Pemateri: Suwarti, PhD (Staf Peneliti di Eijkman Oxford Clinical Research Unit, S3 Hokkaido University Japan)
Moderator: Tazkia Qonita Zahra (Kontributor junior warstek.com)
Diskusi
COVID-19 disebabkan oleh infeksi virus novel SARS-Corona Virus-2, yang keluarga virusnya juga menyebabkan wabah SARS (2002) dan MERS (2012) sementara COVID-19 menyerang di tahun 2019. Hingga saat ini, belum ada lisensi vaksin yang dikeluarkan untuk ketiga penyakit tersebut. Mengapa Vaksin?, karena terbukti penyakit menular yang belum memiliki vaksin dengan efektivitas 100% sangat berbahaya dan sulit dieliminasi, contoh : HIV, Malaria, Demam Berdarah Dengue, SARS, MERS dan COVID-19. Sampai sekarang sebagian besar penyakit tersebut masih menghantui.
freepik.com
Vaksin menjadi harapan bagi eliminasi penyakit menular guna penghentian penularan di masa depan, seperti penyakit campak, pes dan polio yang hampir berhasil di eliminasi di Indonesia, tetapi sayangnya beberapa tahun belakangan banyak juga reaksi terhadap anti vaksin, akibatnya penyakit yang tadinya sudah tidak ada infeksi kembali menghantui, contohnya wabah difteri di Indonesia, wabah cacar di Amerika, dst. Sementara sebagai bandingan, penyakit Tuberkulosis (TBC) yang sudah dikenal sejak lebih dari satu abad, hanya memiliki satu jenis vaksin BCG yang cakupan perlindungan nya sangat bervariasi 0-80%, akibatnya lebih dari 10 tahun sejak pemerintah mencantumkan program pengendalian TBC di Indonesia, kasus TBC tidak berkurang secara signifikan (insiden penyakit sebanyak 380 penyakit, menjadi 315 penyakit per 100.000 penduduk dalam 15 tahun terakhir). Begitulah letak pentingnya vaksin bagi penyakit menular. Namun, membuat vaksin ternyata tidak mudah. Secara normal, pembuatan vaksin dalam skala besar bisa memakan waktu 10-20 tahun dengan biaya produksi yang sangat fantastis dan biaya pengujian yang sangat besar. Sebagai gambaran, berikut tahapan yang harus dilalui untuk menghantarkan vaksin ke fasilitas kesehatan.
Suwarti, 2020
Setiap fase di atas punya karakteristik dan memakan waktu dan biaya yang sangat bervariasi. Misalnya saja ada uji pra klinis membutuhkan waktu 1-2 tahun, pada uji fase satu ada yang membutuhkan waktu 2-3 tahun, pada uji fase 2 ada yang membutuhkan waktu 3-5 tahun, dan pada uji fase 3 bisa lebih dari 5 tahun, dimana semua fase membutuhkan biaya dan sumber daya manusia yang besar. Lalu, apa kabar dengan perkembangan vaksin untuk COVID-19?, saat ini lebih dari 50 uji pra-klinis untuk vaksin COVID-19 sedang dipelajari baik oleh universitas, lembaga riset, maupaun perusahaan farmasi kecil dan besar hampir di seluruh benua Asia, Amerika, Australia, dan Eropa. Koalisi global CEPI (Coalition for Epidemic Preparedness Innovations) yang didukung oleh negara-negara maju saat ini menyokong riset dan uji klinis terhadap 6 perusahaan, dan universitas, antara lain: Moderna, Inovio, Curvac, University of Oxford, University of Queensland, dan Imperial College London dengan pendanaan sekitar 2 M USD, dua miliar itu baru sampai selesai tahap uji klinis saja, belum sampai tahap pembuatan secara skala besar. Nah, berikut beberapa kandidat vaksin.
Where are we (the world) now in fighting SARS-CoV-2 with Vaccines?
Moderna, perusahaan pengembang vaksin untuk SARS di Amerika Serikat, saat ini telah melakukan uji klinis fase satu di Seattle dan Atlanta dengan merekrut 45 subjek. Tadinya, platform ini membuat vaksin untuk SARS, namun belum selesai, berganti wabah COVID-19 melanda.
Moderna membuat vaksin -mRNA1273- berbasis RNA SARS-CoV-2 dalam 63 hari setelah genome sekuen SARS-CoV-2 diumumkan secara publik oleh peneliti China melalui database genom, dan digunakan oleh seluruh peneliti di dunia untuk melakukan riset tentang COVID-19. Saat ini, Moderna masih merekrut sampel, kemudian ditunggu respon tubuh peserta uji apakah terbentuk antibodi melawan SARS-CoV-2. Pembentukan antibodi dalam tubuh manusia sendiri membutuhkan waktu, setidaknya minimal waktu 3 (tiga) bulan sejak disuntikkan sampel vaksin uji pra-klinis. Selanjutnya pun masih membutuhkan waktu lebih untuk melakukan uji keamanan vaksin terhadap manusia.
