Pencemaran merkuri merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi Indonesia saat ini. Gasong dkk (2017) dan Bose-O’Reilly dkk (2016) menyebutkan bahwa menjamurnya penambangan emas skala kecil (PESK) di berbagai daerah di Indonesia menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Diketahui, terdapat lebih dari 2 juta penambang di lebih dari 800 titik PESK yang tersebar di seluruh Indonesia dan menghasilkan 100 ton emas setiap tahunnya. Emisi merkuri yang dihasilkan dari aktivitas tersebut memberikan kontribusi sebesar 57,5% dari total emisi merkuri nasional.

Berbagai upaya untuk menanggulangi pencemaran merkuri ini telah dilakukan, mulai dari preventif (pencegahan) maupun kuratif (penyembuhan). Salah satu bentuk tanggapan pemerintah bersama DPR RI adalah adanya pengesahan Undang-undang No 11 Tahun 2017 tentang Pengesahan Konvensi Minamata Mengenai Merkuri pada tanggal 20 September 2017. Undang-undang tersebut merupakan dasar hukum dan kebijakan dalam menangani masalah pencemaran akibat merkuri.
Emisi merkuri yang dihasilkan dari aktivitas penambangan emas skala kecil memberikan kontribusi sebesar 57,5% dari total emisi merkuri nasional.
Merkuri digunakan dalam proses pemisahan batuan tambang dari zat – zat yang mengganggu (pengotor) seperti tembaga, nikel dan mineral lainnya sehingga didapatkan emas murni. Merkuri cair dicampurkan setelah batuan tambang dihancurkan menjadi bubuk-bubuk halus sehingga terbentuklah amalgam. Senyawa amalgam ini kemudian dibakar, sehingga merkuri terlepas ke udara dan menyisakan emas murni. Merkuri cair yang tidak bereaksi dengan mineral pengganggu, dapat terlepas ke sungai, mencemari tanah, dan air tanah serta sumur-sumur warga.
Merkuri bersifat toksik dan terakumulasi di dalam tubuh makhluk hidup, sehingga sangat berbahaya apabila terlepas di lingkungan. Merkuri beracun dalam bentuk apapun. Perbedaannya hanya pada bagaimana merkuri diserap, ditransformasi ke bentuk merkuri lain, gejala klinis yang ditimbulkan, dan respon pengobatannya.
Keracunan merkuri bisa melalui inhalasi, digesti, injeksi atau penyerapan melalui kulit. Bentuknya dapat terbagi ke dalam 3 bagian: logam merkuri (dikenal juga sebagai unsur merkuri), anorganik merkuri, dan organik merkuri. Merkuri yang bereaksi dengan bakteri tertentu dapat membentuk metil merkuri (MeHg) yang bersifat sangat beracun. Metil merkuri inilah yang menjadi jalur utama pencemaran merkuri di dunia. Merkuri yang masuk ke dalam tubuh manusia dapat menyebabkan gangguan penglihatan, pendengaran dan bicara karena menyerang syaraf-syaraf otak (Bose-O’Reilly dkk, 2016).


