Tiangong-1 merupakan sebuah purwarupa dari stasiun antariksa pertama milik negara Cina. Tiangong-1 secara harfiah diartikan sebagai “Istana Surgawi 1”. Stasiun tersebut diluncurkan pada 29 September 2011 dengan menumpang roket tanpa awak Long March 2F/G milik Cina sendiri.
Tiangong-1 mulai mengorbit pada orbit bumi rendah (LEO) dengan ketinggian sekitar 217 mil (350 km) di atas bumi, dimulai dari bulan September 2011 sampai April 2018. Orbit yang dimiliki oleh Tiangong-1 sedikit lebih rendah dari orbit Stasiun Antariksa Internasional yang jauh lebih tinggi yaitu dengan ketinggian rata-rata 250 mil (400 km) diatas permukaan bumi.
Stasiun milik Cina tersebut memiliki tujuan (misi) yaitu untuk membantu Cina dalam menguasai teknologi yang diperlukan untuk merakit dan mengoperasikan stasiun luar angkasa bonafide di orbit Bumi yang akan dilaksanakan pada awal 2020[1][2].

Sebelum jatuh ke Bumi, Tiangong-1 selama dua tahun masa operasinya (2011 hingga 2013) telah dikunjungi selama 3 kali. Pertama pada November 2011 dikunjungi oleh pesawat tanpa awak Shenzhou 8 dan berhasil merapat dengan modul Tiangong-1 tersebut. Misi kedua pada bulan Juni 2012 dengan membawa awak pada pesawat luar angkasa Shenzhou 9 dan berhasil merapat juga. Ketiga dan sekaligus misi terakhir, Pada Juni 2013 dengan menggunakan pesawat Shenzhou 10 yang merupakan misi berawak dan juga berhasil merapat. Misi berawak yang dikirim Cina ke Tiangong-1 cukup terkenal karena mereka mengirim dua orang astronot wanita pertama di China yaitu Wang Yaping dan Liu Yang[1].

Setelah sekitar 6 tahun lebih Tiangong-1 berada di luar angkasa, pada tanggal 1 April 2018 tepatnya jam 20:16 malam EDT (2 April jam 07:16 WIB) akhirnya jatuh menuju bumi tepatnya di Samudra Pasifik Selatan. Purwarupa Stasiun Antariksa milik Cina tersebut hancur berkeping-keping dan terbakar saat bergesek dengan atmosfir Bumi. Waktu jatuh satelit tersebut dikonfirmasi oleh Badan Pasukan Komando Komponen Ruang Angkasa milik Amerika (JFSCC). Pejabat Angkatan Udara Badan Pasukan Komando Komponen Ruang Angkasa milik AS (JFSCC) mengatakan bahwa mereka menggunakan sensor pengintai Ruang Angkasa dan sistem analisis orbital untuk mengkonfirmasi jatuhnya Tiangong-1[2][3].
Sebelum jatuh ke Bumi dan memasuki atmosfir, Tiangong-1Â ukurannya seperti bus sekolahan dan memiliki massa sekitar 9 ton (9000 kg). Kemudian ilmuwan dari Badan Antariksa Eropa (ESA) dan Badan Antariksa milik Amerika Serikat (NASA) mengatakan bahwa puing-puing Tianggong 1 saat memasuki atmosfir bumi ada yang tidak habis terbakar dan akan sampai mendarat di Bumi. Peringatan umum dari ilmuwan antariksa mengatakan bahwa: Jangan pernah menyentuh apa pun yang dianggap sebagai bagian dari Tiangong-1. Hal tersebut dikarenakan sisa-sisa benda dari luar angkasa mudah terkontaminasi dengan bahan bakar roket beracun yang disebut sebagai hidrazin[3].
Jatuhnya Tiangong-1 ke permukaan bumi menjadi masalah penting bagi dunia antariksa dan cukup menjadi perdebatan antara Cina dengan dunia, termasuk perdebatan dengan badan-badan antariksa internasional lainnya seperti NASA dan ESA. Poin terpenting dari perdebatannya adalah apakah Tiangong-1 saat jatuh menuju bumi terkendali atau tidak.
Dean Cheng yang merupakan peneliti senior di Heritage Foundation dan staf ahli untuk program luar angksa Cina mengatakan bahwa “Cina bersikeras mengatakan bahwa Tiangong-1 terkendali dan Cina sangat tidak senang ketika orang-orang mengatakan bahwa Tiangong-1 disebut tidak terkendali”[2][3].
Beberapa bulan sebelum jatuhnya Tiangong-1, banyak ilmuwan antariksa dari seluruh Dunia berlomba-lomba untuk mendeteksi keberadaan dan letak jatuhnya. Salah satunya adalah dua orang Ilmuwan dari Universitas Arizona yaitu Visnu Reddy (asisten profesor ilmu planet) dan Tanner Cambell (mahasiswa pascasarjana teknik mesin dan luar angkasa) ikut dalam melacak keberadaan Tiangong-1 dengan menggunakan sensor optik buatan mereka sendiri. Deteksi tersebut dilakukan selama empat bulan dengan dana riset senilai $1.500 dolar US atau setara Rp. 20 juta rupiah. Sensor optik yang mereka buat digunakan untuk mendeteksi/melacak objek yang berada di orbit rendah (low Earth orbit)[4].

Perlu kita ketahui bahwa Tiangong-1 bukanlah benda angkasa buatan manusia pertama yang pernah jatuh ke Bumi. Pada Maret 2001, stasiun ruang angkasa milik Soviet/Rusia bernama “Mir” dengan massa 140 ton, jatuh secara terkendali menuju bumi di Samudra Pasifik. Kemudian pesawat ulang-alik milik NASA-pun yang memiliki massa 100 ton pada 1 Februari 2003, juga jatuh ke permukaan bumi karena meledak hingga menewaskan 7 astronot[2].
Berikut ini adalah video Youtube ISS Cina (Tiangong-1) yang jatuh dan terbakar saat memasuki atmosfir bumi yang penulis ambil dari dari channel Youtube ViralVideoLab
[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=JpgzHUBVpKk[/embedyt]
Referensi:
- Wikipedia Inggris, Tiangong-1 (https://en.wikipedia.org/wiki/Tiangong-1) diakses pada 2 April 2018
- Wall, Mike. 2018. “Farewell, Tiangong-1: Chinese Space Station Meets Fiery Doom Over South Pacific“. Space.com, 1 April 2018 (https://www.space.com/40101-china-space-station-tiangong-1-crashes.html)Â diakses pada 2 April 2018
- Rogers, Shelby. 2018. “Chinese Space Station Burns Up Over South Pacific“. Interesting Engineering, 2 April 2018 (https://interestingengineering.com/chinese-space-station-burns-up-over-south-pacific?utm_medium=ppc&utm_source=onesignal&utm_campaign=onesignalpush)Â diakses pada 2 April 2018
- Litvack, Emily. 2018. “Researchers track Chinese space station as it falls“. PhysOrg, 23 Maret 2018 (https://phys.org/news/2018-03-track-chinese-space-station-falls.html) diakses pada 2 April 2018