Selain Moderna, Universitas Oxford akan memulai uji klinis fase satu di awal musim semi ini dengan mengandalkan vaksin ChAdOx1 nCoV-19 yang dikembangkan dengan menggunakan vaksin hidup berbasis Adenovirus. Rencananya uji fase satu akan dimulai awal musim semi 2020. Nah, bedanya dengan yang dibuat Moderna apa?, vaksin Moderna adalah vaksin mati, kalau yang dibuat Universitas Oxford adalah vaksin hidup. Lalu, yang mana yang lebih efektif?, kita belum tahu, tapi secara logika, vaksin hidup diharapkan memiliki efek lebih kuat terhadap virus, namun kemampuan vaksin yang kuat juga biasanya sangat rentan terhadap faktor keamanannya bagi manusia. Jadi semua ada resiko dan manfaat yang berbeda-beda, dan itu harus di analisa secara hati-hati.
Sementara itu, satu-satunya uji klinis vaksin COVID-19 di Asia dilakukan oleh CanSino, perusahaan farmasi di Beijing dengan vaksin Ad5-nCoV yang juga merupakan vaksin hidup berbasis virus. CanSino memulai uji klinis satu hari setelah Moderna memulai uji klinisnya. Vaksin ini juga vaksin hidup dengan mengandalkan Adenovirus sebagai tulang punggung vaksin.
freepik.com
Kandidat vaksin lain akan memulai uji klinis nya dalam pertengahan tahun 2020. Jika fase satu berhasil dilewati para kandidat vaksin ini dengan kemampuan perlindungan vaksin yang tinggi, maka akan dilakukan uji klinis fase kedua dan fase ketiga. Perlu diketahui, diperlukan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan tiap tahapan uji klinis, karena subjek yang akan diuji, semakin banyak jumlahnya, akan semakin kompleks pengujian yang dilakukan. Prediksi paling cepat, vaksin untuk COVID-19 bisa memperoleh lisensi dalam kurun waktu 18-24 bulan untuk melewati seluruh tahapan uji klinis, yang merupakan kandidat rekor tercepat dalam pembuatan vaksin sepanjang sejarah.
Permasalahan dalam membuat vaksin adalah produksi massal vaksin. Produksi massal vaksin memegang peranan penting karena membutuhkan investasi yang sangat besar dengan return profit yang belum jelas. Oleh karenanya, seringkali perusahaan farmasi pembuat vaksin juga didukung oleh aliansi global seperti CEPI. Perlu diketahui juga, saat pandemi global terjadi seperti sekarang ini, belum ada perusahaan farmasi di dunia yang mampu mensuplai kebutuhan vaksin secara global. Dengan kata lain, butuh tingkat mass production yang sangat tinggi. Terakhir, pembuatan vaksin memiliki passing grade tingkat keamanan yang tinggi. Seperti halnya maraton, kandidat vaksin bisa dilakukan oleh ratusan uji pra-klinis, namun pada akhirnya hanya satu atau mungkin dua vaksin saja yang mampu melewati seluruh uji klinis dan menunjukkan performa dalam melindungi penyakit infeksi.
Sesi Tanya-Jawab (Q&A)
- Q. Bagaimana perkembangan tentang riset vaksin COVID-19 di Indonesia?. A. Perkembangan vaksin COVID-19 di Indonesia, pemerintah sudah membuat konsorsium pembuatan vaksin lintas sektoral baik universitas maupun lembaga riset.
- Q. Siapa saja peneliti/ ilmuwan yang diharapkan ikut berpartisipasi membuat formula vaksin COVID-19?. A. Tentu saja yang memiliki latar belakang pengetahuan tentang vaksin, Di tingkat global ada WHO (World Health Organization) yang punya jejaring peneliti Vaksin COVID-19, kalau tidak salah melibatkan 80 negara di dunia.
- Q. Apakah DPR beserta instansi pemerintah sudah memberikan skema perjanjian pendanaan vaksin COVID-19?. A. Terus terang saya belum tahu, tapi dengan adanya konsorsium tadi sepertinya itu respon pemerintah saat ini.
