Daging merupakan salah satu bahan pangan yang dikonsumsi masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan protein selain telur dan susu. Industri daging olahan merupakan salah satu industri yang bergerak dalam bidang peternakan. Pada tahun 2019, Kemenperin mencatat, sektor industri pengolahan daging tumbuh 28,87 persen pada 2019, dengan volume produksi sebesar 242.791 ton. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dibandingkan pada 2016 yang sebesar 188.391 ton. Hal ini disertai dengan peningkatan permintaan dan perubahan gaya hidup masyarakat yang beralih ke makanan cepat saji. Potensi pasar daging olahan seperti smoked beef, bakso, nugget, dan sosis sangat besar baik di dalam maupun di luar negeri (Septyaningsih, 2020).
Berdasarkan data tahun 2021, kebutuhan daging sapi di Indonesia terus meningkat. Pada 2021, kebutuhan daging sapi diperkirakan mencapai hampir 700.000 ton atau setara dengan 3,6 juta ekor sapi. Namun produksi daging sapi dalam negeri hanya sebanyak 400.000 ton sapi per tahun. Tingginya permintaan kebutuhan daging tersebut membuat Indonesia memiliki ketergantungan terhadap impor daging sapi hampir 50% dari permintaan dari kebutuhan daging dalam negeri (Hidayat, 2021). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hampir 50% kebutuhan daging indonesia diperoleh melalui impor.
Dari segi harga, daging sapi maupun daging unggas cukup mahal sehingga kurang dapat dijangkau oleh masyarakat kalangan menengah kebawah. Harga daging unggas misalnya ayam mencapai Rp 45.000/kg sedangkan harga daging sapi mencapai Rp 140.000-150.000/kg. Di sisi lain, konsumsi daging sapi dan unggas di indonesia masih rendah, konsumsi unggas hanya 7,6 kg/tahun/kapita (Heriawan dalam Seriowati, 2013) sedangkan konsumsi daging sapi hanya 2,2kg/kapita/tahun (Rajasa dalam Ratya, 2013) Oleh karena itu diperlukan solusi alternatif untuk mewujudkan olahan pangan pengganti (diversivikasi) daging berbasiskan pangan lokal sehingga dapat diperoleh produk pangan lokal yang berdaya saing global dengan harga terjangkau.
Diversifikasi pangan lokal sangat penting untuk mewujudkan kemandirian pangan. Indonesia memiliki banyak sumber daya protein lokan yang sangat mungkin untuk dimanfaatkan. Salah satu sumber daya lokal yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein adalah kacang tunggak. Kacang tunggak memiliki banyak kandungan gizi. Kandungan gizi tertinggi dari kacang tunggak yaitu protein dan karbohidrat. Kandungan gizi dari kacang tunggak dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Komposisi kimia kacang tunggak (per 100 g)
Mineral |
Satuan |
Jumlah |
Air |
g |
11.00 |
Protein |
g |
22.9 |
Lemak |
g |
1.40 |
Karbohidrat |
g |
61.6 |
Kalsium |
mg |
77.00 |
Fosfor |
mg |
449.00 |
Besi |
mg |
6.50 |
Vitamin A |
RE |
4.00 |
Vitamin C |
mg |
2.00 |
Vitamin B1 |
mg |
0.92 |
(Sumber: Departemen Kesehatan RI dalam Ningsih, 2010)
Dari tabel di atas dapat dilihat kandungan gizi dari kacang tunggak yang cukup beragam. Kandungan gizi tertinggi dari kacang tunggak yaitu protein yang mencapai 22,9 gram dan karbohidrat 61,6 gram dari 100 gram berat kacang tunggak. Kacang tunggak memiliki potensial untuk dijadikan produk pangan yang berdaya saing global, hal ini sesuai dengan gizinya yang tinggi dan harganya terjangkau.