menemukan bahwa pencampuran sistem peredarah darah antara tikus muda dan tua berhasil membuat tikus tua menjadi lebih muda. Penemuan ini menjadi sebuah harapan besar bagi manusia.
Apakah memungkinkan bagi manusia untuk hidup abadi?
Kemungkinan tidak, tetapi kita bisa belajar untuk menjadi resisten terhadap penuaan untuk mendapatkan jangka waktu hidup yang jauh lebih panjang. Bahkan, nyatanya sudah ada berbagai spesies yang berevolusi untuk mendapatkan keuntungan ini.
Misalnya, lobster memiliki enzim telomerase untuk selalu memperpanjang ukuran telomer. Hal ini membuat lobster terbilang abadi, selama ini lobster hanya mati karena dimakan atau bertumbuh menjadi sangat besar hingga tidak bisa membuat cangkang baru dalam keadaan aman. Bukan tidak mungkin jika terdapat lobster di lautan dalam sana yang telah hidup selama ratusan atau bahkan ribuan tahun.
Bisakah kita menggunakan enzim ini pada manusia?
Sayangnya tidak, atau hingga saat ini belum bisa. Kita sudah punya hal serupa yang bisa terus menngalami pembelahan, yaitu sel kanker. Nyatanya sel kanker memang abadi, tetapi manusia yang memilikinya tidak.
Makhluk lain yang telah diketahui manusia mampu hidup abadi adalah hydra. Makhluk ini termasuk dalam kelompok yang terhitung sangat sukses dalam bertahan hidup. Genome pada Hydra selalu berada dalam keadaan statis dinama sel-selnya tidak mengalami pembelahan.
Saat ini masih banyak yang perlu kita pelajari untuk mendapatkan resistensi terhadap penuaan, tetapi bukan sepenuhnya mustahil jika suatu saat anak-cucu kita bisa hidup hingga ratusan bahkan ribuan tahun.
-o0o-
CATATAN AKHIR
Saya rasa kloning dan rekayasa genetika memang masih menuai perdebatan panjang dan sulit diterima oleh awam karena dianggap mencampurtangani urusan penciptaan. Tetapi ketika menulis topik ini, saya teringat dengan sebuah pertanyaan yang pernah saya dengar:
“When we reject genetic engineering in humans, are we glorifying our creator or are we actually against His plans that come through the hands of scientists?”
Mungkin selama ini ada sebuah perspektif lain yang belum pernah kita lihat dan petimbangkan: Apakah Sang Pencipta akan melarang umat-Nya mengembangkan karunia ilmu pengetahuan demi mengoptimalkan harapan hidup spesiesnya sendiri? Karena kita, para ilmuwan, pada dasarnya hanya ingin memanfaatkan anugerah pengetahuan untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
-o0o-
* Stay Curious *
References & Further Read:
- Bucklin, Stephanie. (2017). 20 Years After Dolly the Sheep, What Have We Learned About Cloning. Live Science. Retrieved from https://www.livescience.com/57961-dolly-the-sheep-announcement-20-year-anniversary.html
- Burgstaller, J.P. & Brem, G. (2017). Aging of Cloned Animals: A Mini-Review. Karger Journal, Gerontology 2017;63:417-425. Doi: 10.1159/000452444
- Conboy, Irina M., et al. (2005). Rejuvenation of aged progenitor cells by exposure to a young systemic environment. Nature 433.7027
- Foong, Patrick. (2020). The aftermath of the He Jiankui fiasco: China’s response. BioNews. Retrieved from https://www.bionews.org.uk/page_147638
- Musunuru, Kiran. (2019). Opinion: We need to know what happened to CRISPR twins Lulu and Nana. MIT Technology Review. Retrieved from https://www.technologyreview.com/2019/12/03/65024/crispr-baby-twins-lulu-and-nana-what-happened/
- Opfer, Chris. (2014). Does your body really replace itself every seven years? Science How Stuff Works. Retrieved from https://science.howstuffworks.com/life/cellular-microscopic/does-body-really-replace-seven-years.html
- Saplakoglu, Yasemin. (2018). Scientists Calculate the Speed of Death in Cells, and It’s Surprisingly Slow. Live Science. Retrieved from https://www.livescience.com/63322-cell-death-speed.html
Warung Sains Teknologi (Warstek) adalah media SAINS POPULER yang dibuat untuk seluruh masyarakat Indonesia baik kalangan akademisi, masyarakat sipil, atau industri.
serem juga klonig ya
mantab
Terimakasih infonya
kampus sehat