- Q. Apakah teknologi di Indonesia sudah cukup untuk mengembangkan formula vaksin COVID-19?. A. alau pendapat saya pribadi, tidak ada masalah dengan fasilitas, kita juga bisa. Berdasarkan pengalaman saya menganalisa kandidat vaksin TBC di Jepang, bisa juga dilakukan di sini. Yang perlu digaris-bawahi, butuh keuletan dan konsistensi pendanaan yang tidak sedikit. Misal tahun pertama analisis ke hewan coba, itu butuh biaya yang besar, belum lagi kalau gagal, maka peneliti biasanya putar otak agar berhasil. Itu tidak mudah dan tidak sebentar. Nah, kadang investasi di sini yang berat. Sebagai bayangan teman-teman, riset yang dilakukan oleh Prof. McShane dari Oxford yang sudah menggeluti pembuatan vaksin TBC lebih dari 10 tahun, dan sudah pada uji klinis fase 2 dengan subjek uji ribuan orang, ternyata hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Tapi di sisi lain, keberhasilan seperti vaksin EBOLA , akhirnya sudah di-release pertengahan tahun 2019 kemarin dengan percepatan produksi dalam kurun waktu 2 tahun. Jadi, karakteristik penyakit juga berpengaruh dalam menentukan keberhasilan pembuatan vaksin, dan tentunya keuletan peneliti dan komitmen pendanaan.
- Q. Bagaimana koordinasi pemerintah dan lembaga/ instansi terkait terutama BPOM dalam mempercepat pembuatan vaksin COVID-19?. A. Terus terang saya belum tahu, dalam kondisi seperti ini semua pastinya ingin bergerak cepat, tetapi dalam ilmu kesehatan, peraturan yang utama adalah DO NO HARM alias tidak boleh menyakiti, jadi mau seberapa pun fast track yang diberikan untuk pembuatan vaksin, harus dipastikan dulu vaksin nya aman 100%, ingat 100% tidak boleh 99.5%.
- Q. Mengenai pembuatan vaksin COVID-19 membutuhkan waktu yang sangat lama dan biaya yang sangat besar, menurut Anda apakah anggaran negara kita sudah cukup untuk bisa membiayai pembuatan vaksin ataukah masih kurang?. A. Sejujurnya saya tidak tahu berapa yang dianggarkan pemerintah untuk pembuatan vaksin ini. Tetapi dalam diskusi saya sebutkan, CEPI sendiri menggelontorkan dana 2 Miliar USD untuk pendanaan 6 kandidat vaksin di seluruh dunia. Belum lagi biaya produksi massal vaksin, nah negara kita kan negara besar pasti butuh biaya yang sangat besar pula untuk produksi. Jadi, harus tahu dulu, basis vaksin yang akan diproduksi di Indonesia ini akan seperti apa, karena berpengaruh terhadap biaya produksi. Contoh vaksin mati membutuhkan dana lebih kecil dibandingkan vaksin hidup karena fase pembuatannya sedikit lebih sederhana.
- Q. Bagaimana pendapat kakak mengenai penjelasan dari Guru besar Unsyiah Banda Aceh dimana beliau berpendapat bahwa ganja bisa menangkal COVID-19, apa saja efek yang ditimbulkan dari ganja tersebut?, apakah ganja tersebut bisa dibuat vaksin atau obat-obatan lainnya?. A. Kalau ada temuan seperti ini apakah berpotensi besar atau bagaimana?, kembali jawaban saya, senyawa atau zat atau sediaan, baik obat maupun vaksin, yang diduga aktif untuk pengobatan tertentu harus melewati uji klinis seperti yang saya jabarkan tadi sebelum bisa diklaim bermanfaat atau tidak. Jadi kalau di lab dia bisa sangat bermanfaat, belum tentu juga saat diuji coba ke manusia bisa efektif seperti saat diuji di lab, atau bisa jadi malah membahayakan. Jadi, harus lewat uji klinis dulu baru bisa dibilang bermanfaat dan fungsional. Namun, penelitian semacam itu sangat berguna untuk membuka wacana demi keberlanjutan ilmu pengetahuan.
- Q. Dalam membuat vaksin dibutuhkan waktu yang lama berarti kalau bisa cepat itu pun tahun depan. Dengan situasi yang chaos saat ini, berarti kita hanya bisa mengandalkan obat-obatan saja untuk melewati pandemi ini dengan pilihan lain akan terus meningkat kasusnya sembari menunggu vaksin sampai tahun depan?, apakah ada pilihan lain juga selain vaksin dan obat-obatan dalam memberantas COVID-19 ini?. A. Harapannya adalah bisa menemukan obat-obatan. Kalau melihat di situs WHO lagi, saat ini juga sudah dilaksanakan uji klinis untuk pengobatan anti COVID-19. Selain itu, kita mengandalkan perilaku hidup sehat masyarakat supaya bisa mengurangi penularan COVID-19.