Pada manusia, 70-80% penyerapan merkuri melalui cara inhalasi dimana kurang dari 3% diserap melalui kulit. Jika logam merkuri tertelan melalui mulut, kurang dari 0.1% diserap oleh saluran pencernaan. Unsur merkuri sangat mudah larut dalam lemak, yang memfasilitasinya berdifusi dari alveolus ke sistem sirkulasi. Penyebarannya pada bagian lipofilik tubuh melewati selaput otak dan sistem saraf pusat serta plasenta. Akumulasi terbesar dari merkuri anorganik berada pada ginjal. Paparan akut merkuri melalui inhalasi menyebabkan gejala pada sistem pernapasan. Tanda dan gejala yang ditunjukan meliputi demam, rasa meriang, napas pendek, rasa logam pada lidah, rasa sakit pada dada, dianggap membingungkan karena gejalanya pada demam logam ‘metal fume fever’. Paparan akut yang fatal menyebabkan kerusakan pada saluran pernapasan. Paparan kronis biasanya terjadi karena perubahan logam merkuri menjadi metil merkuri. Individu yang terpapar pada kondisi kronis tidak menunjukan adanya gejala yang jelas, termasuk anoreksia, kelelahan, penurunan berat badan, gangguan penglihatan dan pendengaran, sampai kelemahan otot yang mengindikasi penyakit lainnya (Broussard dkk, 2002).
Kasus pencemaran luar biasa terkait merkuri pernah terjadi di Minamata, Jepang yang kemudian dikenal dengan Minamata Disease. Penyakit Minamata merupakan 1 dari 10 bencana lingkungan versi majalah Time pada tahun 2010. Pencemaran tersebut terjadi akibat adanya pencemaran industri Chisso Corp., yang membuang merkuri dan logam berat lainnya dalam jumlah yang besar ke Teluk Minamata. Metil merkuri terbentuk akibat bioproses antara bakteri dan logam merkuri. Senyawa ini kemudian termakan oleh ikan – ikan dan terakumulasi hingga ke manusia. Penyakit akibat pencemaran ini baru dapat terdeteksi setelah melewati beberapa dekade (Cruz, 2010).
Di Indonesia, tempat – tempat yang dekat dengan penambangan emas skala kecil, mengandung merkuri dengan jumlah yang di atas ambang batas (Gasong dkk, 2017). Di beberapa media nasional seperti Walhi, Media Indonesia dan DPR.go.id misalnya, telah menyatakan bahwa Indonesia telah memasuki darurat merkuri karena banyaknya pencemaran di berbagai daerah di Indonesia. Di Sekotong, Nusa Tenggara Barat, misalnya, emisi merkuri ke lingkungan mencapai 27,4 ton/tahun dimana kandungan merkuri dalam beras ditemukan sebesar 115 ppm, dalam rambut dan urin masing-masing sebesar 50 dan 70 ppm. Penambangan emas skala kecil lainnya di Poboya, Sulawesi Tengah, mengemisikan merkuri dengan angka yang lebih fantastis yaitu sekitar 73-182,5 ton/tahun. Apabila penggunaan merkuri tidak ditekan, maka tragedi Minamata pasti akan terulang.


Pencemaran merkuri perlu menjadi perhatian semua pihak terutama para pelaku industri dan tambang. Teknologi pengolahan dan pengendalian pencemaran yang tepat juga diperlukan untuk mengurangi bahaya dari pencemaran merkuri. Metode-metode khusus untuk pengendalian pencemaran merkuri adalah pengurangan konsumsi merkuri, penggantian / penghapusan produk, manajemen limbah dan pengontrolan merkuri pada sumbernya. Sedangkan teknologi yang sering digunakan dalam remediasi lahan terkontaminasi merkuri adalah adsorpsi, fitoremediasi, stabilisasi, dan immobilisasi (Wang dkk, 2012).
Referensi :
- Beatrix T. Gasong, Satriya Abrian, Francis M.C. Sigit Setyabudi (2017) Methylmercury Biosorption Activity by Methylmercury-resistant Lactic Acid Bacteria Isolated From West Sekotong, Indonesia. Hayati Journal of Biosciences 24: 182-186.
- Bose-O’Reilly Stephan, Rudolf Schierl, DennisNowak, Uwe Siebert, Jossep Frederick William, Fradico Teorgi Owi, Yuyun Ismawati Ir (2016): A preliminary study on health effects in villagers exposed to mercury in a small-scale artisanal gold mining area in Indonesia. Environmental Research 149: 274-281
- Broussard Larry A.; Catherine A. Hammett-Stabler; Ruth E. Winecker; Jeri D. Ropero-Miller. 2002. The Toxicology of Mercury (Article). LS Health Sciences Center, New Orleans, Los Angeles : United States
- Cruz, Gilbert (2010) Minamata Disease. Diakses di http://content.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,1986457_1986501_1986450,00.html pada 1 Februari 2018
- Ismawati Yuyun, Petrlik Jindrich, DiGangi Joe (2013): Mercury Hotspots in Indonesia. IPEN Mercury-Free Campaign Report.
- Wang Jianxu, Xinbin Feng, Christopher W.N. Anderson, Ying Xing, Lihai Shang (2012): Remediation of mercury contaminated sites – A review. Journal of Hazardous Material 221-222: 1 – 18
Semoga tidak terjadi seperti teluk minamata, amin