Selama masa pandemi ini, kita mengetahui bahwa hasil RT-PCR (Real Time Polymerase Chain Reaction) adalah positif atau negatif. Tanpa ada data angka atau nilai Ct (Cycle Threshold) atau apapun yang disajikan pada masyarakat. Pada artikel ini, penulis akan memaparkan RT-PCR hasil diskusi dengan teman yang lebih ekspert di bidang biologi.
Dalam prosesnya, PCR itu terdapat tiga tahapan:
– Denaturasi (pemutusan ikatan menjadi fragmen)
– Annealing (penempelan primer pada template)
– Extension / Elongasi (pemanjangan
Kunci sukses dari ketiga proses ini adalah suhu proses yang tepat. Tiga tahapan diatas disebut sebagai satu siklus. Siklus tersebut dipresentasikan oleh nilai Ct (Cycle Threshold). Nilai Ct didasarkan pada pembacaan dengan detektor fluorescent, semakin tinggi nilai Ct berarti semakin banyak cahaya yang diteruskan. Hal ini berbanding terbalik dengan massa di dalamnya.
Garis merah adalah batas kemampuan alat untuk mendeteksi. Apabila jumlah sampel yang akan dideteksi kurang dari kriteria ketentuan PCR, maka data tersebut diragukan. Seperti ketentuan ambang batas absorbansi spektrofotometri (Lambert-Beer) sebesar 0,2 – 0,8, dimana jika nilainya lebih besar atau lebih kecil dari nilai tersebut maka konsentrasi sampel yang dianalisa tidak linear dengan absorbannya. Reaksi RT-PCR ini juga akan berhenti dengan sendirinya ketika template kita habis, yang tergambar pada bagian plateu (grafik datar).
Studi perbandingan ini menggunakan 90 sampel swab dengan rata-rata usia pasien 45 tahun. Pasien positif covid-19 di sampling pada hari ke-0 sampai 21 hari pasca-gejala. Selain menggunakan parameter Ct, dilakukan juga Symptom To Test (STT) dan kultur virus pada vero cell. Kultur positif memiliki nilai Ct yang rendah dibanding dengan kultur negatif. Setiap peningkatan 1 unit nilai Ct, positif kultur menurun sebesar 32%.
Kemampuan virus untuk menular atau daya infeksi (dilihat dari pertumbuhan kultur sel) signifikan menurun ketika nilai RT-PCR Ct>24 dan durasi simptom > 8 hari (Nilai STT). Dua metode ini dikombinasi untuk menentukan durasi infeksius pasien terhadap orang lain. Diketahui bahwa penghentian isolasi yang direkomendasi pasca gejala yaitu sekitar 10 hari setelah onset. Ada juga yang menerapkan variasi strategi untuk menghentikan isolasi yaitu 14 hari setelah onset gejala atau 72 jam setelah gejala hilang dengan hasil PCR 2x berturut-turut negatif dalam masa isolasi.
Perlu diketahui, ternyata data RT-PCR positif lebih persistent secara signifikan melampaui daya infeksinya. Hal ini dikarenakan sensitivitas alat yang tinggi. Sederhananya, jika nilai PCR masih positif tapi nilai Ct>24 atau lebih dari 8 haru setelah onset gejala, kemampuan virus untuk menular atau daya infeksi virus sudah jauh berkurang.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa studi ini memiliki keterbatasan, antara lain:
– Menggunakan satu target gen covid-19 (Envelope gene), padahal target gen lain mungkin lebih spesifik
– Konfirmasi target tidak dilanjutkan karena berkaitan dengan reagen yang digunakan
– Infeksi bervariasi untuk setiap individu sehingga mungkin saja tidak bisa diwakili dari studi ini
– Kemungkinan persistent PCR positif pada anak-anak akan lebih tinggi dan studi ini hanya terbatas pada rentang usia 30-59 tahun.
Kesimpulan, pandemi ini masih dalam situasi yang dinamis. Dimana keputusan yang diambil dan pengawasan terhadap pasien harus didasarkan oleh bukti klinis. Studi ini memberikan informasi bahwa tidak ada kultur virus positif dengan Ct>24 atau STT>8 hari. Data ini mungkin dapat digunakan untuk membantu menentukan berapa lama pasien menjalankan isolasi (yang kedepan akan menjadi lebih singkat).
Sumber:
– Bullard, et al., 2020 “Predicting Infectious Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 From Diagnostic Samples” diakses pada 28 Desember 2020.
– http://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/hcp/duration-isolation.html dengan judul “COVID-19 Duration Of Isolation & Precaution for Adults” diakses pada 28 Desember 2020.