- Q. Bagaimana reaksi anti vaksin terjadi apabila dalam uji klinis fase satu tidak terbentuk antibodi dalam tubuh sampel yang diuji?, apakah sampel akan terkena penyakit tersebut?, dan bagaimana penanganannya?, mohon penjelasannya. A. Jika tidak terbentuk antibodi, justru artinya kandidat vaksin yang diuji coba belum kuat untuk “mengajarkan” tubuh mengeluarkan antibodi. Apakah akan menyebabkan si subjek menderita COVID-19?, Tidak, karena yang disuntikkan adalah protein atau RNA atau virus selain SARS CoV yang sudah dilemahkan.
- Q. Terkait tahapan pengembangan vaksin pada waktu yang krusial, sepengetahuan saya uji pra-klinis dilakukan secara paralel dengan uji klinis. Apakah benar seperti itu?. A. Yang dimaksud mungkin seperti fast-track ya?. Hal tersebut bisa dilakukan, tetapi harus ada data dasar di pra-klinis yang bisa dipertanggung-jawabkan untuk menjadi alasan pelaksanaan uji klinis. Maksudnya begini, safety di uji pra-klinis harus sesuai dulu, baru bisa dipersyaratkan ke uji klinis, karena saat uji klinis biasanya kita minta persetujuan komisi etik, nah komisi etik akan menilai apakah data uji pra-klinis nya memang membuktikan kalau uji coba itu aman dan tidak membahayakan. Jika tidak ada data pendukung, rasanya sulit melakukan uji klinis. Kita juga tentu tidak mau disuntik zat yang kita tidak tahu apakah berbahaya atau tidak.
- Q. Apakah vaksin bisa sekaligus mengobati efek yang ditimbulkan oleh virus?, karena lihat video tempo lalu, efek dari virus corona terhadap paru-paru cukup parah. A. Memang COVID-19 ini beda dengan ‘teman-temannya’. Vaksin itu ada beberapa jenis, ada yang sifatnya pencegahan ada yang sifatnya pengobatan. Dalam artian begini, bisa jadi dikembangkan untuk manusia sehat, bisa jadi dikembangkan untuk seperti pengobatan. Nah, tergantung yang dikembangkan vaksin yang tipe mana. Jadi, sangat mungkin kalau peneliti mengembangkan vaksin yang bisa me-recover paru-paru yang sudah terkena COVID-19, tapi hingga kini belum ada sepertinya yang mengarah kesana. Atau sudah ada tapi saya belum baca, nanti kalau ada update boleh saya share lagi.
- Q. Kalau dilihat dari orde dan familinya, virus SARS (penyebab SARS 2002) dan virus SARS 2 (penyebab COVID-19) mempunyai kemiripan bentuk/ strukurnya. Mengapa ilmuwan/ peneliti tidak melanjutkan melakukan penelitiannya tentang vaksin SARS?. A. Ini kasus yang terjadi pada Moderna, tadi saya sudah sampaikan. Moderna tadinya membuat vaksin untuk SARS, tapi tak lama setelah genome SARS-CoV-2 di-share ke publik, mereka juga mengembangkan untuk COVID-19. Makanya mereka bisa cepat sekali perkembangannya.
- Q. Avigan dan dan obat chloroquine, apakah kedua obat tersebut teruji mampu dalam mengatasi COVID-19?. A. Sedang dalam tahap uji coba, kalau untuk Avigan memang laporan dari China sepertinya cukup berhasil pada populasi yang sudah terinfeksi COVID-19 secara ringan. Kalau untul Chloroquine masih uji klinis.
- Q. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa COVID-19 dapat bermutasi genetik. Apakah ada langkah tambahan dalam pengembangan vaksin nya untuk mengatasi sifat ini?, atau hanya diujikan pada beberapa strand?. A. Hasil penelitian menujukkan sejauh ini SARS-CoV-2 tidak memiliki mutasi genetik yang bervariasi, dalam artian hal ini bagus untuk perkembangan vaksin. Beda dengan virus influenza, yang setiap tahun mutasinya cepat sekali. Biasanya peneliti juga mempertimbangkan kemampuan virus bermutasi, jadi banyak juga laporan tentang hal tersebut.
Penutup
Vaksin adalah investasi besar terhadap sumber daya manusia, teknologi, dan pengetahuan. Dibutuhkan keuletan, konsistensi, dan komitmen tinggi dalam pembuatannya. Tapi kita sudah paham bagaimana jika kita hidup tanpa perlindungan vaksin. Lets hope to meet the COVID-19 vaccines with high safety level, efficacy, and protective capacity.
Pembelajar | Penikmat kopi | DIII Teknik Kimia Undip Alumni | Semarang | @nailulizzaaah